Keislaman

Keberagaman dalam Bingkai Atap Masjid

Avatar
  • November 3, 2023
  • 3 min read
  • 76 Views
Keberagaman dalam Bingkai Atap Masjid

Kaafah.id – Sejarah perkembangan dan masuknya Islam di Nusantara tentu tidak akan ada habisnya untuk dipelajari. Perkembangan Islam di Nusantara tidak terlepas dari sebuah ritual dan keberadaan tempat-tempat peribadatan. Masjid, menjadi sebuah pembahasan tidak terelakkan manakala kita berbicara tentang sejarah peradaban Islam. 

Masjid pada umumnya selalu identik ornamen-ornamen yang melekat pada sisi-sisinya. Meskipun terlihat biasa, ada hal yang menarik untuk kita bahas, simbol-simbol yang melekat dengan ornamen masjid. Tercatat hampir semua masjid yang ada di Nusantara ini memiliki ciri khas kedaerahan sebagai pelengkap ornamennya. 

Misalkan pada masjid yang ada di Jawa, yang banyak dikaitkan dengan Walisongo. Jika kita perhatikan, masjid yang ada di Jawa masih erat kaitannya dengan gaya arsitektur kerajaan besar seperti kerajaan Majapahit. Umumnya, masjid-masjid yang tergolong masih mempertahankan arsitektur klasik ini memiliki tiga tingkatan pada atap atau kubahnya, dan bagian paling atas berbentuk mahkota. 

Kita ambil contoh, Masjid Agung Demak, seperti yang dikutip dari laman tirto.id “Sejarah Masjid Agung Demak: Pendiri, Ciri Arsitektur dan Keunikan” ada penjelasan bahwa ada ciri bangunannya memiliki pagar keliling, sementara ruang utama berdiri pada fondasi denah bujur sangkar, memiliki serambi dan kolam depan kiri atau kanan, memiliki mihrab atau tempat imam shalat, memiliki pawestren atau tempat jamaah perempuan dan beratap tumpang dengan puncak mustaka. 

Sejumlah sumber memberikan keterangan bahwa atap masjid Demak ini memiliki bentuk limas terdiri dari tiga bagian yakni sebagai lambang Iman, Islam, dan Ihsan. Namun, kalau kita membaca literatur tentang kepercayaan orang Nusantara sebelum Islam datang, bentuk bangunan seperti ini erat kaitannya dengan gaya bangunan meru (tempat bangunan suci kepercayaan Hindu) dengan memiliki atap berbentuk limas dengan berbagai tingkatan dan biasanya berjumlah ganjil. 

Gaya yang sama juga dapat kita saksikan pada wihara/vihara (tempat bangunan suci kepercayaan Budha) juga memiliki atap ataupun bangunan menyerupai limas dengan beberapa tingkatan pada jumlah atapnya. Selain wihara kita juga melihat ciri khas semacam ini pada Punden Berundak yang merupakan bangunan suci tempat roh leluhur yang bentuknya bertingkat-tingkat atau berundak-undak. 

Secara umum Punden Berundak merupakan sarana pemujaan untuk memuja dan menghormati roh leluhur, akan tetapi peninggalan Punden Berundak di pura dan candi merupakan salah satu bentuk peninggalan yang berakulturasi pada Hindu atau Budha.

Kembali dengan masjid, bentuk limas tiga tingkatan di atas adalah sebagai bentuk akulturasi budaya arsitektur yang indah dengan tanpa menghilangkan rasa nilai nusantaranya. Akulturasi dengan filosofi secara kepercayaan Islam memiliki makna Iman, Islam, dan Ihsan. 

Berbeda dengan keterangan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Yogyakarta, mereka menambahkan makna tiga tingkatan pada atap masjid adalah lelaku dalam menekuni dunia tasawuf yaitu syari’at, thariqat, dan ma’rifat. Sedangkan bentuk mahkota raja yang biasa ditemukan di atap masjid banyak dimaknai bahwa secara filosofi  itu adalah gambaran kekuasaan tertinggi adalah Allah Swt. 

Seiring perkembangan zaman, model arsitektur masjid sangat beragam. Menariknya, kalau gaya arsitek di Nusantara pada tingkatan atap paling atas adalah berbentuk menyerupai mahkota namun berbeda dengan gaya timur tengah atau Eropa dengan bentuk bulan sabit dan bintang. 

Beberapa kajian menerangkan, bahwa secara filosofi, bulan dan bintang adalah sebagai sebuah petunjuk dan pertanda sebuah musim. Meskipun ada yang mengartikannya sebagai simbol ketuhanan, bahwa Allah Swt. adalah Zat Pemberi Petunjuk. 

Patut kita berbangga dengan keanekaragaman model masjid yang ada di nusantara ini. Namun, yang patut kita lestarikan adalah nilai menerima budaya lokal sebagaimana yang dicontohkan para penyebar agama Islam pada zaman dulu tidak meninggalkan seni budaya dalam mengembangkan dakwahnya. Dan menariknya, nilai seni arsitektur ini menjadi sebuah ciri khas bangsa Indonesia dalam pluralitas beragama dan berbudaya.

Avatar
About Author

Ghinanjar Akhmad Syamsudin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *