Perempuan dan Moderasi Beragama: Belajar dari Pemikiran Nana Asma’u

Potret Nana Asma’u
Dalam diskursus keislaman, nama-nama pemikir laki-laki kerap mendominasi panggung sejarah. Namun, di antara para pemikir Muslim, terdapat tokoh perempuan yang pemikirannya sangat jarang diekspos, padahal memiliki kontribusi yang besar dalam membangun sikap moderasi beragama. Salah satu di antaranya adalah Nana Asma’u, seorang intelektual Muslimah abad ke-19 dari Kekhalifahan Sokoto, Nigeria-Afrika. Pemikirannya tentang pendidikan perempuan, toleransi, dan keseimbangan dalam beragama menjadi pelajaran berharga dalam merawat moderasi beragama di Indonesia.
Nana Asma’u (1793–1864) adalah putri dari Usman dan Fodio, pendiri Kekhalifahan Sokoto yang dikenal sebagai pemimpin reformasi Islam di Afrika Barat. Sebagai seorang Muslimah cendekiawan, pujangga, dan pendidik, Nana Asma’u menulis dalam berbagai bahasa, termasuk Arab, Fulani, Hausa, dan Tuareg. Ia juga aktif dalam mendidik perempuan dan masyarakat dengan prinsip Islam yang inklusif dan menekankan pentingnya ilmu pengetahuan.
Nana Asma’u dikenal melalui metode pengajaran unik yang dikenal sebagai Yan Taru (perkumpulan perempuan). Melalui Yan Taru, ia membangun jaringan intelektual yang memungkinkan perempuan dari berbagai latar belakang untuk mengakses pendidikan. Ia sangat produktif dalam menulis puisi, esai, dan risalah yang mengajarkan nilai-nilai Islam yang moderat, memperjuangkan hak perempuan dalam memperoleh ilmu, serta menanamkan sikap toleransi dan keadilan sosial.
Moderasi Beragama dalam Pemikiran Nana Asma’u
Meskipun hidup dalam konteks abad ke-19 di Afrika Barat, pemikiran dan perjuangan Nana Asma’u meletakkan jejak nilai-nilai yang kini menjadi fondasi moderasi beragama di Indonesia, seperti pendidikan inklusif, toleransi, dan keadilan sosial. Tiga aspek penting dalam pemikiran Nana Asma’u yang relevan dengan moderasi beragama saat ini adalah:
Pendidikan sebagai Kunci Kesetaraan dan Kedamaian
Salah satu prinsip utama yang disuarakan oleh Nana Asma’u adalah pendidikan inklusif bagi perempuan dan laki-laki. Ia meyakini bahwa ilmu pengetahuan merupakan fondasi bagi kehidupan beragama yang harmonis. Dengan pendidikan, umat Islam dapat memahami ajaran agama secara lebih mendalam dan terhindar dari ekstremisme, baik yang berbasis tekstualisme rigid maupun liberalisme berlebihan.
Jika ditinjau dalam konteks sosial-budaya di Indonesia, konsep ini sangat relevan dalam membangun masyarakat yang moderat. Pendidikan Islam yang menekankan pemahaman kontekstual terhadap teks-teks suci dapat menjadi penangkal bagi paham-paham radikal yang sering kali berakar pada ketidaktahuan dan penyalahgunaan ajaran agama.
Peran Perempuan sebagai Agen Perdamaian
Nana Asma’u berpandangan bahwa perempuan merupakan pilar utama dalam menjaga keharmonisan sosial. Ia tidak hanya memperjuangkan hak pendidikan perempuan, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa perempuan memiliki tanggung jawab dalam membangun masyarakat yang adil dan damai. Dalam konteks Indonesia, peran perempuan dalam gerakan moderasi beragama juga sangat signifikan.
Perempuan yang memiliki pemahaman keislaman yang sangat baik, akan mampu menjadi penengah dalam konflik sosial dan agama, baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat yang lebih luas. Perempuan dapat menjadi mediator yang mengajarkan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan di tengah perbedaan.
Toleransi dan Dialog Antarmazhab dan Antaragama
Sebagai seorang pemikir yang hidup dalam lingkungan beragam, Nana Asma’u menekankan pentingnya dialog dan toleransi. Ia mempercayai bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan kasih sayang dan persatuan, bukan perpecahan. Dalam tulisannya, ia sering kali mengajak umat Islam untuk memahami perbedaan sebagai rahmat, bukan sebagai alasan untuk saling menghakimi.
Konsep ini sejalan dengan prinsip moderasi beragama di Indonesia yang menekankan sikap tawassuth (jalan tengah), tasamuh (toleransi), dan i’tidal (keadilan). Dalam realitas sosial, semangat ini perlu terus dikembangkan agar umat Islam dapat hidup berdampingan dengan kelompok lain tanpa kehilangan identitas keislamannya.
Pelajaran bagi Indonesia: Membangun Moderasi Beragama dengan Kearifan Perempuan
Moderasi beragama di Indonesia tidak bisa hanya menjadi wacana elite, tetapi harus diimplementasikan di berbagai lini kehidupan. Dari pemikiran Nana Asma’u, kita dapat mengambil beberapa pelajaran penting. Pertama, memperkuat pendidikan berbasis moderasi. Dalam hal ini, lembaga pendidikan, terutama madrasah dan pesantren, perlu mengembangkan kurikulum yang memperkenalkan pemikiran para tokoh Muslimah seperti Nana Asma’u agar generasi muda memahami pentingnya ilmu dalam membangun harmoni sosial. Termasuk mengerti bahwa ternyata banyak tokoh-tokoh pemikir Muslimah yang memiliki peran yang besar dalam membangun peradaban.
Kedua, mendorong peran perempuan sebagai penggerak moderasi. Perempuan harus diberi ruang lebih luas dalam dakwah dan pendidikan Islam. Hal ini karena sejatinya perempuan juga memiliki potensi yang besar dalam menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama, baik melalui lembaga formal maupun komunitas lokal.
Ketiga, mengembangkan wacana Islam yang inklusif dan humanis. Pemikiran Islam di Indonesia harus lebih terbuka terhadap berbagai perspektif, termasuk dari tokoh-tokoh perempuan Muslim yang selama ini kurang mendapat sorotan. Dengan demikian, Islam yang rahmatan lil ‘alamin akan bisa benar-benar terwujud dalam kehidupan nyata.
Dari semua penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa Nana Asma’u merupakan tokoh perempuan muslim yang menjadi representasi Islam yang inklusif, berkeadilan, dan penuh kasih sayang. Pemikirannya yang menekankan pendidikan, toleransi, dan peran perempuan dalam membangun masyarakat yang harmonis dapat menjadi inspirasi dalam memperkuat moderasi beragama di Indonesia.
Dengan meneladani jejak intelektualnya, kita dapat mewujudkan Islam yang damai, terbuka, dan menghargai keberagaman dalam segala aspeknya. Dengan demikian, perempuan bukan hanya menjadi objek dalam diskursus keislaman, tetapi juga aktor utama dalam membangun masa depan Islam yang lebih moderat dan berkeadilan.
Penulis: Lailatuzz Zuhriyah (Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)