DIALOG INTERAKTIF HMPS ILMU HADIS UIN SATU TULUNGAGUNG BERSAMA PROF. DR. H. SAID AGIL HUSIN AL MUNAWAR, M.A.
Sekolah Muhadditsin merupakan salah satu proker HMPS Ilmu Hadis UIN SATU Tulungagung yang dilaksanakan pada hari Selasa, 19 Oktober 2024. Acara ini berlangsung di Auditorium Pascasarjana lantai lima dan dihadiri oleh Guru Besar bidang Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yakni Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, M.A. Acara dipandu oleh Dr. Rizqa Ahmadi, Lc., M.A. salah satu Dosen Ilmu Hadis serta Prof. Dr. H. Mujamil Qomar, M.Ag. sebagai keynote speaker. Acara ini dihadiri oleh beberapa Guru Besar seperti Prof. Dr. Syamsu Ni’am (WR 3), Prof. Dr. Ahmad Tanzeh, M. Pd.I, Prof. Dr. Dede Nurohman, M. Ag, pejabat dan civitas akademika serta dosen-dosen di lingkungan UIN SATU Tulungagung. Selain itu, juga telah menarik minat 200 mahasiswa yang tidak hanya berasal dari UIN SATU Tulungagung saja, tetapi juga dari peserta umum seperti mahasiswa UIN Jember, UIN Malang, UIN Surabaya, dan lain sebagainya.
Acara dikemas dengan bentuk Talking Show dan mengangkat tema “Dekolonisasi Ilmu Musthalah Hadis: Menghidupkan Kembali Nalar Kritis Klasik dalam Kerangka Epistemologi Islam”. Dr. Rizqa Ahmadi, Lc., M.A. memaparkan bahwa dekolonisasi merupakan wacana baru di dunia akademik, terlebih dalam kajian Ilmu Hadis. Acara mendiskusikan tentang studi ilmu hadis yang fokus terhadap salah satu disiplin ilmu hadis yaitu Naqdul al-Hadis. Beliau juga menjelaskan terkait kitab-kitab hadis seperti Musnad Ahmad, Muwatha’, Mustadrak dan lain-lain.
Studi Ulum Al Hadis dan Ulum Al Qur’an menunjukkan betapa kompleksnya upaya memahami dan menjaga sumber utama agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Dalam Islam, hadis memiliki peran penting sebagai mukhassis (mengkhususkan), mubayyin (menjelaskan), dan pelengkap Al-Qur’an. Posisi ini menjadikan hadis sebagai pedoman yang tak terpisahkan dalam memahami syariat Islam. Namun, untuk mengenal hadis Nabi, diperlukan keahlian dalam berbagai cabang ilmu yang berkembang selama berabad-abad, seperti mustholahul hadis (metodologi ilmu hadis), Qawaid Al hadis (kaidah-kaidah hadis), Usul Al Fiqh (prinsip hukum Islam), dan tafsir. Sejarah mencatat banyak karya besar dalam ilmu hadis, seperti Musnad Ahmad dan Muwatta’ Imam Malik. Di antara 28 kitab musnad, yang sering dikenal dan dipelajari adalah Musnad Ahmad. Selain itu, kitab Mustadrak karya Imam Al-Hakim juga menjadi fokus perhatian, meskipun karya ini menerima kritik, seperti yang diajukan oleh Syekh Mahmud Miro (Guru ilmu asanid hadis Prof. Said Agil Husein). Kritik ini mencerminkan dinamika ilmu hadis, yang kaya akan kajian ilmiah dan evaluasi kritis.
Seorang mufassir atau muhaddis harus memenuhi berbagai persyaratan, salah satunya adalah menguasai ilmu hadis, baik dari segi teks maupun keilmuan terkait. Kemampuan ini mencakup hafalan hadis, pemahaman sanad, dan penguasaan konteks Asbab Al Wurud (sebab-sebab munculnya hadis). Hal ini membuktikan bahwa menjaga hadis jauh lebih sulit dibandingkan dengan menjaga Al-Qur’an, karena hadis tidak dihimpun dalam satu kitab tunggal pada masa awal Islam. Konteks asbabul wurud juga bukan hanya relevan untuk para sahabat yang langsung menerima pesan dari Nabi, tetapi juga untuk generasi berikutnya, termasuk umat Islam hari ini. Pesan yang terkandung dalam hadis bersifat universal dan dapat diterapkan dalam berbagai situasi kehidupan.
Salah satu cabang penting dalam ilmu hadis yakni Ikhtilaf Al Hadis, yaitu kajian terhadap hadis-hadis yang tampak bertentangan. Imam Syafi’i menulis dua jilid kitab dalam bidang ini, sementara Ibnu Qutaibah juga membahas hadis-hadis sulit dipahami dalam karyanya Ta’wil Mukhtalif al-Hadith. Hal ini menunjukkan bahwa setiap hadis yang tampak kontradiktif harus dianalisis dengan mendalam untuk menemukan harmoni di antara maknanya.
Kritik hadis adalah aspek penting dalam musthalahul hadis. Imam Muslim menulis kitab At-Tamyiz, yang membahas perbedaan riwayat, sanad, dan kriteria validitas hadis. Ilmu kritik sanad berkembang melalui disiplin keilmuan seperti Jarh Wa Ta’dil (evaluasi perawi), Tarikh Al-Ruwah (sejarah perawi), hingga aspek syahid dan mutaba’ah untuk memperkuat hadis dha’if.
Sejak abad ke-4 Hijriyah, Ilmu hadis dan Al-Qur’an telah diringkas, disyarahkan, dan diduplikasi menjadi karya-karya baru yang lebih terperinci. Meskipun karya-karya ini mempermudah akses ilmu, kebutuhan untuk terus belajar tidak pernah selesai. Seorang akademisi dituntut untuk tidak merasa cukup dengan ilmu yang dimilikinya. Itulah pesan yang diungkapkan oleh Prof. Said Agil Husein dalam akhir penyampaiannya. Hingga acara inipun berakhir setelah berlangsung selama 3 jam, dengan bonus bacaan tilawah dari Prof. Said Agil Husein. Semoga dengan adanya agenda Sekolah Muhadditsin ini dapat menaikkan minat mahasiswa UIN SATU terhadap kajian-kajian Islam yang semakin berkembang di zaman sekarang ini.