Gender adalah sebuah atribut sosial yang digunakan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan sifat, perilaku, ciri-ciri, dan peran. hal Ini disinyalir menjadi anggapan stereotip seperti pandangan bahwa laki-laki bersifat rasional sementara perempuan bersifat emosional. H.T. Wilson mendefinisikan gender sebagai dasar untuk menilai perbedaan kontribusi laki-laki dan perempuan terhadap budaya dan kehidupan kolektif, yang pada akhirnya membentuk peran dan sikap mereka. Oleh karena itu, pandangan terhadap peran, sikap, dan perilaku perempuan bisa berbeda.
Ketidakadilan gender adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada perlakuan yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Ini bukan hanya masalah individual, tetapi juga melibatkan ideologi, sistem, dan struktur sosial yang membuat baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban. Terdapat beberapa tema yang secara akademis dan sosial tidak luput dari pandangan Islam. Beberapa perkara ini menjadi isu yang kental dan hangat hingga kemudian memunculkan stimulus akan butuhnya sorotan dari agama. Misalnya adanya isu subordinasi perempuan (peran, fungsi, dan posisi mereka yang lebih rendah daripada laki-laki), kekerasan terhadap perempuan, dan pelabelan negatif terhadap perempuan.
Ketidakadilan gender juga termanifestasi dalam hal politik, ekonomi, dan masyarakat, di mana perempuan seringkali terdeskriminasi. Mereka seringkali memiliki peran yang terbatas dalam politik dan sering dianggap hanya sebagai alat pendukung suara. Akses pendidikan perempuan juga terbatas, dan mereka sering memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah. Semua bentuk ketidakadilan gender ini mendorong beberapa perempuan untuk bergabung dalam gerakan pembebasan. Namun, perlu disadari bahwa terdapat situasi di mana beberapa individu mengadopsi nilai-nilai fundamentalisme Islam sebagai bentuk radikalisme yang mempromosikan ketidaksetaraan gender. Oleh karena itu, penting untuk memahami kilas balik ketidakadilan gender ini serta bagaimana hal itu dapat mempengaruhi perempuan terhadap radikalisme. Hal ini dikarenakan upaya untuk mengatasi ketidakadilan gender juga dapat memainkan peran penting dalam menghambat perkembangan paham radikal.
Upaya serius, sistematis, dan luas telah dilakukan untuk memahami hakikat substansial gender dan mengatasi berbagai bentuk ketidakadilan gender dalam kehidupan laki-laki dan perempuan. Upaya ini dikenal sebagai “genderisasi” yang merupakan bagian dari gerakan emansipasi dan feminisme.
Dalam konteks Islam, terdapat beberapa contoh fenomena yang mempunyai indikasi ketidakadilan gender yang menciptakan kesan superioritas laki-laki terhadap perempuan. Contohnya adalah konsep penciptaan perempuan, di mana Siti Hawa diyakini berasal dari tulang rusuk Nabi Adam, seperti yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Nisa’ ayat 1. Selain itu, laki-laki dianggap memiliki posisi dan kepemimpinan yang normatif, sedangkan perempuan seringkali dianggap sebagai pendukung. Persaksian perempuan dianggap setengah dari nilai persaksian laki-laki, dan pembagian harta warisan dalam Islam sering kali menguntungkan laki-laki dengan perbandingan 2 banding 1 untuk perempuan.
Semua ini mencerminkan upaya untuk memahami dan mengatasi ketidakadilan gender serta mendorong kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam konteks agama.
Ketidakadilan gender seringkali memicu lahirnya gerakan pembebasan yang bertujuan untuk mengatasi perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan dan kelompok minoritas. Di dalam komunitas agama, kaum perempuan dan minoritas seringkali menghadapi perlakuan yang tidak adil, kehilangan kendali atas kehidupan mereka, serta mengalami kekerasan dan penindasan. Semua ini menciptakan ketidakadilan gender yang mendalam.
Ketidakadilan gender juga menjadi salah satu pemicu munculnya radikalisme di beberapa kelompok agama. Radikalisme memiliki keyakinan bahwa ketidakadilan sosial adalah sesuatu yang tak terhindarkan dan selalu ada dalam sistem yang membedakan kelas, jenis kelamin, dan ras. Ini mengakibatkan ketidakadilan gender akibat status sosial yang berbeda. Menurut analisis Saulnier, teori ini menekankan pentingnya kemandirian ekonomi perempuan, menentang legitimasi agama yang menindas perempuan, dan melawan hak-hak seksual laki-laki atas perempuan.
Galtung membedakan tiga jenis kekerasan, yaitu kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Selain itu, Peter Neuman menjelaskan bahwa tindakan radikalisme tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dibentuk dengan sengaja. Beberapa faktor memengaruhi seseorang terhadap paham radikalisme, termasuk perasaan ketidakadilan, kebutuhan emosional, paparan terhadap ideologi radikal yang intoleran, individu yang terpengaruh, dan normalisasi kekerasan. Semua faktor ini berperan dalam membentuk pemahaman dan keterlibatan seseorang dalam radikalisme.
Wacana intoleransi dan paham radikalisme dalam konteks agama semakin meluas dan terinternalisasi dalam masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan agar hal tersebut tidak terulang lagi, dan peran perempuan sangat penting dalam upaya ini. Kaum perempuan memiliki posisi yang strategis sebagai sumber inspirasi dan motivasi bagi kaum laki-laki. Perempuan modern di era sekarang diharapkan memiliki pemikiran progresif, aktif, partisipatif, berpendidikan, berpikir global, dan bertindak lokal, serta peduli terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat, umat, dan negara, termasuk masalah radikalisme.
Perempuan juga memiliki peran kunci dalam menciptakan keluarga yang harmonis, di mana kemuliaan dan keselamatan dimulai dari keluarga itu sendiri. Mereka adalah guru pertama bagi anak-anak mereka, dan oleh karena itu, mereka memiliki tanggung jawab penting dalam menanamkan akidah dan perilaku yang baik sesuai dengan ajaran agama Islam. Selain itu, pentingnya pendidikan agama yang kuat juga harus ditekankan. Oleh karena itu, perempuan menjadi tokoh utama yang mampu mengajarkan nilai-nilai agama yang mulia kepada anak-anak, membentuk karakter, perilaku, dan kebiasaan yang moderat sejak usia dini.
Tidak hanya terbatas pada peran sebagai pendidik anak, perempuan juga berperan dalam mencegah paham radikalisme dalam keluarga mereka, termasuk suami dan anggota keluarga lainnya. Ini membantu membentuk sebuah keluarga yang menerapkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar, yaitu mendorong yang baik dan menolak yang buruk dalam tindakan sehari-hari. Dengan demikian, perempuan memiliki peran yang penting dalam upaya mencegah penyebaran paham radikalisme dalam masyarakat.
Dalam Islam, setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak dan tanggung jawab yang sama. Mereka memiliki kesempatan yang setara dalam menjalani kehidupan mereka. Allah SWT telah menegaskan dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13 bahwa martabat seseorang dihadapan-Nya tidak ditentukan oleh jenis kelamin, status sosial, atau asal usulnya.
Pada masa Rasulullah, perempuan ditempatkan dalam posisi yang setara dengan laki-laki, terutama di Madinah, di mana Rasulullah mengizinkan perempuan untuk turut serta dalam peperangan, seperti yang tercantum dalam rumusan Piagam Madinah.
Untuk mengatasi ketidakadilan gender dalam tradisi Islam, langkah-langkah konkret telah diambil. Ini termasuk memberikan kesempatan kepada perempuan untuk terlibat dalam politik dan berbagai profesi sesuai dengan kemampuan mereka. Ajaran Islam menekankan kesetaraan derajat di antara manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Upaya untuk mencapai kesetaraan gender juga tercermin dalam aspek pendidikan, di mana kaum perempuan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi.
Kesimpulannya, dalam konteks Islam, penting untuk diingat bahwa hakikat substansial gender adalah tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Paham ini menegaskan bahwa setiap individu, tanpa memandang jenis kelaminnya, memiliki hak, tanggung jawab, dan kesempatan yang sama dalam menjalani kehidupannya. Agama Islam menekankan kesetaraan derajat di antara manusia, dan dalam sejarahnya, perempuan telah ditempatkan dalam posisi yang setara dengan laki-laki.
Namun, ketidakadilan gender masih menjadi masalah dalam masyarakat. Hal ini dapat memicu munculnya radikalisme di beberapa kelompok agama. Untuk mengatasi masalah ini, peran perempuan sangat penting. Mereka dapat menjadi inspirator dan motivator bagi kaum laki-laki dalam upaya mencegah paham radikalisme. Perempuan juga memiliki peran kunci dalam menciptakan keluarga yang harmonis dan mendidik anak-anak dengan nilai-nilai agama yang baik.
Dengan menjunjung tinggi prinsip kesetaraan gender, baik dalam politik, profesi, atau pendidikan, perempuan dapat membantu mencegah ketidakadilan gender dan memainkan peran yang penting dalam upaya mencegah penyebaran paham radikalisme dalam masyarakat. Dengan demikian, semangat kesetaraan gender dalam Islam dapat menjadi landasan yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil, harmonis, dan moderat.