Pendidikan menjadi dimensi urgen yang setiap individu berhak dan berkewajiban merasakannya. Pendidikan merupakan isu akademik yang mengandung unsur keberagaman, sosial, dan intelektual. Pendidikan dan nilai literasi dapat diperoleh menggunakan basis besarnya yakni dengan mentradisikan membaca. Tulisan ini dilatarbelakangi adanya dua fenomena. Pertama, pada tahun 2019 terjadi degradasi minat baca masyarakat Indonesia termasuk di antaranya anak usia dini sebagaimana disebutkan Irhandayaningsih dalam tulisannya. Hal ini menandakan kemunduran basis literasi yakni tradisi membaca yang kemudian disinyalir akan memicu degradasi intelektual. Kedua, terjadi pergeseran paradigma yang mencakup kebiasaan dari wacana lama ke wacana baru termasuk di dalamnya adalah wacana sosial kemasyarakatan.
Pesantren sebagaimana dijelaskan Azyumardi Azra merupakan wadah penting yang memiliki nilai tendensius perihal akademik dan sosial. Santri dan pesantren menjadi sorotan penulis karena secara akademis normatif memiliki jejak rekam serta visi misi senada dengan kebutuhan pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Rekam jejak atas dedikasi dan andil pesantren disertai dengan visi misi fundamental menjadi salah satu pendukung adanya tulisan ini. Penulis bertujuan mengungkap fakta, data, dan fenomena yang terjadi di pesantren untuk kemudian dipahami sebagai salah satu upaya rekonstruksi dan respon atas isu dinamika intelektual dan polemik sosial kemasyarakatan. Berbagai usaha dilakukan pesantren sebagai upaya preventif atas degradasi keilmuan, moral, dan nilai sosial kemasyarakatan.
Pertama, Bahtsul Masail. Bahtsul Masail merupakan kegiatan diskusi santri yang di dalamnya mendiskusikan dialektika keilmuan mencakup hukum, sosial, dan kemanusiaan. Diskusi ini menjadi respon tuntutan akademik, kompleksitas problem masyarakat, dan kemajuan teknologi digital. Diskursus hukum misalnya dibahas santri dalam Forum Komisi Bahtsul Masail Qaununiyah. Dilansir dari NU Online beberapa santri perwakilan pesantren pada acara Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar bertepatan pada tanggal 29 Agustus 2023 melangsungkan forum. Pembahasannya menyorot problem dalam kaca mata fikih. Isu perbincangannya adalah RUU Perampasan Aset, kebijakan lima hari kerja, dan implementasi UU Pesantren. Bukan hanya perihal hukum, FMPP XXXVII (Forum Musyawarah Pondok Pesantren) juga menyoroti maraknya permainan Claw Machine dan Human Claw yang tentu menunjukkan atas kepekaan pesantren atas fenomena luar.
Kedua, Pondcast santri. Podcast santri merupakan kegiatan tanya jawab seputar isu santri di media sosial. Kegiatan ini banyak dilakukan di beberapa Pesantren seperti PP. Lirboyo melalui LIM Production, PP. Langitan melalui Langitan TV dan beberapa Pesantren dengan media publikasi lainnya. Keberadaan bincang santai di media online ini merupakan usaha pesantren untuk mengenalkan dunia pesantren kepada masyarakat luas. Wacana edukasi terbangun di tengah masyarakat disamakan dengan pergeseran paradigma. Termasuk wacana di dalamnya adalah wacana sumber pengetahuan, maka pesantren menyadari dengan cara menyelaraskan tren podcast berisikan edukasi keislaman dan pengenalan dunia pesantren merupakan penyelarasan paradigma.
Ketiga, digitalisasi pesantren. Digitalisasi pesantren merupakan usaha pesantren mengubah dan mentransformasi dari manual menuju digital. Beberapa aspek menjadi obyek digitalisasi pesantren meliputi usaha koperasi pesantren, pendidikan melalui kurikulum pesantren, dan pelayanan melalui administrasi. Melalui transformasi digitalisasi ini diharapkan santri dapat welcome terhadap dunia luar dan dapat mengembangkan literasi keagamaan lewat dunia digital. Usaha ini lambat laun kemudian membuahkan hasil dibuktikan dengan adanya akses aplikasi kitab dan beberapa kitab PDF yang mudah didapat.
Keempat, gerakan pengabdian masyarakat. Gerakan pengabdian masyarakat merupakan kegiatan santri di beberapa pelosok desa untuk kemudian berusaha dan belajar menyampaikan ilmu keislaman dan sosial kemasyarakatan kepada masyarakat setempat. Gerakan ini banyak diminati oleh santri senior di mana selain memang mendapatkan tuntutan santri merasa tertantang untuk mengeksplorasi keilmuan di pesantren. Santri yang ditugaskan untuk mengabdi kepada masyarakat merupakan santri senior, di mana dalam proses pengabdian santri ditempatkan di suatu tempat sehingga dengan ini santri dapat membaur bersama masyarakat secara langsung. Menerima keluh kesah dan membantu aduan masyarakat merupakan tugas wajib. Hal ini kemudian menjadi satu dimensi edukasi untuk melatih santri atas dinamika sosial kemasyarakatan.
Beberapa kegiatan ini menurut pendapat penulis perlu untuk dioptimalkan dengan pendekatan kekinian. Memang sekilas kegiatan tersebut menggunakan pendekatan kekinian, namun optimalisasi terhadap nilai pragmatis dan normatif perlu kiranya penulis sampaikan. Pertama, penulis berpandangan adanya forum diskusi hukum seperti LBM NU, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, dan FMPP bukan hanya menawarkan hukum setelah terjadi fenomena namun memberikan solusi dan jalan pintas yang tidak memberatkan. Bukan bermaksud untuk memandang syariat sebagai hukum remeh namun kepadatan dan keberagaman kesibukan perlu menjadi catatan. Kedua, podcast santri berdasarkan pengalaman penulis diisi dengan pembahasan kompleks dan terkesan membosankan. Akan terlihat menarik ketika disampaikan dengan pembawaan yang koheren dan disesuaikan dengan tren berkembang. Jadi podcast semacam ini sederhana penulis akan menjadikan masyarakat tertarik.
Ketiga, digitalisasi pesantren sejauh data yang didapatkan penulis hanya dalam lini administrasi, media kurikulum, dan usaha badan milik pesantren. Penulis berpandangan dan berharap adanya digitalisasi bukan hanya pada lini ini saja, namun pengembangan digitalisasi melalui coding untuk membuat aplikasi, website, dan Artificial Intelligence (AI). Masih banyak ruang pengembangan aplikasi dan AI yang secara khusus berbicara keilmuan pesantren seperti fikih, ilmu alat, tafsir, dan hadis. Penulis membayangkan adanya AI khusus membahas hadis beserta teori, paradigma, dan metodologinya. Penulis juga berharap adanya fikih digital berbasis AI dijadikan media Hujjah Ushuli untuk menghasilkan ijtihad baru sesuai keadaan zaman. Keempat, pengabdian selayaknya bukan hanya menyebarkan agama secara normatif namun disertai dengan pengenalan digital untuk mendapatkan sumber keilmuan sesuai dengan perubahan zaman.