Teman Baik Itu…
Kaffah.id – Disarikan dari Pengajian Rutin Al Hikam yang disampaikan Abah Dr. KH. Abdul Kholiq Hasan, M.H.I Al Hafidz (Pengasuh Pondok Pesantren Al Amanah Putra Bahrul Ulum) Sabtu, 01 Juni 2024 di Masjid Al Bashiroh.
Sebagai pembuka pengajian, Abah menukil salah satu hikmah dalam kitab Al Hikam karangan Ibnu ‘Aho’illah As Sakandari:
لا تصحب من لا ينهضك حاله ولا يدلك على الله مقاله
Artinya: Janganlah engkau berkawan dengan seseorang yang perbuatannya tidak membangkitkan semangatmu untuk taat kepada Allah, dan ucapannya tindak menunjukkan kamu kepada jalan menuju Allah.
Dapat dipahami secara jelas, nukilan hikmah di atas bisa menjadi nasehat, peringatan, sekaligus larangan untuk kita (manusia) agar berhati-hati dalam mencari kawan. Di mana pada hakikatnya sebagai manusia lumrah, yang ditakdir Allah menjadi makhluk sosial, pasti membutuhkan orang lain dalam meniti kehidupan. Oleh sebab itu, harus berusaha untuk bergaul dengan seseorang. Yang dimaksud seseorang dalam konteks ini ialah kawan atau teman.
Disebutkan dalam KBBI, teman atau kawan atau sahabat yakni orang yang sudah lama dikenal dan sering berhubungan dalam hal tertentu (dalam bermain, belajar, bekerja dan sebagainya). Terdapat dalam literatur Bahasa Arab, teman atau kawan dapat disebutkan dengan beberapa istilah kata antara lain; صديق، خليل، حبيب، صاحب, yang masing-masing kata tersebut memiliki makna sendiri, namun secara garis besar berarti teman atau kawan. Terlepas dari masalah pemaknaan istilah teman, pada tulisan ini akan membahas terkait kiat mencari teman yang baik.
Teman yang baik, sebagaimana yang dimaksud abah yakni teman dalam hal berjalan menuju Allah. Beliau menyampaikan jika manfaat memiliki teman yang baik sangatlah banyak, misalnya dalam dunia tasawuf, memiliki teman (hubungan antara murid dengan murid atau murid dengan guru) dapat mempercepat seorang salik untuk wushul kepada Allah. Adapun menurut penulis, manfaat memiliki teman baik (dalam hal berjalan menuju Allah) secara umum antara lain; dapat menjadi tempat berbagi cerita, pengetahuan, pengalaman, dan merasakan kedekatan emosional (kesedihan dan kebahagiaan).
Pada dasarnya berkawan atau bersahabat hanya perkara dua hal yaitu memberikan suatu manfaat atau meminta suatu manfaat dari seseorang tersebut. Dengan begitu seseorang harus berhati-hati ketika berteman agar tidak terseret kepada perbuatan atau perilaku yang dilarang syari’at agama.
Sebagaimana dalam hadits Rasulullah Saw:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل”. (رواه أحمد، والترمذي، وأبو داود، والبيهقي)
Artinya: Seseorang akan mengikuti kelakuan temannya, oleh sebab itu setiap orang harus memilih siapakah yang harus didekati sebagai temannya.
Terkait hal tersebut, kiat mencari teman atau kawan atau sahabat yang baik abah mengambil kembali salah hadis Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu:
قيل: يا رسولَ اللهِ، أيُّ جُلسائِنا خَيرٌ؟ قال: مَن ذكَّرَكم باللهِ رُؤيَتُه، وزادَكم في عِلمِه مَنطِقُه، وذكَّرَ بالآخِرَةِ عَمَلُه
Artinya: “Ada yang bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, siapa teman duduk yang paling baik? Rasulullah menjawab: Orang yang mengingatkanmu pada Allah ketika melihatnya, menambah ilmumu ketika ia berbicara, dan mengingatkanmu pada akhirat ketika ia beramal”.
Pada akhirnya kita memahami, apabila ada teman atau sahabat (baik antara murid dengan murid maupun guru dengan murid) yang sekedar melihatnya saja sudah mengingatkan akan akhirat dan membuat introspeksi diri atas kekurangan-kekurangan dalam diri, maka pegang erat-erat orang tersebut, karena ia merupakan teman yang baik. Sedangkan rambu-rambu untuk melihat seseorang teman yang harus dijauhi, Abah menukil dawuh dari Syekh Sahal bin Abdullah Al Tustary dalam kitabnya sebagai berikut:
قال سهل بن عبد الله رضي الله عنه: احذر صحبة ثلاثة أصناف من الناس: الجبابرة الغافلين, والقراء المداهنين, والمتصوفة الجاهلين
Artinya: Sahal bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu berkata, “Berhati-hatilah (jangan) bersahabat dengan tiga kelompok manusia. Pertama, pejabat pemerintah yang lupa hatinya (kepada Allah). Kedua, para ahli qurraa (ahli membaca al quran) yang hanya pencitraan. Ketiga, para ahli sufi yang bodoh (tentang hakikat tasawuf).”
Selain tiga orang tersebut penulis ingat, masih ada lagi teman yang layak dijauhi, sebagaimana dikatakan dalam kitabnya Imam Al-Ghazali Ihya’ Ulumiddin. Imam Al-Ghazali mengutip pernyataan Imam Ja’far Shodiq sebagai berikut:
وقال جعفر الصادق رضي الله عنه: لاتصحب خمسة الكذاب فإنك منه على غرور وهو مثل السراب يقرب منك البعيد ويبعد منك القريب،والاحمق فإنك منه على شيء أن ينفعك فيضرك، والبخيل فإنه يقطع بك أحوج ماتكون إليه، والجبان فإنه يسلمك ويفر عند الشدة، والفاسق فإنه يبيعك باكلة أو اقل منها
Lima jenis orang yang sebaiknya tidak dijadikan teman—dalam konteks berjalan menuju Allah, bukan dalam konteks sosial atau mu’asyaroh—yaitu sebagai berikut: 1) Pembohong, karena pasti suatu saat akan tertipu. 2) Orang tolol (baca: pekok atau di atas bodoh), karena ia belum mampu memberi manfaat seperti yang kita inginkan, sehingga berpotensi menyulitkan kita. 3) Orang pelit, karena tidak mungkin ia mau membantu atas apa yang kita butuhkan. 4) Penakut, karena ia pasti mengorbankan kawannya dan lari mencari aman ketika waktu darurat. Dan 5) Fasiq, seseorang yang tidak punya ketangguhan memegang nilai-nilai agama.
Akhirnya dapat dipahami, teman baik itu seseorang yang mampu mengajak dan membawa serta memberi kita menjadi lebih dekat kepada Allah Swt. Perlu diketahui, dengan banyak keterbatasan (pengetahuan dan pemahaman), tulisan ini ditujukan sebagai catatan kecil untuk mengingat-ingat serpihan pelajaran yang disampaikan murobbi ruh kami. Diperoleh ketika mengikuti pengajian rutin Al Hikam yang dilaksanakan sekali dalam satu bulan, tepatnya setiap hari Sabtu malam Ahad Kliwon. Bertempat di Masjid Al Bashiroh Pondok Pesantren Al Amanah Putra Bahrul Ulum Mojokrapak Tembelang Jombang. Tema yang disampaikan Abah Dr. KH. Abdul Kholiq Hasan, M.H.I Al Hafidz pada malam ini (Sabtu, 01 Juni 2024) berbicara tentang ‘Pentingnya Teman yang akan Menghantarkan Kita Menuju Ma’rifatullah dan Ridlo Allah’.
Penulis : Muhammad Thoriq Miftahuddin, M.Pd