Meneladani Shalat Abu Barzah al-Aslami
Abu Barzah al-Aslami adalah seorang sahabat Anshar yang lahir di Madinah dan meninggal dunia di Khurasan, Baghdad tahun 685 M. Beliau sempat mengikuti perang Khaibar, hingga Fathu Makkah. Beliau juga mengikuti perang siffin bersama dengan Ali b. Abi Talib r.a. (w. 661 M).
Saya tidak hendak memberikan komentar atas keputusan politiknya saat itu. Namun, ada kisah yang menarik yang diriwayatkan oleh Imam al-Zahabi (w. 1348 M) dalam kitabnya Siyar A’lam al-Nubala’.
Diriwayatkan dari al-Azraq b. Qays (w. 738 M), “Saat itu kita sedang shalat di tepi sebuah sungai di daerah Ahwaz (kini di wilayah Khūzestān, Iran), tiba-tiba Abu Barzah datang dengan menunggang sebuah kuda, dan memulai shalat ashar. Tiba-tiba terjadi sesuatu dan seseorang berkomentar dengan nada negatif, ‘Lihatlah orang tua itu, kudanya lepas dan kemudian dia mengejarnya, menambatkan kudanya kembali, kemudian memulai shalat lagi”
Ibn Qais melanjutkan, “Abu Barzah mendengar komentar laki-laki itu, mendatanginya dan berkata, ‘pasca Rasulullah Saw. tiada, tidak ada satu orang pun yang berkomentar buruk atas shalat saya kecuali kamu ini. Ketahuilah, saya sudah tua, rumah saya begitu jauh. Jika aku melanjutkan shalatku dan mengabaikan kudaku, kemudian mencarinya setelah itu, aku tidak akan mampu pulang ke rumah kecuali nanti di malam hari.”
“Dan aku telah lama hidup bersama Rasulullah Saw. dan aku telah melihat kemudahan dari ibadah yang beliau kerjakan.’ Kemudian kami menyambutnya dan meminta maaf kepadanya.” (Al-Dzahabi,1993: Vol. 3. Hal. 41)
Bagi saya, ini adalah kisah yang sederhana tapi begitu mengena. Kisah ini mengingatkan kembali kisah Gus Miek (w. 1993 M), seorang kiai masyhur dari Kediri. Kisah ini diriwayatkan dari mulut ke mulut.
Syahdan Kiai Hamim Djazulii yang akrab disapa dengan Gus Miek sedang mengimami sebuah shalat. Di tengah-tengah shalatnya beliau mendengar suara pedagang bakso yang asyik mengetuk mangkuk dengan sendoknya, para makmum yang berada di belakang beliau tidak mengira apa yang akan dilakukan oleh Gus Miek beliau membatalkan shalatnya dan mengajak para jamaah untuk bersama-sama membeli bakso.
Kisah Gus Miek di atas barang kali sangat dekat dengan apa yang dilakukan oleh Sahabat Abu Barzah r.a. yang sama sekali tidak mempermasalahkan membatalkan shalat dengan kejadian yang ada di sekitar mereka.
Saat ini di media sosial kita mendapatkan banyak pemandangan orang-orang yang sedang beribadah dengan jalan kesulitan. Baru-baru ini saya mendapatkan video yang menampakkan sejumlah muslim melakukan shalat di lorong kereta api. Belum lama ini juga, ada video yang diduga dari India menampakkan sejumlah muslim shalat di stasiun kereta api dan di sampingnya ada kereta yang akan mereka tumpangi segera berangkat.
Hal ini terus berlanjut dengan pemandangan video pendek yang menampakkan satu atau dua orang yang melakukan shalat di jalan raya. Para pengguna jalan raya memilih mengabaikan mereka. Mungkin bagi para pengguna jalan, memindahkan mereka akan dianggap tidak toleran dengan ibadah orang lain, atau bahkan takut dirundung di media sosial. Akhirnya banyak pengguna jalan yang mengalah dan menyerahkannya kepada para pengguna jalan yang lain. Saya juga sempat melihat video seseorang yang melaksanakan shalat di atas atap mobil yang sedang terjebak banjir.
Saya berasumsi, fenomena di atas adalah keinginan untuk menampakkan seorang hamba Tuhan yang merelakan diri bersusah payah untuk melaksanakan ibadah kepada Allah Swt. kerelaan ini dilanjutkan dengan rasa puas ketika melaksanakan shalat di tengah mara bahaya.
Apa yang dilakukan sebagian dari umat Islam tersebut sudah tentu berbeda dengan apa yang seorang sahabat Abu Barzah lakukan. Ketimbang melanjutkan shalatnya Abu Barzah memilih untuk membatalkan shalat yang, toh, bisa dilaksanakan lagi setelah dia berhasil menangkap lagi kudanya.
Bagi Abu Barzah, mempersulit diri sendiri, hingga membahayakan diri sendiri saat shalat tidaklah pernah dicontohkan oleh Rasulullah, Abu Barzah dalam riwayat lain mengatakan, “Aku telah berperang bersama Rasulullah Saw. enam atau tujuh kali, dan aku bersaksi atas kemudahan (ibadah) dari beliau.” (Al-Dzahabi,1993: Vol. 3. Hal. 42)
Dalam riwayat lain, Rasulullah juga mengatakan, “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (Ibnu Majah: 2340)
Memang, dalam hati kita yang terdalam, kita mengakui bahwa ada kepuasan batin saat kita melakukan ibadah dengan penuh “penderitaan”, dan agama menjadi terasa lebih berwibawa. Namun, tanpa kita pun, bukankah agama sudah berwibawa?