Tokoh

Urban Kartini: Perempuan, RIset dan Arah Peradaban

  • April 21, 2025
  • 8 min read
  • 376 Views
Urban Kartini: Perempuan, RIset dan Arah Peradaban

“Sebagaimana terang datang sesudah gelap, demikian pula setelah masa bodoh dan kebodohan, pasti akan datang masa pikir dan pengertian.”

— R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, surat kepada J.H. Abendanon, 12 Januari 1900.

Setiap tanggal 21 April, nama Kartini kembali menggema. Di sekolah-sekolah, kantor-kantor, dan media sosial, kita menyaksikan peringatan hari Kartini yang meriah, lengkap dengan baju adat (khususnya kebaya bagi perempuan), flyer dan puisi. Namun, di balik seremonial yang meriah itu, ada warisan intelektual yang tidak boleh kita lupakan, yakni bahwa Kartini adalah seorang pemikir perempuan yang dengan keberanian dan penanya, telah merintis arah baru bagi bangsanya.

Kini, lebih dari satu abad setelah wafatnya, Kartini telah menjelma dalam wajah-wajah perempuan masa kini, seperti: para peneliti, dosen, guru, aktivis, birokrat, dan intelektual. Mereka semua hidup di tengah kota, memegang laptop bukan pena, namun mewarisi semangat yang sama. Mereka inilah yang disebut dengan “Urban Kartini”, yakni mereka yang menyusun strategi peradaban lewat riset dan karya nyata.

Dari Pena ke Data: Evolusi Perjuangan Kartini

Saat itu, Kartini menulis dalam kondisi keterkungkungan. Surat-surat yang ia tulis adalah sebuah teriakan nurani sekaligus narasi perlawanan. Ia tidak hanya bicara soal “sekolah untuk perempuan”, tapi juga mengkritik ketimpangan struktural, kolonialisme pengetahuan, hingga subordinasi budaya terhadap perempuan. Ia menyadari bahwa perubahan tidak bisa hanya sekedar dari kebijakan, melainkan harus melalui kesadaran berpikir, yakni melalui ilmu.

Perjuangan R.A. Kartini dimulai dari pena sebagai alat sederhana yang menjadi senjata perubahan. Melalui surat-suratnya kepada para sahabatnya di Belanda, Kartini menuliskan keresahannya dan mengekspresikan kegelisahan, harapan, dan impiannya terhadap nasib perempuan Jawa yang terkungkung tradisi, dan sangat minim akses pendidikan. Dalam hal ini, pena menjadi alat emansipasi, karena melalui tulisannya, Kartini mampu menembus batas ruang untuk menyuarakan gagasan yang kemudian menggema dalam gerakan kebangkitan perempuan Indonesia. Baginya, pendidikan adalah kunci utama pembebasan.

Di masa kini, semangat Kartini tidak lagi hanya sebatas ditulis dalam surat atau wacana emansipasi klasik. Saat ini, perjuangan perempuan urban telah bertransformasi dalam bentuk yang lebih kompleks, yakni melalui data, riset, dan penguasaan teknologi. Urban Kartini hari ini adalah mereka yang berprofesi sebagai peneliti, akademisi, ilmuwan, hingga penggerak sosial yang memanfaatkan basis data untuk membongkar ketimpangan, menyusun kebijakan berbasis bukti, serta memperjuangkan keadilan gender dengan pendekatan ilmiah. Transformasi dari pena ke data, menajdikan perjuangan perempuan bergerak dari kesadaran menuju keberdayaan struktural.

Perubahan ini mencerminkan transisi dari ekspresi personal menjadi intervensi sosial yang sistemik. Jika pada jaman dahulu Kartini menyentuh hati pembaca dengan kepekaan nurani dan kritik sosial, maka Urban Kartini masa kini menguatkan argumen mereka dengan publikasi ilmiah, laporan riset, dan advokasi berbasis data. Perempuan kini tidak hanya menjadi objek narasi, tetapi bertransformasi menjadi produsen pengetahuan dan arsitek perubahan. Dalam dunia akademik, laboratorium, ruang kebijakan, dan komunitas digital, mereka menyusun strategi untuk membangun peradaban yang inklusif.

Meskipun saat ini Kartini klasik telah bertransformasi menjadi Urban Kartini, namun perjuangannya tetap berpijak pada nilai yang diwariskan oleh Kartini klasik, bahwa ilmu harus dibagikan, dan kemajuan tak akan bermakna jika tidak menyentuh mereka yang lemah. Dalam hal ini, riset dijalankan bukan semata demi karier atau pengakuan akademik, tetapi menjadi jalan pengabdian dan advokasi. Dalam diri Urban Kartini, kita melihat perpaduan antara ketajaman akal dan kepekaan nurani, antara semangat kemajuan dan etika kemanusiaan. Transformasi dari pena ke data, dari impian ke kebijakan, menunjukkan bahwa perempuan tidak pernah berhenti untuk menulis arah peradaban bangsa.

Perempuan, Riset, dan Arah Peradaban

Dalam sejarah panjang peradaban, perempuan sering kali diposisikan berada di tepi narasi besar. Namun, pada kenyataannya, peradaban tidak pernah lahir tanpa kontribusi pengetahuan, nilai-nilai kehidupan, dan daya cipta dari perempuan. Seiring dengan perubahan zaman, peran perempuan semakin nampak dalam ruang-ruang produksi ilmu pengetahuan. Hari ini, riset menjadi instrumen yang begitu penting untuk mentransformasikan pengalaman hidup perempuan menjadi pengetahuan yang sistemik, bisa diuji, dan digunakan sebagai fondasi bagi arah pembangunan. Di sinilah letak kekuatan riset perempuan, yakni tidak hanya sekedar aspek akademik, tetapi juga politis, etis, dan juga transformatif.

Riset yang dilakukan oleh perempuan (urban Kartini) tidak hanya memperkaya khazanah keilmuan, tetapi juga menggeser paradigma dominan. Riset yang dilakukan para Urban Kartini sering kali mengangkat isu-isu yang sebelumnya diabaikan, seperti keadilan gender, kesehatan reproduksi, pendidikan inklusif, hingga keberlanjutan ekologi berbasis komunitas. Sudut pandang yang mereka gunakan berakar pada pengalaman dan sensitivitas khas perempuan. Melalui pendekatan partisipatif dan interdisipliner, Urban Kartini yang menjadi peneliti menunjukkan bahwa sains dan nilai-nilai kemanusiaan bukanlah dua hal yang terpisah. Namun, mereka menghidupkan kembali gagasan bahwa ilmu pengetahuan harus berpihak kepada kehidupan, yakni berpihak pada martabat manusia.

Arah peradaban masa depan akan sangat ditentukan oleh siapa yang akan memproduksi pengetahuan, dan untuk siapa pengetahuan itu akan ditujukan. Jika perempuan masa kini semakin banyak terlibat dalam dunia riset, maka wajah peradaban yang lahir pun akan lebih inklusif, adil, dan membumi. Urban Kartini hari ini, melalui risetnya, sedang menulis ulang arah sejarah, yakni bahwa masa depan bukan lagi milik satu suara dominan, tetapi hasil dari dialektika banyak suara, termasuk di antaranya adalah suara perempuan. Dengan riset sebagai bagian dari perjuangan, perempuan tidak hanya sekedar menempati ruang-ruang akademik, tetapi juga menjadi penentu arah peradaban yang berkeadaban.

Islam dan Kartini: Menghidupkan Ilmu sebagai Cahaya

Sejatinya, Kartini bukan hanya seorang reformis sosial, tetapi juga seorang pencari spiritualitas yang mendalam. Dalam surat-suratnya yang ditulis menjelang akhir hayat, Kartini mulai menunjukkan ketertarikan yang lebih serius terhadap Islam. Hal ini bukan semata sebagai identitas kultural, tetapi juga sebagai jalan hidup yang menjunjung tinggi ilmu dan keadilan. Bagi Kartini, Islam bukanlah agama yang membelenggu perempuan, seperti yang ia kenali dalam praktik kultural patriarkal di sekelilingnya, tetapi agama yang memuliakan akal, menekankan pendidikan, dan membuka ruang dialog bagi kemanusiaan.

Pandangan ini sejatinya sejalan dengan semangat Islam yang memposisikan ilmu sebagai cahaya (nūr), sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi. Dalam tradisi Islam klasik, perempuan seperti Aisyah r.a., Fatimah al-Fihri, dan Rabiah al-Adawiyah telah menjadi rujukan dalam bidang ilmu, pendidikan, dan spiritualitas. Dalam hal ini, Kartini, dengan caranya sendiri, menghidupkan kembali semangat ini di tengah hegemoni budaya patriarkal kolonial. Ia mempercayai bahwa Islam tidak mungkin bertentangan dengan akal sehat serta keadilan, dan bahwa reformasi sosial bisa berakar dari penafsiran Islam yang mencerahkan.

Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh Urban Kartini hari ini? Meraka dapat melanjutkan warisan ini dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam yang progresif dalam praksis riset, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat. Di tengah tantangan ekstremisme, komodifikasi agama, dan konservatisme sempit, Islam yang diterjemahkan dengan nalar yang kritis dan hati yang inklusif, dapat menjadi kekuatan transformasional. Dalam hal ini, perempuan muslim yang melek ilmu dan sadar akan mandat spiritualnya, memiliki posisi yang strategis untuk menghidupkan kembali Islam sebagai agama ilmu, rahmat, dan juga pembebasan.

Menuju Peradaban Kartinian

Peradaban Kartinian sejatinya adalah visi tentang masyarakat yang menjunjung tinggi pendidikan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Istilah ini bukan hanya sekedar pengulangan romantis terhadap sosok Kartini, tetapi merupakan upaya nyata untuk menjadikan nilai-nilai perjuangannya sebagai prinsip dalam membangun bangsa. Dalam peradaban semacam ini, perempuan tidak hanya menjadi penerima manfaat dari kemajuan, tetapi juga pengarah dan penjaga nilai-nilai keadaban. Kartini memberikan teladan kepada kita bahwa perubahan besar dapat dimulai dari ruang-ruang kecil, yakni dari rumah, dari pena, dari kelas, dan kini, dari riset.

Mewujudkan peradaban Kartinian menuntut komitmen kolektif dari berbagai pihak untuk menempatkan ilmu dan keadilan sebagai fondasi utama. Pendidikan harus dikonsep dan dijalankan bukan hanya untuk kepentingan mencetak tenaga kerja, tetapi untuk membentuk manusia merdeka yang berpikir kritis, empatik, dan etis. Oleh karena itu, riset harus diarahkan tidak hanya demi angka dan publikasi, tetapi bagaimana hasil riset dapat menjawab persoalan nyata masyarakat. Dalam hal ini, perempuan, dengan segala pengalaman, perspektif, dan keberdayaannya, harus diberikan ruang yang setara dalam pengambilan keputusan, baik di kampus, lembaga riset, ruang kebijakan, dan komunitas-komunitasnya.

Jika menilik sejarah Kartini, sejatinya peradaban yang dibayangkan Kartini tidak selesai di masa hidupnya. Peradaban Kartinian adalah proyek berkelanjutan yang memanggil setiap generasi untuk bisa memberikan kontribusinya. Di era digital ini, Urban Kartini sedang dan terus menulis ulang arah sejarah. Transformasi dari laptop menggantikan pena, dari data menggantikan deskripsi personal, dan dari publikasi menggantikan surat, sejatinya perjuangan itu masih terus berlanjut. Namun, esensinya sebenarnya tetap sama, yakni ilmu sebagai cahaya, kesetaraan sebagai nilai, dan kemanusiaan sebagai cita. Saat ini, kita semua dipanggil untuk berjuang menuju peradaban Kartinian.

Kartini klasik telah meletakkan dasar. Kini, tugas kita adalah melanjutkan. Menjadi seorang Urban Kartini berarti menghadirkan ilmu bukan hanya sebagai hiasan, tapi sebagai amunisi. Menjadi seorang Urban Kartini berarti memperjuangkan nilai-nilai Islam yang membebaskan, bukan malah membelenggu.

Pada Hari Kartini ini, mari kita rayakan, bukan hanya sekedar membuat puisi dan foto kebaya semata, tetapi dengan melakukan refleksi sekaligus berkomitmen, bagaimana riset kita, tulisan kita, dan tindakan kita hari ini bisa berkontribusi nyata pada arah peradaban yang lebih adil, beradab, dan memuliakan kemanusiaan.

Selamat Hari Kartini.

Untuk setiap Urban Kartini yang tak henti menyalakan cahaya ilmu.

Penulis: Lailatuzz Zuhriyah (Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)

About Author

Lailatuzz Zuhriyah

Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung