Opini Tokoh Tokoh Islam

Ibnu Khaldun dan Moderasi Beragama: Meneladani Sang Filosof dalam Membangun Budaya Penelitian yang Kritis dan Humanis

  • May 2, 2025
  • 9 min read
  • 267 Views
Ibnu Khaldun dan Moderasi Beragama: Meneladani Sang Filosof dalam Membangun Budaya Penelitian yang Kritis dan Humanis

Institusi pendidikan Islam harus berani keluar dari zona nyaman dan mengembangkan penelitian yang berdampak nyata bagi peradaban. (El-Zet)

Kaafah.id – Dalam diskursus Pemikiran Islam, nama Ibnu Khaldun (1332-1406 M) adalah salah satu yang tidak bisa diabaikan. Tokoh ini bukan hanya dikenal sebagai seorang sejarawan dan sosiolog Muslim pertama, tetapi juga seorang pemikir yang mendalam dalam kajian filsafat pendidikan. Kontribusinya dalam teori ilmu, pendidikan, dan peradaban menawarkan banyak pelajaran yang berharga bagi dunia akademik, khususnya dalam membangun budaya penelitian yang inklusif dan kritis. Di tengah tantangan globalisasi dan radikalisasi, pemikiran Ibnu Khaldun menawarkan perspektif yang berharga tentang moderasi beragama, yang relevan bagi dunia pendidikan Islam saat ini.

Sebagai seorang pemikir multidisipliner, Ibnu Khaldun tidak hanya melihat ilmu sebagai kumpulan teori saja, tetapi juga sebagai hasil dari interaksi sosial dan sejarah manusia. Ia mengamati bahwa peradaban yang maju selalu ditopang oleh budaya ilmu yang berkembang secara dinamis. Dalam Muqaddimah-nya, ia menegaskan bahwa ilmu tidak boleh berkembang dalam ruang kosong, melainkan harus dipahami dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa pemahaman keislaman yang moderat tidak dapat dipisahkan dari konteks sosialnya.

Konteks moderasi beragama menjadi semakin penting di era saat ini. Saat ini kita menghadapi tantangan ekstremisme dan eksklusivisme dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menawarkan pendekatan yang menekankan keseimbangan antara pemeliharaan tradisi dan keterbukaan terhadap perubahan zaman. Baginya, masyarakat yang mampu bertahan adalah mereka yang dapat beradaptasi dengan perubahan tanpa kehilangan identitas keagamaannya. Pendekatan ini memberikan pelajaran bagi dunia pendidikan Islam agar mampu menjadi ruang yang nyaman bagi dialog dan inovasi, bukan hanya sekadar mempertahankan status quo saja.

Selain itu, dalam dunia akademik, khususnya penelitian, Ibnu Khaldun mengajarkan pentingnya sikap kritis dan obyektif dalam mengkaji suatu fenomena. Ia menolak klaim-klaim yang tidak berbasis bukti dan mengajarkan bahwa kebenaran ilmiah harus diverifikasi melalui metode empiris. Prinsip ini sangat relevan dalam pengelolaan penelitian di institusi pendidikan Islam, yang sering kali masih terjebak dalam pendekatan normatif, tanpa eksplorasi metodologi yang lebih luas. Oleh karena itu, dengan menggali pemikiran Ibnu Khaldun, selain bermanfaat dalam upaya membangun moderasi beragama, juga dapat digunakan dalam mengembangkan budaya penelitian yang lebih progresif dan berorientasi pada solusi bagi umat manusia.

 Ibnu Khaldun: Pendidikan sebagai Landasan Peradaban

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menegaskan bahwa pendidikan merupakan fondasi utama dalam membangun peradaban yang maju (Nurlaila et al., 2023). Ia berpandangan bahwa kemajuan suatu masyarakat sangat bergantung pada perkembangan intelektualnya. Perkembangan intelektual ini hanya dapat dicapai melalui sistem pendidikan yang baik. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai wahana untuk mentransfer ilmu, tetapi juga sebagai sarana dalam membentuk karakter dan solidaritas sosial (asabiyyah).

Dalam pandangannya, peradaban yang kuat adalah peradaban yang mampu mempertahankan kesinambungan keilmuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, jika suatu masyarakat mengabaikan pendidikan, maka lambat laun peradaban tersebut akan mengalami kemunduran dan kehancuran.

Salah satu kritik utama Ibnu Khaldun terhadap sistem pendidikan pada masanya adalah tentang pendekatan yang terlalu menekankan pada hafalan tanpa pemahaman yang mendalam. Ia menyoroti kecenderungan sebagian guru dan institusi pendidikan yang hanya berfokus pada pengulangan teks, tanpa mendorong siswa untuk berpikir kritis atau melakukan analisis terhadap materi yang mereka pelajari.

Menurutnya, metode pembelajaran yang hanya berbasis hafalan justru dapat membatasi daya inovasi dan kreativitas intelektual. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa metode yang lebih efektif adalah pembelajaran berbasis pemahaman dan pengalaman langsung, di mana siswa tidak hanya menghafal, tetapi juga memahami dan mampu menerapkan ilmunya dalam konteks kehidupan nyata (Wulandari et al., 2020).

Selain itu, Ibnu Khaldun juga menekankan pentingnya hubungan antara pendidikan dan stabilitas sosial-politik. Dalam Muqaddimah, ia menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan berkembang pesat di masyarakat yang memiliki stabilitas ekonomi dan politik (Nia sholihah & Yumitro, 2022). Ketika suatu peradaban mengalami kemajuan ekonomi, muncul kelas intelektual yang memiliki waktu dan sumber daya untuk mendalami ilmu pengetahuan.

Sebaliknya, ketika suatu masyarakat mengalami konflik berkepanjangan atau kemerosotan ekonomi, maka pendidikan pun akan terabaikan. Hal ini akan berdampak pada kemunduran peradaban itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pandangan Ibnu Khaldun, penguatan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kebijakan sosial dan ekonomi yang lebih luas.

Pemikiran Ibnu Khaldun ini memiliki relevansi yang besar bagi pendidikan Islam kontemporer, terutama dalam membangun moderasi beragama. Pendidikan yang berbasis pada rasionalitas dan metode kritis dapat menjadi penangkal bagi ekstremisme dan fanatisme agama yang sering kali lahir dari pemahaman yang sempit dan dogmatis. Pendidikan Islam harus mampu membangun generasi yang tidak hanya religius, tetapi juga memiliki wawasan yang luas, terbuka terhadap perbedaan, dan mampu berdialog dengan berbagai pemikiran. Dalam hal ini, pendekatan Ibnu Khaldun menekankan keseimbangan antara ilmu agama dan ilmu rasional. Pendekatan ini dapat menjadi model bagi sistem pendidikan Islam di era modern (Yuli & Izhar Musyafa, 2024).

 Moderasi Beragama dalam Perspektif Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan bahwa keseimbangan sosial dan politik merupakan faktor utama dalam menjaga stabilitas peradaban. Dalam analisisnya mengenai asabiyyah, ia menekankan bahwa solidaritas sosial menjadi kunci utama dalam membangun masyarakat yang harmonis (Faidah dkk., 2024). Dalam konteks moderasi beragama, konsep ini dapat diterjemahkan sebagai dorongan untuk membangun pemahaman keagamaan yang tidak hanya berbasis pada teks suci, tetapi juga memperhatikan dinamika sosial yang berkembang.

Moderasi dalam Islam, menurut perspektif Ibnu Khaldun, tidak berarti hanya mengambil jalan tengah antara konservatisme dan liberalisme saja. Tetapi juga mengakomodasi perubahan zaman tanpa kehilangan esensi ajaran Islam.

Ibnu Khaldun juga mengkritik sikap fanatisme dalam kehidupan beragama. Menurutnya, fanatisme atau ekstremisme sering kali muncul akibat kegagalan dalam memahami sejarah dan realitas sosial. Ia mencontohkan bagaimana kelompok-kelompok tertentu yang terlalu kaku dalam menafsirkan agama cenderung mengalami kejatuhan ketika berhadapan dengan perubahan zaman.

Pemikiran Ibnu Khaldun menjadi relevan dalam menghadapi tantangan ekstremisme kontemporer. Dalam hal ini, pendidikan Islam harus menjadi ruang untuk membangun pemahaman agama yang lebih terbuka, inklusif, dan berbasis pada metode ilmiah yang kritis.

Lebih lanjut, dalam analisisnya terhadap sejarah peradaban, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa keberlanjutan suatu masyarakat bergantung pada kemampuannya dalam beradaptasi dengan tantangan zaman. Dalam konteks pendidikan Islam, hal ini dapat diinterpretasikan sebagai dorongan untuk memperbarui kurikulum keislaman agar lebih responsif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bagi Ibnu Khaldun, ilmu tidak boleh dikekang oleh dogma yang kaku, tetapi harus terus berkembang melalui proses dialektika antara teks dan konteks (Zuhri et al., 2020). Dengan demikian, pendidikan Islam yang berbasis pada pemikiran Ibnu Khaldun akan mampu melahirkan generasi yang tidak hanya memiliki kedalaman spiritual, tetapi juga memiliki kecakapan intelektual dalam memahami kompleksitas dunia modern.

 Budaya Penelitian Terkini dan Pelajaran dari Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun mengajarkan bahwa penelitian yang berkualitas harus berpijak pada metodologi yang kuat dan analisis yang tajam terhadap realitas sosial. Dalam Muqaddimah-nya, ia menekankan bahwa ilmu selalu berkembang dalam siklus peradaban, di mana kemajuan intelektual suatu masyarakat sangat bergantung pada budaya ilmiah yang berkembang di dalamnya (Abdurrahman Kasdi, 2014).

Konsep ini relevan dengan tantangan dunia akademik saat ini, di mana riset harus mampu menjawab problematika sosial dan bukan hanya sekedar memenuhi tuntutan administratif akademik saja. Sayangnya, di era modern, budaya penelitian sering kali terjebak hanya untuk kepentingan mengejar kuantitas publikasi tanpa mempertimbangkan dampak substansial terhadap masyarakat dan peradaban.

Dalam konteks akademik kontemporer, pelajaran yang dapat diambil dari pemikiran Ibnu Khaldun adalah tuntutan adanya penelitian yang lebih bersifat interdisipliner dan berbasis realitas. Pemikirannya tentang asabiyyah atau solidaritas sosial dapat diterjemahkan sebagai pentingnya kolaborasi dalam penelitian, terutama di tengah kompleksitas persoalan global yang menuntut pendekatan multidisipliner.

Sebagai contoh, hal ini telah dimulai dalam Program Bantuan Penelitian BOPTN Kementerian Agama (baik pada Satker Diktis, maupun Satker PTKIN) dengan adanya klaster kolaborasi antar perguruan tinggi (nasional), maupun penelitian pengembangan kolaborasi internasional. Program yang lain adalah MoRA The Air Fund, yang tujuannya adalah untuk memperkuat kapasitas Perguruan Tinggi Keagamaan (PTK) dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang Sosial Humaniora, Sains dan Teknologi, Ekonomi dan Lingkungan, serta Kebijakan Layanan Pendidikan dan Keagamaan pada Kementerian Agama Republik Indonesia.

Meski demikian, masih ada institusi pendidikan Islam dan peneliti yang masih terjebak dalam model penelitian yang eksklusif dan kurang terbuka terhadap pendekatan lintas disiplin. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat berkontribusi secara luas bagi masyarakat.

Lebih lanjut, Ibnu Khaldun juga mengkritik kecenderungan stagnasi intelektual yang muncul akibat keterpakuan terhadap tradisi tanpa melakukan evaluasi secara kritis. Ia berargumen bahwa kemunduran suatu peradaban terjadi ketika masyarakatnya lebih memilih menerima pengetahuan secara dogmatis daripada mengembangkan pemikiran yang berbasis rasionalitas dan pengalaman empiris (Purnama et al., 2021).

Hal ini memberikan pelajaran berharga bagi dunia akademik modern untuk terus memperbarui paradigma penelitian agar tidak terjebak dalam stagnasi epistemologis. Model penelitian yang hanya berorientasi pada pengulangan gagasan tanpa inovasi akan sulit membawa perubahan yang signifikan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan kebijakan publik.

Ibnu Khaldun menekankan bahwa penelitian yang baik harus berbasis pada observasi dan analisis sosial yang mendalam. Ia menolak klaim-klaim yang tidak didukung oleh bukti nyata dan mengajarkan bahwa pengetahuan harus diverifikasi melalui metode ilmiah. Pendekatan ini sejalan dengan kebutuhan dunia akademik saat ini untuk mengembangkan penelitian yang berbasis data, bukan sekadar doktrin atau asumsi subjektif.

Sebagai akademisi yang bergerak dalam dunia penelitian dan pengembangan ilmu, kita dapat meneladani Ibnu Khaldun dengan membangun budaya ilmiah yang tidak hanya bertumpu pada tradisi intelektual Islam saja, tetapi juga mampu merespons perubahan zaman dengan pendekatan kritis dan inovatif. Institusi pendidikan Islam harus berani keluar dari zona nyaman dan mengembangkan penelitian yang berdampak nyata bagi peradaban. Dengan upaya-upaya ini, semangat intelektual Ibnu Khaldun dapat terus hidup dalam dinamika keilmuan kontemporer, menginspirasi generasi akademisi untuk membangun penelitian yang lebih relevan, kontekstual, dan berorientasi pada kemaslahatan umat.

Sebagai pengelola penelitian pada UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, saya melihat bahwa masih ada celah dalam membangun budaya riset yang kuat di kalangan dosen dan mahasiswa. Pelajaran dari Ibnu Khaldun bisa dijadikan sebagai inspirasi bagi pengelolaan penelitian yang lebih inovatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Penguatan penelitian interdisipliner, kolaborasi antara ilmu agama, ilmu sosial, sains dan teknologi serta keterbukaan terhadap pemikiran yang berbeda, harus menjadi agenda utama dalam pengembangan penelitian di Perguruan Tinggi Keagamaan. Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana membuat hasil-hasil penelitian kita menjadi berdampak bagi masyarakat luas.

Penulis: Lailatuzz Zuhriyah (Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)

About Author

Lailatuzz Zuhriyah

Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung