
“Hari Buruh bukan hanya sekedar hari libur atau seremoni formal saja. Tetapi merupakan momentum pembaharuan spiritual, evaluasi sosial, sekaligus penguatan solidaritas. Dalam Islam, membela buruh bukan hanya tindakan politis semata, tetapi merupakan wujud dari kasih sayang Tuhan yang menitis dalam laku sosial umat-Nya”.
(El-Zet)
Hari Buruh dan Relevansi Keadilan Sosial dalam Islam
Setiap tanggal 1 Mei kita memperingati Hari Buruh Internasional. Hari buruh merupakan sebuah momentum historis yang lahir dari perjuangan kelas pekerja untuk memperoleh hak-hak dasar mereka, seperti: upah yang layak, jam kerja yang manusiawi, dan kondisi kerja yang adil.
Fenomena di beberapa tempat menunjukkan bahwa Hari Buruh bukan hanya sekedar seremonial, tetapi merupakan simbol perlawanan terhadap sistem ekonomi yang menindas. Selain itu, Hari Buruh juga menjadi momentum pengingat akan pentingnya solidaritas antar sesama manusia dalam dunia kerja yang makin kompetitif dan tidak setara.
Hari Buruh dalam konteks Islam seyogianya tidak dipandang sebagai agenda sekuler saja, melainkan sebagai momen teologis untuk meneguhkan komitmen keimanan yang berpihak kepada kaum mustadh‘afin juga. Sejak awal kemunculannya, Islam membawa semangat keadilan sosial yang berlandaskan nilai-nilai kenabian, yang menolak eksploitasi, dan menegakkan martabat manusia.
Etika Profetik sebagai Basis Pembelaan Sosial dalam Islam
Etika profetik adalah konsep yang dikembangkan oleh Kuntowijoyo dalam membaca ulang ajaran Islam secara transformatif. Dalam pandangan ini, nilai-nilai profetik sebenarnya tidak hanya berhenti pada aspek spiritual personal saja, tetapi juga bergerak ke arah praksis sosial yang membebaskan (Ridho, 2022).
Etika profetik berpijak pada tiga prinsip utama sebagaimana yang termaktub di dalam Q.S. Ali-Imran ayat 110, yakni meliputi: amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuna billah. Prinsip-prinsip ini, dalam tataran praksis sosial, menjadi fondasi bagi gerakan pembelaan terhadap kelompok tertindas, termasuk para buruh dan pekerja yang dieksploitasi oleh sistem yang tidak adil.
Jika ditinjau dari periode sejarah Islam awal, dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad SAW. sebenarnya tidak hanya membawa risalah spiritual saja, tetapi juga juga memimpin transformasi sosial. Nabi membela para budak yang ditindas, mendorong keadilan dalam perdagangan, serta membangun tatanan masyarakat Madinah yang menyeimbangkan antara hak dan tanggung jawab ekonomi bagi semua pihak.
Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa sebenarnya upaya pembelaan terhadap buruh bukanlah sebuah ide yang asing dalam Islam. Tetapi justru merupakan ekspresi paling otentik dari spirit profetik dalam Islam. Oleh karena itu, dalam kerangka ini, sejatinya Islam tidak bersifat netral terhadap ketimpangan sosial, melainkan memiliki keberpihakan moral yang jelas terhadap mereka yang dilemahkan oleh sistem.
Etika profetik dalam Islam, pada dasarnya juga menjadi jawaban atas kekosongan moral dalam sistem kapitalisme global. Dalam sistem tersebut, yang dinamakan “kerja” adalah suatu upaya yang dinilai semata-mata dari produktivitas dan nilai jualnya saja. Hal ini berbeda dengan Islam, yang melihat “kerja” sebagai bentuk amal saleh dan kontribusi sosial yang luhur.
Dalam pandangan Islam, buruh bukan hanya sekedar objek ekonomi belaka, tetapi subjek etis yang harus diperlakukan dengan martabat. Oleh karena itu, perjuangan buruh untuk meraih keadilan sejatinya bukan hanya masalah duniawi saja, melainkan menjadi bagian dari jihad sosial dalam makna yang lebih luas.
Melalui pendekatan etika profetik ini, kita tidak hanya memahami nilai-nilai keislaman secara normatif saja, tetapi juga secara aplikatif. Ajaran Islam tentang keadilan, kerja, dan solidaritas tidak boleh hanya berhenti di teks saja. Tetapi menuntut keterlibatan aktif dalam memperjuangkan kondisi kerja yang manusiawi.
Oleh karena itu, Islam bukanlah agama yang memaklumi sebuah ketimpangan dengan dalih takdir. Tetapi Islam merupakan agama yang menggerakkan kesadaran untuk melawan ketidakadilan sebagai bagian dari ibadah sosial.
Nabi Muhammad dan Spirit Pembelaan terhadap Kaum Pekerja
Nabi Muhammad SAW. sejatinya bukan hanya seorang rasul dan pemimpin spiritual saja, tetapi juga seorang pejuang keadilan sosial yang membela hak-hak kaum mustadh’afin, seperti: kelompok marjinal, termasuk para pekerja, budak, dan orang-orang miskin. Sebelum masa kenabian, Nabi sudah terlibat dalam aktivitas ekonomi, yakni sebagai seorang pedagang yang sangat jujur.
Namun, hal yang lebih penting adalah pasca menerima wahyu, di mana Nabi menjadikan keadilan sebagai agenda utama dakwahnya, termasuk dalam hal relasi kerja. Hadits-hadits beliau menunjukkan kepedulian yang sangat luar biasa atas hak-hak pekerja, seperti pernyataannya bahwa “berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya” (HR. Ibnu Majah). Pernyataan Nabi dalam hadits ini bukan hanya sekedar etika manajemen saja, tetapi refleksi dari keadilan profetik yang berpihak kepada para buruh.
Kehadiran Nabi tentu saja membawa guncangan yang sangat besar bagi masyarakat Makkah saat itu. Pasalnya, masyarakat Makkah sangat hierarkis dan terpolarisasi antara pemilik modal (ahlul mal) dan mereka yang termarjinalkan. Dalam hal ini, Islam merombak struktur sosial yang eksploitatif pada masa itu.
Misalnya, dalam pembebasan budak seperti Bilal bin Rabah, atau pembelaan terhadap kaum miskin dalam Piagam Madinah yang menyetarakan hak-hak warga kota tanpa melihat status ekonomi mereka (Andaluzi, 2023). Dalam Islam, relasi antara majikan dan pekerja tidak dibangun atas dasar subordinasi, tetapi berdasarkan musyawarah, keadilan, dan tanggung jawab secara timbal balik.
Dalam etika profetik, Nabi juga memperkenalkan bahwa konsep kerja adalah sebagai bagian dari ibadah. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ketika seorang sahabat bertanya kepada Nabi, apakah bekerja untuk menghidupi keluarga bernilai jihad, Nabi menjawab bahwa bekerja dengan niat yang benar adalah bagian dari ibadah (Ridlwan et al., 2017).
Apa yang disampaikan oleh Nabi ini merupakan bentuk revolusi spiritual yang menjadikan kerja sebagai ekspresi keimanan. Bukan hanya sekedar tuntutan ekonomi saja. Konsep ini memberikan nilai yang sakral pada aktivitas buruh, yang menjadikan mereka bagian penting dari struktur sosial Islam yang adil dan berkeadaban.
Sikap teladan yang dilakukan oleh Nabi tersebut menunjukkan bahwa pembelaan terhadap buruh merupakan bagian inheren dari visi profetik. Dalam konteks saat ini, kita sebagai muslim dituntut untuk tidak tinggal diam ketika melihat ketimpangan ekonomi dan eksploitasi pekerja. Oleh karena itu, Hari Buruh bukan hanya sebuah momentum yang bersifat sekuler, tetapi juga sebuah seruan spiritual bagi umat Islam untuk merevitalisasi etika profetik dalam membela hak-hak buruh secara nyata.
Islam dan Kritik terhadap Sistem Ekonomi Eksploitatif
Sejak awal, Islam telah mengusung kritik terhadap sistem ekonomi yang timpang, yang hanya menguntungkan segelintir elite dan mengeksploitasi kelompok mustadh’afin. Secara eksplisit, Al-Qur’an mengecam penumpukan kekayaan yang tidak didistribusikan secara adil (Q.S. Al-Hasyr: 7), melarang praktik ekonomi yang menindas seperti riba, penimbunan (ihtikar), serta penipuan dalam timbangan.
Sistem ekonomi yang eksploitatif, yang mengeksploitasi buruh demi akumulasi kapital, sangat bertentangan dengan prinsip keadilan distributif dalam Islam. Islam mengedepankan prinsip keseimbangan antara hak individu dan kemaslahatan sosial.
Buruh sering kali diposisikan sebagai komoditas dalam kapitalisme modern. Mereka hanya akan dihargai sejauh mereka produktif dan menghasilkan keuntungan saja. Namun, ketika mereka tidak produktif, mereka akan dibuang atau dipinggirkan.
Hal ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan pandangan Islam yang menempatkan manusia—terlepas dari kelas ekonominya—sebagai makhluk yang memiliki karamah insaniyah (martabat kemanusiaan). Oleh karena itu, dalam perspektif Islam, buruh bukan hanya faktor produksi, tetapi bagian dari umat yang harus dijamin hak-haknya, mulai dari pemberian upah yang layak, waktu kerja yang manusiawi, hingga perlindungan sosial.
Islam juga mendorong model ekonomi yang berbasis solidaritas dan tanggung jawab kolektif, seperti: zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Instrumen-instrumen ini bukan hanya sekedar amal saja, tetapi bentuk konkret dari redistribusi kekayaan. Model ini menjadi sistem yang bersifat korektif terhadap ketimpangan yang dihasilkan oleh mekanisme pasar, jika ditinjau dalam masyarakat ideal.
Dalam pandangan Islam, idealnya negara menjadi penjamin keadilan, bukan hanya sekedar pengatur pasar bebas. Sementara itu, dalam konteks buruh, negara harus berpihak dengan mengatur regulasi yang memberikan perlindungan terhadap pekerja, mencegah eksploitasi, dan menegakkan prinsip-prinsip kerja yang adil.
Dari penjelasan tersebut, maka kritik Islam terhadap sistem ekonomi eksploitatif, bukanlah sebuah retorika moral semata. Melainkan bagian dari visi etika profetik yang berusaha untuk menghadirkan dunia yang lebih adil.
Hari Buruh menjadi momentum yang sangat tepat untuk merefleksikan kembali kegagalan sistem ekonomi dominan dalam memenuhi keadilan, sekaligus untuk menggali kembali ajaran Islam sebagai alternatif etis yang berpihak pada pekerja dan martabat manusia secara holistik.
Hari Buruh sebagai Momentum Spiritual dan Sosial Umat Islam
Hari Buruh Internasional yang selalu diperingati setiap tanggal 1 Mei sering kali dianggap sebagai agenda sekuler, yakni identik dengan demonstrasi, tuntutan politik, atau narasi ideologis tertentu saja. Namun, jika ditinjau dari perspektif Islam, Hari Buruh dapat ditransformasikan menjadi momen spiritual dan sosial, yakni momentum untuk merefleksikan kembali visi Islam tentang keadilan, kerja, dan solidaritas kemanusiaan.
Dalam perspektif etika profetik, memperingati Hari Buruh bermakna merayakan kerja sebagai ibadah. Upaya-upaya dalam membela hak-hak buruh merupakan bagian dari jihad sosial, serta membangun tatanan ekonomi yang lebih manusiawi.
Dalam Islam, spiritualitas tidak dipisahkan dengan praksis sosial. Dalam konteks ini, perjuangan buruh untuk mendapatkan keadilan kerja yang layak, merupakan bagian dari aktualisasi nilai-nilai tauhid dalam kehidupan sosial. Tauhid tidak hanya terbatas pada bentuk ritual penyembahan terhadap Tuhan secara vertikal saja, tetapi juga mewujudkan keadilan dan kesetaraan dalam relasi horizontal.
Mereka yang menindas kaum pekerja, dan membiarkan terjadinya ketimpangan struktural, justru mencederai prinsip tauhid yang menegaskan kemuliaan manusia. Oleh karena itu, merayakan Hari Buruh tidak harus terjebak dalam simbolisme politik semata, tetapi juga dapat diarahkan pada sebuah gerakan moral yang berbasis pada nilai-nilai Islam.
Selain itu, Hari Buruh juga dapat dijadikan sebagai kesempatan bagi umat Islam untuk mengembangkan empati sosial. Secara ontologis, buruh bukanlah entitas asing yang terpisah dari umat, tetapi bagian integral dari kehidupan kita sehari-hari. Mereka adalah pekerja pabrik, petani, guru, kuli, perawat, sopir, penjaga keamanan, bahkan tenaga kebersihan di lembaga pendidikan dan masjid-masjid kita.
Oleh karena itu, menghormati mereka, berarti memperjuangkan hak-hak mereka, dan memastikan kesejahteraan bagi mereka adalah cerminan dari akhlak Islam yang paripurna. Bahkan, dalam sejarah, para ulama klasik mengajarkan pentingnya ‘adl (keadilan) dan rahmah (kasih sayang) dalam interaksi antara majikan dan pekerja.
Dari sini, maka dapat dikatakan bahwa Hari Buruh sejatinya bukan hanya sekedar hari libur atau seremoni formal saja. Tetapi merupakan momentum pembaharuan spiritual, evaluasi sosial, sekaligus penguatan solidaritas.
Dalam perspektif etika profetik, umat Islam diajak untuk melampaui narasi lama tentang buruh, yang hanya menarasikan buruh sebagai semata elemen produksi saja. Buruh adalah subjek kemanusiaan yang layak untuk mendapatkan perlindungan, penghormatan, dan kesempatan hidup yang bermartabat.
Oleh karena itu, memperingati Hari Buruh dalam Islam tidak hanya sekedar seruan keadilan, tetapi juga wujud cinta pada sesama dan penghormatan terhadap nilai kerja sebagai sebuah amanah ilahiyah.
Mari, kita jadikan Hari Buruh sebagai hari keimanan sosial, yakni hari ketika kita menghidupkan kembali nurani yang berpihak kepada mereka yang lemah, menyuarakan yang bisu, serta menyalakan obor etika profetik dalam ruang-ruang kebijakan, pendidikan, dan keseharian kita. Karena dalam Islam, membela buruh bukan hanya tindakan politis semata, tetapi merupakan wujud nyata dari kasih sayang Tuhan yang menitis dalam laku sosial umat-Nya.
Selamat Hari Buruh Internasional untuk setiap tangan yang mengukir peradaban, untuk setiap peluh yang menjadi doa, dan untuk setiap kerja yang menjadi jalan menuju ridha-Nya. Engkau bukan hanya buruh, tetapi engkau adalah penjaga kehidupan.
(El-Zet)