Agama Peristiwa Tokoh

Rektor UIN SATU Tulungagung: Menjadi Taqwa dengan Menghormati Difabel

  • April 28, 2025
  • 5 min read
  • 567 Views
Rektor UIN SATU Tulungagung: Menjadi Taqwa dengan Menghormati Difabel

“Kita semua adalah sama, yang berbeda hanyalah tingkat ketaqwaannya saja, bukan sisi fisiknya. Menjadi taqwa berarti menghormati semua orang, termasuk kepada mereka yang difabel”

(Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)

Menghormati Sesama sebagai Jalan Menuju Ketaqwaan

Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Prof. Dr. H. Abd. Aziz, M.Pd.I., dalam sebuah forum penting bertajuk FGD Konsultasi Publik Tahap I: Islam, Kekerasan Seksual, dan Disabilitas yang diselenggarakan oleh LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung pada tanggal 26 April 2025, mengingatkan kepada kita tentang esensi hakiki dari ketaqwaan. Menurut beliau, sesungguhnya perbedaan manusia bukan terletak pada kondisi fisiknya, melainkan pada derajat ketaqwaannya.

Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an (Q.S. Al-Hujurat: 13) bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal, dan sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Ketaqwaan di sini bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ritual, melainkan diwujudkan dalam perilaku hormat dan pengakuan atas martabat setiap manusia, termasuk mereka yang mengalami disabilitas.

Lebih lanjut Rektor menegaskan bahwa menghormati difabel adalah bagian integral dari konsep taqwa. Selain itu, penghormatan terhadap difabel juga bagian dari upaya menjalankan nilai-nilai keislaman yang sejati. Sikap hormat tersebut didasarkan pada kesadaran bahwa setiap manusia membawa potensi ilahiyah. Dengan penghormatan kepada mereka inilah, kita memperkokoh prinsip keadilan sosial sebagaimana yang diajarkan dalam Islam. Sikap yang seperti ini juga menjadi langkah konkret dalam membangun komunitas akademik yang benar-benar mencerminkan nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Potensi Besar di Balik Disabilitas: Meneladani Tokoh Dunia

Rektor UIN SATU Tulungagung dalam sambutannya juga mengajak kepada kita semua untuk belajar dari para tokoh besar dunia yang berhasil menorehkan prestasi luar biasa meski dalam keterbatasan fisik. Beliau mencontohkan ada seorang mufti Arab, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, tokoh ahli fikih yang mengalami disabilitas (tuna netra), namun karya-karyanya menjadi rujukan penting bagi para ulama. Dari dunia ilmu pengetahuan modern, nama Stephen Hawking disebut sebagai ilustrasi nyata bagi seorang ilmuwan fisika teoretis yang mengalami kelumpuhan, namun tetap bisa berkarya hingga meraih Nobel.

Pesan ini sebagaimana yang diungkapkan dalam pepatah Arab, ” Unzhur maa qaala wa laa tanzhur man qaala” — lihatlah apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakannya. Dengan prinsip ini, maka ukuran nilai seseorang sejatinya bukanlah pada kondisi fisiknya, melainkan pada karya, inovasi, dan kontribusinya bagi umat manusia. Pandangan yang semacam ini menuntut kita untuk bisa melampaui prasangka dangkal dan membangun budaya akademik yang lebih inklusif dan meritokratis.

Lebih jauh, Rektor juga menegaskan bahwa semua agama mengakui adanya potensi ilahi dalam diri setiap manusia. Dalam Islam misalnya, mengajarkan bahwa setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah. Dalam konsep pendidikan Islam, fitrah dimaknai bahwa setiap anak yang lahir membawa potensi bawaan yang menunggu untuk dikembangkan. Sikap yang seperti ini seharusnya menjadi landasan utama dalam membangun sistem sosial dan pendidikan yang lebih adil.

Membangun Empati, Menghadapi Fenomena Kekerasan terhadap Difabel

Fenomena sosial hari ini, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rektor, menunjukkan adanya bentuk kekerasan baru terhadap difabel. Kekerasan tersebut adalah eksploitasi berbasis media sosial untuk mencari popularitas semu. Beberapa dari mereka ada yang menjadikan difabel sebagai bahan bullyan demi menaikkan follower. Hal ini menjadi contoh nyata kegagalan dalam membangun empati. Apa yang mereka lakukan sejatinya adalah bentuk kekerasan simbolik yang berdampak buruk terhadap persepsi publik atas komunitas difabel.

Hal ini kemudian makin diperparah dengan adanya beberapa orang yang berpura-pura menjadi difabel untuk mengemis di lampu merah. Tenti saja ini menodai citra perjuangan difabel yang sesungguhnya. Akibatnya, kepercayaan dan empati masyarakat terhadap difabel yang nyata (yang bukan pura-pura difabel) semakin lama semakin terkikis. Untuk itu, Rektor mengingatkan kepada kita untuk tetap peka terhadap fenomena-fenomena yang semacam ini. Mitigasi sosial dan pendidikan kritis menjadi langkah yang sangat penting untuk menjaga solidaritas sosial.

Selain itu, akhir-akhir ini juga marak terjadi kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk di pondok pesantren. Hal ini juga menjadi perhatian yang cukup serius. Data kekerasan seksual terhadap difabel masih banyak yang belum terungkap, dan ini menunjukkan adanya urgensi untuk membangun sistem pelaporan dan advokasi yang kuat, baik di lembaga pendidikan dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Kita semua perlu berkomitmen bahwa pendidikan harus menjadi ruang aman bagi semua, termasuk bagi mereka yang mengalami disabilitas.

Menuju Kampus Ramah Difabel: Mewujudkan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin

Sebagai bagian dari komitmen beliau, UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung kini tengah merintis kampus ramah difabel. Salah satu langkah konkret yang telah ditempuh adalah menjalin kerja sama dengan Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) dalam bidang pendidikan inklusif untuk difabel. Meski saat ini menghadapi tantangan efisiensi anggaran, UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung tetap berupaya mengoptimalkan kerja sama ini melalui berbagai skema, termasuk melalui platform daring.

Selain itu, optimalisasi peran Pusat Studi Gender, Anak dan Difabel (PSGAD) di bawah naungan LP2M juga menjadi perhatian penting bagi Rektor, karena saat ini PSGA telah bertransformasi menjadi PSGAD. Artinya, perlu juga memberikan perhatian terkait dengan difabel. Meskipun layanan difabel belum semapan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Negeri Malang, dan beberapa kampus ramah difabel lainnya, namun ke depan penyiapan sumber daya manusia yang bisa mendampingi difabel, serta sarana dan prasarana yang responsif serta ramah terhadap difabel akan diupayakan.

Upaya ini merupakan manifestasi dari visi besar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, yakni menjadi perguruan tinggi yang berjiwa Islam rahmatan lil ‘alamin. Bagi Rektor, memberikan pendidikan yang setara bagi semua kalangan bukan hanya kewajiban akademik, tetapi juga tanggung jawab keagamaan dan sosial. Oleh karena itu, hal yang menjadi prioritas utama melalui kerangka ini adalah bagaimana memastikan bahwa para difabel dapat mengakses pembelajaran secara baik dan adil.

Rektor optimis bahwa setiap langkah kecil yang kita usahakan, jika dilakukan dengan kesungguhan, akan menjadi bagian dari jihad ilmiah dalam menegakkan keadilan sosial berbasis nilai-nilai ketuhanan. UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, dengan segala keterbatasannya, memilih untuk tetap berjalan di jalan ini, seraya mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut bergandengan tangan dalam memperjuangkan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan. (LZ)

About Author

Lailatuzz Zuhriyah

Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung