Momen Harlah 1 Abad PP. Al Falah Ploso
Saya pun masih bertanya-tanya saat teman menjemput saya tiba-tiba mengajak ke Kediri. Lebih tepatnya ajakannya ke Pondok Ploso begitu orang mengenal Pondok Pesantren Al Falah yang berdiri di kawasan Desa Ploso, Mojo, Kediri. Setelah sholat isya’, hujan terlihat mulai mereda. Karen beberapa saat sebelumnya diguyur hujan yang cukup lebat. Saya bersama seorang teman bersiap – siap. Mengenakan outfit pengajian : busana muslim, sarung dan kopiah Hitam. Hujan gerimis titik demi titik. Sebuah motor vario 150 berwarna hitam bersiap gagah kami gunakan.
Mulai saya starter mesin. Tak lupa kami selipkan mantel di bawah jok motor. Tak kunjung langsung menyala ketika beberapa kali saya memencet tombol power. Ternyata aki soak. Sebuah keadaan kondisi ketika aki tidak dapat menyimpan energi listrik dengan baik. Sehingga tidak dapat memberikan daya yang cukup untuk sistem kelistrikan kendaraan. Aki soak dapat membuat motor sulit atau bahkan tidak dapat dihidupkan. Selang beberapa menit, motor pun menyala, mendukung kami untuk berangkat.
Tapi ternyata tidak dengan hujan. Ia tidak dengan penuh mendukung perjuangan kami ngalap barokah para Kiai. Sekitar tidak sampai satu kilo perjalanan, hujan mulai berjatuhan dengan lebat dan hebat. Lebih lebat daripada sebelumnya. Disertai kilatan-kilatan petir menyambar. Kami menepi sebentar untuk mengenakan mantel. Setidaknya dapat menahan lebatnya hujan. Kami sebagai pemuda bersemangat menuntaskan apa yang kami mulai.
Starter motor lagi berulang-ulang kali. Kali ini si motor tak mau diajak kompromi di tengah derasnya hujan. Kami coba dengan mematikan dan menghidupkan lagi kunci kontak. Tidak menyala juga. Kami coba lagi dengan menurunkan dan menaikan standar. Masih susah menyala. Selang beberapa menit si motor dengan manja menyala kembali setelah diselah beberapa kali. Kami menerjang membelah lebatnya hujan dengan pelan namun pasti. Pandangan kabur. Sesekali disemprot cipratan air genangan saat mobil melintas dengan kencang. Temanku bergumam “nek perjuangane koyok ngene ki, hadiah surgo seng mesti, duduk panci (kalau perjuangannya seperti ini, hadiah surga itu pasti, bukan panci”.
Sampai di kawasan pondok pesantren Al Falah Ploso. Hujan mulai mereda, sekitar jarak sepuluh kilometer dari lokasi. Bahkan tidak terlihat hujan sedikitpun memasuki jarak lima kilometer dari titik acara. Hanya gerimis, itupun gerimis lembut malu-malu.
Ternyata hari itu bertepatan tanggal 01 Rajab 1446 H sekaligus awal tahun Masehi tanggal 01 Januari tahun 2025 Pondok Pesantren Al Falah Ploso berusia 100 tahun sejak didirikan oleh KH Ahmad Djazuli Utsman.
Menuliskan kata nama KH Ahmad Djazuli Utsman tidak lengkap jika saya tidak menelusuri biografi beliau. Rasa penasaran siapa, bagaimana dan apa yang sudah beliau lakukan. Sehingga berhasil mengelola pondok dan melahirkan pondok-pondok cabang yang diasuh oleh keturunan beliau dengan jumlah ribuan santri aktif atau bahkan jutaan alumni. Mas’ud, begitu nama kecil KH. Djazuli Ustman sebagai bangsawan keturunan Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu tingkat kecamatan) gigih mengenyam pendidikan formal, mulai dari SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.
Tak berselang lama, KH. Ma’ruf Kedunglo yang juga merupakan santri KH. Kholil Bangkalan bertamu kepada RM. Utsman. Beliau menanyakan perihal putranya yang sedang menempuh pendidikan perguruan tinggi di Batavia. Kiai Ma’ruf dengan sopan menyarankan kepada RM. Utsman untuk memindahkan Mas’ud mengenyam pendidikan agama di pesantren.
RM. Utsman mengindahkannya, sehingga Mas’ud remaja akhirnya memulangkan diri dan memulai pengembaraan ilmu agamanya ke berbagai pesantren yang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar di Indonesia. Diantaranya Pesantren Gondanglegi Nganjuk asuhan KH. Ahmad Sholeh, Pondok Sono Sidoarjo asuhan KH. Abdul Rohman, Pondok Mojosari Nganjuk yang didirikan KH. Ali Imron yang telah melahirkan tokoh besar seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah.
Ketika Kyai Mas’ud berguru, Pondok Mojosari KH. Zainuddin menantu KH. Ali Imron. KH. Zainuddin pula yang memberikan julukan dengan maksud dikarenakan akan menjadi sosok yang kharismatik dan perhatian orang akan terpukau ketika beliau berbicara memberikan petuah-petuah dakwah, seperti “Si Blawong” seekor burung perkutut bangsawan yang dipelihara Kerajaan Brawijaya.
Kiai Mas’ud muda berkesempatan menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan berguru kepada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi sekitar selama dua tahun. Kemudian pulang dari tanah suci dengan membawa sebuah kitab Dalailul Khoirot. Sepulangnya ke tanah kelahiran Ploso, Kediri, Mas’ud dikenal dengan nama H. Djazuli.
Tidak berhenti di situ, kehausan ilmu membuat beliau meneruskan pengembaraan ke Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari Pondok Tebuireng Jombang memperdalam khazanah Ilmu Hadis. Tidak hanya belajar, H. Jazuli memulai kegiatan mengajarnya. Sebelum kembali ke kampung halaman, beliau masih menyempatkan belajar kepada KH. Ahmad Dimyathi adik kandung Syekh Mahfudz Attarmasiy Tremas Pacitan.
Dengan pengalaman berkelana belajar mengajar di berbagai Kiai-Kiai besar, sepulang ke Ploso Kediri memulai pendirian Pondok Pesantren Al Falah Ploso. Berangsur angsur semakin luas bangunan dan banyaknya santri. Tidak semudah itu, perjuangan awal-awal pendirian pada masa-masa penjajahan Jepang tentu mengalami peristiwa hambatan yang besar. Tapi dengan keistiqomahan beliau perihal belajar mengajar membuahkan hasil besar bagi peradaban bangsa dan negara. Seperti yang sering dipesankan berulang-ulang kepada santrinya : “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum – Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar”. Begitu berturut-turut diugemi (dipegang erat) oleh putra-putri KH. Djazuli Utsman dan Ibu Nyai Rodliyah.
Setibanya di lokasi acara, kami sengaja menuju gerbang tempat masuk lokasi panggung utama. Berdiri sambil mengawasi tempat strategis untuk kami duduk. Melihat gerbang menuju panggung, tentu kami yang bukan siapa-siapa tak diperkenankan masuk ke dalam. Apalagi di luar gerbang sudah disediakan beberapa videotron besar, sound dan tenda untuk menyimak dan menyaksikan berlangsungnya rangkaian puncak Harlah. Ribuan jamaah dan santri mukim duduk bersila rapi di bawah tenda. Tepatnya di tengah – tengah jalan alternatif yang menghubungkan ke arah Kediri Kota. Jalan sudah dialihkan agar tidak melewati lokasi Harlah.
Rangkaian acara puncak peringatan satu abad Pondok Ploso dimulai dengan membacakan ngaji kitab kuning yang dibacakan Pengasuh Pondok Ploso, KH. Nurul Huda Djazuli putra dari KH. Ahmad Djazuli Utsman. Nampak khidmat jamaah menyimak satu per satu isi kitab yang dibacakan dengan makna pegon jawa. Beberapa santri dan jamaah ikut membawa kitab yang dibacakan dengan memaknai atau menuliskan makna dalam kitab. Mereka memenuhi depan-depan toko, jalanan, trotoar, dan warung-warung makan. Seolah tidak ada lagi ruang kosong. Penuh sesak, rapi dan khidmat. Kemudian kami mencari tempat bersila untuk mengikuti rangkain acara selanjutnya.
Di depan gerbang menuju panggung utama kami berdiri sebentar. Melihat beberapa tokoh publik mulai berseliweran berdatangan. Salah satu yang kami kenal Ismael al-Kholilie dan beberapa gus-gus pondok. Melihat layar nampak Ulama’ dan Kiai-Kiai besar mendampingi Kyai Huda Djazuli di atas panggung.
Diantaranya juga memberikan sambutan, kesan dan pesan seperti, KH. Ma’ruf Amin yang menyampaikan bahwa seratus tahun adalah bukti perjuangan Ulama’ tidak pernah sia-sia dalam mencetak kader Ulama’ penerus, KH. Kafabihi Mahrus yang memberikan kesan bahwa Ulama’-Ulama’ dapat menyampaikan keilmuan yang tak lekang oleh waktu, KH. Said Aqil Siradj yang menyanjung Pondok Ploso telah melahirkan putri-putri yang ‘Alim-’Alim, ada pula ditampilkan dalam layar sambutan pesan kesan melalui Syaikh Ahmad Bin Muhammad Al – Maliki Al – Hasani turut memberikan kesan dan doa kepada Pondok Pesantren menjadi pondok penuh cahaya, mimbar kebaikan dan menjadi benteng ahli kebaikan. Tentu masih banyak lagi, seperti para Ulama’ dan Masyayikh berkumpul di satu tempat sebagai pusat peradaban Islam.
Sekitar pukul sebelas malam, tak genap kami mengikuti seluruh rangkaian puncak 100 tahun Pondok Pesantren Al Falah Ploso. Kami mengundurkan diri lebih dulu. Sembari berbicara dengan diri. Bahwa kami pernah nekat berduyun – duyun datang karena pastinya dengan tujuan tabarruk an, ngalap barokah ke Para Masyayikh dan Guru. “Walaupun bisa online tapi suasananya tentu berbeda saat di lokasi” begitu kata teman saya.
Kali ini momen nya lebih spesial lagi karena sekaligus memperingati 100 tahun Pondok Ploso. Itung-itung jadi saksi sejarah. Harapannya untuk diri saya sendiri khususnya, semoga tetap istiqomah untuk hadir di setiap agenda pondok-pondok dan keagamaan lain. Menjadi jalan diakui sebagai santri walaupun tidak pernah mukim di sana. Kalau harapan yang terkesan sebagai evaluasi untuk pondok tentu saya tidak bisa berkomentar banyak. Karena Pondok Pesantren Al Falah Ploso sudah terbukti mencetak generasi Ulama’ dan berperan penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah lebih baik. Terpenting para Masyayikh, Asatid (guru-guru) tetap diberikan panjang umur sehat wal afiat barokah keselamatan dunia akhirat. Agar kami tetap bisa gandolan beliau-beliau.