Hadis, Pendidikan Islam, dan Tantangan Era Society 5.0

Dunia terus berubah dan dalam hitungan tahun bahkan bulan kita bisa menyaksikan bagaimana cepatnya perkembangan teknologi, informasi, hingga pola pikir masyarakat. Semua ini terjadi dalam arus globalisasi yang tak terbendung. Seperti biasa dunia pendidikan menjadi salah satu sektor yang paling merasakan dampaknya. Tak hanya sekadar ikut berubah, pendidikan justru dituntut menjadi aktor utama dalam menyambut dan menyesuaikan diri dengan perubahan itu sendiri.
Salah satu konsep baru yang banyak diperbincangkan adalah Society 5.0. Gagasan yang pertama kali dicetuskan oleh Jepang ini hadir sebagai respons atas Revolusi Industri 4.0 yang begitu menekankan aspek teknologi dan otomatisasi. Dalam Society 5.0, manusia kembali ditempatkan sebagai pusat. Teknologi tetap berkembang, tetapi bukan untuk menggantikan manusia melainkan untuk mendukung dan memperkuat peran manusia itu sendiri.
Di sinilah pendidikan Islam perlu mengambil bagian. Kita tidak bisa terus bertahan pada pola lama. Tantangan hari ini berbeda dengan masa lalu. Teknologi yang begitu cepat berkembang bukan hanya mengubah cara kita belajar namun juga membentuk karakter, pola pikir, bahkan cara manusia berinteraksi dengan agama. Kalau pendidikan Islam tidak menyesuaikan ia bisa tertinggal bahkan tergeser.
Salah satu kekuatan utama dalam pendidikan Islam adalah hadis. Ia adalah sumber kedua setelah Al-Qur’an. Sayangnya masih banyak yang memandang hadis hanya sebatas kumpulan teks klasik yang membahas persoalan ibadah atau hukum-hukum tertentu. Padahal jika kita telusuri lebih jauh banyak hadis yang berbicara soal pendidikan, moralitas, proses belajar mengajar bahkan kepemimpinan dan pembangunan masyarakat.
Masalahnya tidak semua orang bisa memahami hadis secara langsung. Banyak yang memaknainya secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan historis di balik lahirnya hadis tersebut. Inilah yang membuat sebagian orang merasa bahwa hadis tidak lagi relevan di era sekarang. Padahal sebenarnya bukan hadisnya yang bermasalah tetapi cara kita membacanya yang kurang tepat.
Untuk menjawab tantangan era Society 5.0 kita perlu menghadirkan pembacaan baru terhadap hadis, terutama hadis-hadis tarbawi yaitu hadis-hadis yang membahas soal pendidikan dan pembentukan karakter. Hadis-hadis ini harus dikontekstualkan dan dibaca dalam cahaya zaman sekarang. Bukan untuk mengubah maknanya tapi untuk menggali relevansinya dengan kebutuhan masa kini.
Contohnya, ketika Nabi Muhammad saw. bersabda tentang pentingnya ilmu semangat itu bisa diterjemahkan hari ini sebagai ajakan untuk terus belajar dalam berbagai bidang termasuk sains, teknologi, dan literasi digital. Ketika beliau menekankan akhlak maka itu bisa menjadi fondasi dalam membentuk karakter pelajar masa kini yang sopan di dunia nyata maupun maya.
Pendidikan Islam tidak boleh hanya fokus pada transfer ilmu, tetapi juga harus memperhatikan pembentukan manusia seutuhnya yang mampu menyeimbangkan antara pengetahuan, moral, dan spiritualitas. Teknologi boleh canggih tapi jika tidak dibarengi dengan nilai-nilai kemanusiaan, maka akan kehilangan arah. Di sinilah hadis bisa berperan, sebagai peta moral yang membimbing manusia dalam menghadapi era baru.
Tentu saja proses ini tidak mudah. Diperlukan para cendekiawan, guru, dan pendidik yang tidak hanya paham agama tapi juga terbuka dengan perkembangan zaman. Dibutuhkan keberanian untuk membaca ulang teks-teks klasik dan menggali maknanya dalam konteks kekinian tanpa kehilangan esensi dan keaslian ajarannya.
Society 5.0 adalah peluang. Ia bisa menjadi momentum untuk menghidupkan kembali peran hadis dalam pendidikan Islam. Bukan sekadar pelajaran di kelas, tapi sebagai panduan hidup yang nyata. Karena pada akhirnya, pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang mampu memanusiakan manusia. Dan dalam Islam, itu adalah tugas yang luhur sebuah amanah yang diwariskan melalui Al-Qur’an dan hadis.
Penulis: Muhammad Afiq Saifuddin (Mahasiswa Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama’ Tuban)