Agama Islam, sebagai ajaran religi yang mendalam memiliki pandangan dan penghormatan besar terhadap kedudukan perempuan. Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad saw merupakan utusan yang sangat memuliakan keududukan perempuan, hal ini terbukti dalam sebuah sabdanya yang terkesan memberikan kedudukan ibu di atas penghormatan kepada ayah. Hal ini menandakan pentingnya peran dan kedudukan perempuan dalam Islam.
Jauh sebelum Nabi Muhammad saw lahir masyarakat Arab pada saat itu sudah memiliki tradisi buruk yakni anggapan dan tindakan yang seakan akan merendahkan posisi perempuan. Ketika masa Jahiliyah itu perempuan diperlakukan dengan rendah, bahkan memiliki anak perempuan dianggap sebagai aib. Tradisi inilah yang kemudian menjadi motivasi dan dorongan moril Gerakan Perempuan dalam Islam. Gerakan ini menjadi tonggak penting dalam mengubah pandangan dan sikap terhadap perempuan, mengingat peran mereka dalam merawat kesadaran akan pentingnya menghormati dan menghargai perempuan sebagai individu yang setara.
Berbagai Gerakan Perempuan baik di tingkat regional maupun nasional muncul dengan tujuan menjunjung martabat perempuan sesuai dengan ajaran Islam. Studi tentang gerakan-gerakan ini memberikan pemahaman mendalam mengenai tokoh-tokoh perempuan, sejarah perkembangan gerakan, serta kontribusi mereka dalam membentuk pandangan keagamaan yang inklusif.
Meskipun banyak Negara sudah memiliki paradigma kesetaraan gender beberapa wilayah masih menyaksikan sikap diskriminatif terutama terhadap perempuan Muslim. Contohnya, di Amerika Serikat, perempuan Muslim mengalami diskriminasi dalam pelaksanaan ibadah, di mana tempat shalat mereka seringkali terpisah dan minim fasilitas dibandingkan dengan tempat shalat kaum laki-laki. Eropa misalnya, tantangan besar yang dihadapi oleh perempuan Muslim adalah mempertahankan identitas keislamannya.
Memahami Pergerakan Perempuan dalam Islam artinya tidak hanya sebatas memahami sejarah, tetapi juga menggali fokus utama gerakan seperti kesetaraan pendidikan, hak reproduksi, partisipasi dalam kehidupan publik dan politik, serta reinterpretasi teks agama dalam perspektif feminis. Tantangan dan hambatan yang dihadapi gerakan ini, baik dari kelompok konservatif maupun faktor budaya dan sosial, perlu dicermati untuk merancang solusi yang lebih baik. Dalam konteks global misalnya, melibatkan diri dalam studi kasus gerakan perempuan di berbagai negara Muslim dapat memberikan wawasan tentang keberhasilan, hambatan, serta dampaknya terhadap kebijakan dan kehidupan sosial. Kritik dan respon terhadap gerakan ini juga perlu diperhatikan, karena memberikan wacana konstruktif untuk terus meningkatkan kualitas gerakan dan pemahaman masyarakat terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Pembentukan gerakan feminisme dalam Islam mengalami dua fase yang berbeda. Fase pertama terjadi pada abad ke-19, era ini dipengaruhi feminisme sekuler yang merupakan protes terhadap ajaran agama Kristen yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan. Wanita dinilai sebagai penyebab terusirnya Adam dan Hawa dari surga serta dianggap inferior terhadap laki-laki. Era kedua muncul pada akhir tahun 1970-an yang dalam gerakannya berusaha kembali kepada Al-Quran dan Hadis.
Munculnya gerakan perempuan, seperti Tahrirul Mar’ah (emansipasi perempuan), tidak lepas dari pengaruh bangsa Barat. Gerakan ini pertama kali muncul di Eropa dan kemudian diadaptasikan ke kehidupan berbasis keislaman. Meskipun terinspirasi dari pergerakan feminis Barat, gerakan ini tetap memperhatikan dinamika dasar permasalahan perempuan Muslim.
Sejarah tersebut menunjukkan adanya perubahan dalam perlakuan terhadap perempuan dari awal yang adil hingga masa-masa yang menantang. Pemahaman ini penting untuk merangkai konsep Gerakan Perempuan dalam Islam dan memahami dinamika serta perubahan yang terjadi seiring waktu.
Kesetaraan gender dalam pendidikan dapat diwujudkan melalui tiga aspek utama, yaitu hak mendapatkan pendidikan, hak dalam proses pendidikan di lingkungan yang mendukung kesetaraan gender, dan hak terhadap hasil pendidikan yang mendukung pencapaian keadilan (EFA GMR 2003/2004). Meskipun partisipasi perempuan dalam pendidikan telah meningkat, masih banyak yang perlu diperbaiki terutama terkait hak dalam proses pendidikan. Buku teks pelajaran masih sering kali menunjukkan bias gender, seperti penggambaran perempuan lebih sering terkait dengan pekerjaan domestik, sedangkan laki-laki lebih sering diasosiasikan dengan pekerjaan profesional (Assadullah, 2020). Stereotip gender ini menciptakan bias gender yang beroperasi melalui standar normatif, memicu penolakan dan sanksi sosial dalam konteks pendidikan (Heilman, 2012).
Ada dua belas hak reproduksi perempuan yang mencakup aspek kehidupan dan keamanan, kesetaraan, privasi pribadi, kebebasan berpikir, pendidikan, perencanaan keluarga, hingga perlindungan kesehatan. Meskipun hak-hak ini diakui secara konseptual, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa upaya untuk meningkatkan hak reproduksi perempuan masih memerlukan perhatian serius untuk memastikan akses dan pemahaman yang merata.