
Kasih Sebagai Fondasi Universal
Kasih dan perdamaian merupakan nilai-nilai fundamental yang penting untuk dipegang teguh oleh seluruh pemeluk agama. Nilai-nilai ini diwariskan oleh semua agama besar di dunia. Di tengah dunia yang sarat konflik, polarisasi identitas, dan kekerasan atas nama perbedaan saat ini, ajaran kasih menjadi jembatan penting yang mampu merangkul seluruh umat manusia menuju hidup yang harmoni dalam perbedaan.
Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik kontemporer, dan Nabi Muhammad sebagai teladan utama bagi umat Islam, sama-sama menghidupkan nilai kasih itu melalui tiga prinsip kunci, yakni: kerendahan hati, kesederhanaan, dan pelayanan. Meskipun keduanya lahir dari konteks zaman dan tradisi keagamaan yang berbeda, namun keduanya menawarkan satu pesan universal yang penting, bahwa cinta kasih merupakan jalan keselamatan bagi umat manusia.
Dalam kerangka kajian agama-agama dan filsafat, merawat kasih lintas iman bukan hanya sekedar menerapkan toleransi, tetapi merupakan bentuk aktualisasi spiritual yang nyata yang paling dalam. Dari Paus Fransiskus dan Nabi Muhammad, kita semua bisa belajar untuk menempatkan kemanusiaan sebagai fondasi yang utama dalam membangun dunia yang damai. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti No. 8, “Semua manusia adalah saudara” (Fransiskus, 2020); dan dalam hadits Nabi Muhammad, “Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu” (H.R. At-Tirmidzi No. 1924).
Kerendahan Hati sebagai Fondasi Spiritualitas Sejati
Kerendahan hati menjadi ciri khas sekaligus laku hidup yang ditempuh oleh Paus Fransiskus. Sejak terpilih sebagai Paus pada tahun 2013, ia memilih tinggal di Wisma Santa Marta, wisma tamu di Vatikan, bukan di Istana Apostolik yang mewah. Sikap yang ia pilih ini bukan hanya sekedar simbol, melainkan sebuah pernyataan bahwa kekuasaan rohani harus bersandar pada kerendahan batin, bukan pada kemegahan duniawi.
Demikian pula yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad, yang dikenal sebagai pribadi yang amat rendah hati. Dalam tradisi hadist, disebutkan bahwa beliau menjahit sendiri pakaiannya, membantu pekerjaan rumah tangga, duduk makan bersama para fakir miskin, dan tidak membedakan antara dirinya dengan rakyat biasa. Sikap yang ia contohkan ini menegaskan bahwa kerendahan hati merupakan inti dari misi kenabian.
Dalam kajian filsafat agama, sikap kerendahan hati sejatinya mengajarkan kepada kita tentang pengakuan akan keterbatasan manusia di hadapan Yang Maha Kuasa. Sikap ini menjadi pondasi penting bagi dialog sejati antaragama, yakni tanpa sikap superioritas, dan tanpa merasa lebih tinggi dari yang lain. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Nabi, “…. tidak ada seorangpun yang bersifat tawaddhu’ (merendahkan diri) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya” (HR. Muslim, No: 2588). Selain itu, juga sebagaimana yang disampaikan Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti No. 222, “Humility builds bridges, not walls” (Kerendahan hati membangun jembatan, bukan tembok), (Fransiskus, 2020).
Kesederhanaan: Menolak Kemewahan, Memeluk Kemanusiaan
Saat ini, dunia sedang dibanjiri oleh sikap konsumerisme dan glamorisasi status sosial. Dalam hal ini, kesederhanaan adalah bentuk perlawanan spiritual terhadap sikap tersebut. Dalam berbagai moment, Paus Fransiskus selalu menunjukkan tampilannya yang sederhana. Ia menolak mobil mewah dan memilih mobil Fiat kecil dalam perjalanan resminya (Antara News, 23 April 2025). Apa yang ia lakukan ini untuk menunjukkan bahwa ia tidak ingin berjarak dengan orang-orang miskin.
Kalau kita membaca sejarah Nabi Muhammad, ia juga hidup dalam kesederhanaan yang ekstrem. Nabi tidur di atas tikar kasar, sering berpuasa, dan hanya makan sekedarnya saja. Meskipun Nabi menjadi kepala negara di Madinah, tetapi ia menolak gaya hidup yang mewah dan memilih hidup bersahaja.
Dalam kajian sosiologi agama, sikap kesederhanaan merupakan sikap yang mampu meruntuhkan tembok ketidakadilan sosial yang lahir dari kesenjangan ekonomi dan spiritual. Sikap ini mampu mendekatkan pemimpin dengan rakyatnya, memperhalus relasi antar-manusia, dan juga mampu menumbuhkan rasa solidaritas lintas kelas. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti No. 48, “Sobriety and simplicity enable us to listen to the cry of the poor and the earth” (Kesederhanaan dan kerendahan hati memampukan kita untuk mendengarkan tangisan kaum miskin dan bumi) (Fransiskus, 2020).
Pelayanan: Spirit Kasih yang Membebaskan
Bagi Paus Fransiskus, pelayanan adalah inti dari panggilan hidup. Ia sering mengatakan bahwa pemimpin yang sejati adalah mereka yang “berbau domba”, artinya mereka yang hidup di tengah-tengah umat yang menderita, bukan malah di menara gading kekuasaan.
Nabi Muhammad pun juga mengajarkan bahwa seorang pemimpin sejatinya adalah pelayan umat. Sabda beliau yang terkenal, “Sayyidul qaum khadimuhum” (pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka) (H.R. Abu Nuaim). Perkataan Nabi ini menjadi prinsip dasar bagi politik Islam yang berorientasi pada pelayanan, bukan dominasi.
Dalam perspektif teologi, pelayanan merupakan wujud konkret dari kasih. Sikap ini menjelma dalam kerja-kerja pembelaan terhadap kaum lemah (dhuafa), keadilan sosial, dan perlawanan terhadap kekerasan struktural.
Jalan Kasih Menuju Dunia yang Lebih Baik
Saat ini, dunia sedang membutuhkan lebih banyak jembatan kasih, bukan benteng kebencian. Belajar dari Paus Fransiskus dan Nabi Muhammad, kita menemukan bahwa sikap kerendahan hati, kesederhanaan, dan pelayanan bukanlah sekedar nilai personal, melainkan pondasi global yang perlu diterapkan untuk mewujudkan perdamaian dunia.
Di dalam kajian studi agama-agama kita diajarkan bahwa di atas dogma dan ritual, ada kesamaan spiritual yang mengikat semua manusia, yaitu kasih. Menghidupkan kasih berarti merawat bumi, memuliakan sesama, dan melampaui sekat primordialisme keagamaan. Melalui spirit inilah, kita semua diajak untuk menebarkan kasih tanpa batas. Sebab, pada akhirnya, kita semua adalah satu keluarga besar di bawah langit yang sama.
Penulis: Lailatuzz Zuhriyah (Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)