Formula Nalar Tekstual: Respons atas Tulisan AZ (Dialektis, 2024)
Al Qur’an turun bukan hanya menjadi satu spirit nilai yang sarinya digunakan sebagai legitimasi peribadatan dan poros model keberagamaan. Jauh dari itu sebagaimana tradisi seorang ulama dan intelektual bahwa Al Qur’an menjadi satu obyek penelitian unik dan menarik untuk dikaji. Berbagai upaya dakwah dilakukan dengan berbagai upaya seperti kajian tematik, kajian diskursus, dan pembacaan ulang atas interpretasi yang dihasilkan. Kajian dan diskusi menarik semacam ini menjadi salah satu ruh Perguruan Tinggi Keislaman yang secara emansipatif berkewajiban untuk mengembangkan wacana dan melahirkan paradigma keislaman. Tak heran bila beberapa komunitas dan pegiat literasi di dalam kampus berusaha menghidupkan nalar ilmiah dan distingtif akademis sebagai upaya melahirkan satu pemikiran cemerlang yang mengandung nilai kebaruan.
Kesegaran akademis dan insting dialektis tampaknya sudah diselami dan menjadi satu tradisi di HMPS Ilmu Al Qur’an dan Tafsir UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Melalui kacamata program kerja DISMATA organisasi di bawah naungan Program Studi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir ini mencoba melestarikan tradisi literasi. Selasa, 15 November 2024 penulis menjadi satu saksi atas luasnya intelektual dan besarnya ghirah akademik Mahasiswa Prodi tersebut. Penulis merasa sangat terhormat atas undangan yang diberikan dan tersanjung atas kesempatan berbicara yang diperkenankan. Melalui acara ini penulis ditempatkan panitia sebagai “Pembawa Kayu Bakar”, penulis memahami posisi ini kemungkinan bak ibarat pemateri kedua atau pemantik, dan atau pembanding. Tema yang diangkat menarik, Formula Nalar Tekstual: Menelusuri dan Mengkritisi Narasi Kritis Tekstualisme Ahli Al Qur’an dan Hadis.
Acara yang seharusnya dilaksanakan di Markas Besar IAT pada pukul 15.00 tersebut terpaksa molor hingga pukul 16.00 WIB karena beberapa kendala. Penulis dibanding beberapa peserta lain datang lebih awal di pukul 15.30 WIB. Penulis merasa sangat malu karena keterlambatan yang tidak disengaja ini. Melalui tulisan sederhana ini penulis mohon maaf kepada panitia dan seluruh kawan-kawan HMPS Ilmu Al Qur’an dan Tafsir atas keterlambatan yang penulis lakukan. Di lain sisi penulis agak terkejut karena tampaknya peserta belum siap, namun atas kerendahan hati dan kebesaran jiwa beberapa Pengurus HMPS seperti Akbar dan Huda akhirnya penulis dijamu dan bincang santai ditemani satu botol Cleo warna merah. Satu fakta menarik yang ingin penulis tampakkan sedari awal bahwa AZ (Penulis artikel berjudul Membaca Tekstualis dan Kontekstualis: Kritik Terhadap Presentasi Narasumber IH) sepengetahuan penulis datang di forum kurang lebih pukul 17.15 WIB padahal acara selesai di pukul 17.30. AZ nyaris hanya bertemu sekitar 10-15 menit dengan penulis yang pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa ia tidak mengikuti satu jam lebih perbincangan yang sudah dilakukan oleh kedua pemateri bersama peserta lainnya. Ini tradisi buruk, mari ditinggalkan bersama-sama.
Fakta kedua, bahwa tema yang dikaji adalah usulan dari penulis sebab penulis merasa tema awal yang disodorkan kurang menarik dan secara sadar penulis mengakui bahwa tema yang disodorkan kurang dikuasai oleh penulis. Tema awal yang diajukan adalah “Pemahaman Al Qur’an dan Hadis dan Perkembangannya: Melihat diksi merekonstruksi konteks. Al Fakir mengakui dan menyadari bahwa penulis belum di level ini apalagi rekonstruksi konteks, artinya penulis dituntut untuk mereplika ulang konteks kekinian padahal penulis tidak memiliki kekuasaan atas itu. Penulis menilai tema ini sedikit ambigu, apa memang maksudnya seperti itu atau tidak, Wallahu A’lam. Tibalah penulis menyodorkan tema yang ditetapkan dengan dua tujuan. Pertama, penulis sudah memahami tema tersebut dengan harapan agar tidak mengecewakan peserta dan tidak memalukan diri Al Fakir sendiri. Kedua, agar secara luas dapat dipahami bahwa formula nalar tekstual tidak selamanya dipandang sebagai satu narasi yang bernuansa apologetis dan normatif negatif.
Tema disepakati dan kedua pemateri termasuk penulis berusaha untuk mencari data dan satu nilai kebaharuan dari DISMATA yang digelar. Alih-alih mendapatkan kebaharuan penulis justru mendapatkan banyak pertentangan dan beberapa kritik atas materi yang disampaikan. Namun tidak apa sebagaimana dikatakan Alfi Zaini dalam tulisannya yang menyadur tradisi kritis Ibnu Rusyd dan Fahmi Salim bahwa tradisi seperti ini biasa dan justru menjadi angin segar di dunia akademik. Melalui tulisan ini dan tulisan selanjutnya penulis tidak sedang klarifikasi atas upaya formulasi DISMATA yang menghasilkan banyak dialektika, namun penulis akan berusaha merespons secara akademis guna menghidupkan nalar kritis klasik yang telah lama hilang. Bersambung ….
Salam Haddatsana, Lanjut Part 2