Peristiwa

Maulid Nabi: Kebahagian Ulama dan Umara’ Atas Kelahiran Baginda Rasul Saw.

Avatar
  • September 28, 2023
  • 6 min read
  • 109 Views
Maulid Nabi: Kebahagian Ulama dan Umara’ Atas Kelahiran Baginda Rasul Saw.

Peringatan maulid Nabi Saw merupakan salah satu bentuk kegembiraan dan kebahagiaan umat Islam atas kelahiran Rasul Saw. Bahkan, seluruh makhluk yang berada di bumi turut bergembira dengan kelahiran beliau Saw. Ketika beliau Saw. dilahirkan, malaikat di langit menyiarkan beritanya dengan suara riuh rendah, Jibril datang dengan suara gembira, Arasy bergetar, para bidadari surga keluar menebarkan aroma wewangian. Sedangkan Sayyidah Aminah, ibunya, melihat cahaya menyinari istana Bosra. Malaikat mengelilinginya dan membentangkan sayap-sayapnya sambil menyenandungkan puja puji kepada Allah Swt.

Berdasarkan data sejarah yang penulis nukil dari kitab Husn al-Maqsid Fi Amal Al-Maulid karya Imam al-Suyuthi, peringatan maulid Nabi Saw. dalam skala besar pertama kali dilakukan oleh pemimpin Daerah Irbil yang bernama Muzhaffar Abu Sa’id Kukburi bin Zainuddin Ali bin Buktikin. Muzhaffar merupakan seorang raja yang memiliki rekam jejak yang baik. Dia juga yang meneruskan pembangunan Masjid al-Muzhaffari di kaki gunung Qasiyun. Istrinya yang bernama Rabi’ah Khatun Binti Ayyub (adik perempuan Shalahuddin Al-Ayyubi) menyatakan kesederhanaan Raja Muzhaffar. Beliau hanya memakai pakain yang sangat sederhana dengan harga lima dirham. Beliau berpendapat bahwa “pakaian dengan harga lima dirham dan aku bersedekah dengan sisa uangku lebih baik bagiku daripada mengenakan pakaian mewah dan membiarkan kaum miskin.”

Raja Muzhaffar melakukan perayaan maulid nabi pada bulan rabi’ al-awwal dengan perayaan yang sangat meriah. Menurut Shams al-Din Abu al-Muzhaffar dalam kitabnya Mir’ah al-Zaman, hidangan yang disajikan pada acara perayaan maulid yang diadakan oleh Muzhaffar adalah lima ribu kepala kambing bakar, sepuluh ribu daging ayam, dan seratus daging kuda. Sedangkan jumlah alat dapur yang disediakan adalah seratus ribu mangkok dan tiga puluh ribu piring makanan penutup. Acara tersebut dihadiri oleh para ulama yang datang dari berbagai tempat, khususnya ulama shufi.

Raja Muzhaffar berbaur dengan para ulama tersebut, bahkan melakukan tarian sufi bersama mereka. Perayaan maulid nabi yang dilakukan setahun sekali ini menghabiskan anggaran sebanyak tiga ratus ribu dinar (kurang lebih empat belas milyar rupiah). Kerajaan Raja Muzhaffar memiliki beberapa kamar tamu yang disediakan sebagai penginapan bagi para pendatang dari berbagai tempat. Anggaran yang dihabiskan untuk pengelolan kamar tamu ini setiap tahunnya mencapai seratus ribu dinar (kurang lebih empat milyar rupiah).

Raja Muzhaffar memiliki perhatian yang begitu besar terhadap perayaan maulid Nabi. Beliau tidak segan-segan menghabiskan anggaran yang sangat besar untuk mengadakan perayaan maulid ini. Beliau juga menyediakan penginapan gratis bagi para pendatang yang ingin mengikuti acara perayaan maulid ini. Perhatian beliau ini merupakan wujud dari rasa cintanya yang begitu mendalam kepada baginda Rasul Saw.

Abu al-Khattab ibn Dahyah, seorang ulama dari wilayah Maghrib (Maroko) menuliskan untuk Raja Muzhaffar sebuah kitab tentang maulid nabi yang berjudul al-Tanwir Fi Maulid al-Bashir al-Nadhir. Beliau memasuki Kota Irbil dan bertemu dengan Raja Muzhaffar pada tahun 604 Hijriyyah. Karena Raja Muzhaffar begitu perhatian dengan maulid Nabi, maka Ibn Dahyah menuliskannya sebuah kitab. Kitab itu kemudian dibacakan langsung dihadapan Raja Muzhaffar. Maka Raja Muzhaffar memberikan imbalan sebesar seribu dinar (kurang lebih empat puluh lima juta rupiah) kepada Ibn Dahyah. Tentu, kitab ini juga bagian dari perhatian Ibn Dahyah terhadap peringatan maulid Nabi saw. Kitab ini merupakan dampak dari ekspresi kebahagiaan Ibn Dahyah yang bertemua dengan seorang Raja yang begitu perhatian dengan kelahiran Rasul Saw. 

Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Mawlid asy-Syarif al-Mu`adzdzham, menulis skenario perayaan maulid Nabi Saw. di Mekah. Setiap tahun tanggal 12 Rabi`ul Awwal, setelah melakukan sholat maghrib, para ulama dan umara’ keluar meninggalkan Masjidil Haram untuk pergi bersama-sama menziarahi tempat kelahiran Rasul saw. Mereka berarak dengan melantunkan dzikir dan tahlil. Beberapa rumah di Mekah saat itu diterangi oleh cahaya lilin. Mereka berpertisipasi dalam acar tersebut dengan berpakaian indah serta membawa anak-anak mereka. Setiba di tempat kelahiran Rasul saw, sebagian ulama menyampaikan ceramah yang bersangkutan dengan kelahiran, kebesaran, kemuliaan dan mukjizat Rasul saw. Setelah itu, doa untuk Sultan, Amir Makkah dan Qadhi Syafi`i dibacakan dengan penuh khusyu’ dan khudu`. Setelah hampir waktu Isya`, barulah mereka berarak semula pulang ke Masjidil Haram untuk menunaikan sholat Isya`.

Sebelum kedatangan golongan wahabi, para penduduk Mekah adalah orang-orang yang senang dengan perayaan dan peringatan maulid nabi saw. Namun, setelah wahabi menguasai kota Mekah, segala bentuk perayaan dan peringatan maulid nabi saw. tidak diperbolehkan karena dianggap sebagai bid’ah. Padahal, Ibnu Taimiyah, elit agama yang mereka jadikan panutan menganggap baik perayaan maulid. Ibnu Taimiyah berkata : “Mengagungkan maulid Nabi dan menjadikannya sebagai hari raya telah dilakukan oleh sebagian manusia dan mereka mendapat pahala besar atas tradisi tersebut, karena niat baiknya”.

Dalam konteks Indonesia, perayaaan maulid sudah dilakukan oleh Wali Songo sebagai salah satu sarana dakwah. Di antara tujuan perayaan tersebut adalah dalam rangka menarik simpati masyarakat agar  mereka berkenan dengan senang hati mengucapkan Syahadatain sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan maulid Nabi disebut “PerayaanSyahadatain” yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten. Pada zaman kesultanan Mataram, perayaan maulid Nabi disebut dengan “Grebeg Mulud”. Kata grebeg artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari kraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan maulid Nabi saw, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi tumpeng dan sebagainya.

 Peringatan Maulid Nabi juga dilakukan ketika Indonesia diduduki oleh Portugis. Sebelum memasuki wilayah Sunda Kelapa untuk menahan kedatangan Pasukan Tempur Kerajaan Paringgi (Portugis), seluruh pasukan mujahidin yang berasal dari berbagai wilayah Nusantara berkumpul di alun-alun Kesultanan Demak untuk mendengarkan petuah Sultan Trenggono dan Fattahillah. Pada saat itu untuk mengangkat moral pasukan Jihad jilid 3 setelah jihad Malaka, maka Sultan Trenggono mengadakan Maulid Nabi secara besar besaran, dan itu terjadi pada tanggal 12 Robiul Awal tahun 933 Hijriah. Kemenangan pasukan mujahidin atas pasukan Portugis itu mampu membebaskan Sunda Kalapa dari Portugis dan diubah namanya menjadi Jayakarta, kota kemenangan.

Bagi masyarakat muslim Indonesia saat ini, peryaan maulid merupakan hari raya ketiga setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Dalam praktik peryaan dan peringatan maulid Nabi, Kitab Al-Barzanji, ad-Diba’i, kasidah burdah, dan manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jilany sering dibaca ketika ada hajat anak lahir, hajat menantu, khitanan, tingkeban, masalah yang sulit terpecahkan, dan musibah yang berlarut- larut.

Perayaan dan peringatan ini bertujuan untuk mendapatkan berkah atas kelahiran Rasul saw. dan terkabulnya semua yang dihajatkan. Di tengah acara diba’an atau berzanjen ada yang disakralkan, yaitu “Sirakalan”. Ketika sudah sampai di kalimat “asyraqal badru alaina” (mahallaul qiyam) hadirin dimohon untuk berdiri, karena pada saat itu Nabi Saw. hadir ditengah-tengah majelis. Ada juga yang menyebutnya sebagai “Marhabanan” dari kalimat “Marhaban” yang artinya “selamat datang” atas kehadiran nabi kita. Berdiri saat Mahallul Qiyam sudah dilakukan sejak dulu oleh seorang alim, yang menjadi panutan umat Islam, baik dalam ilmu agama maupun sifat wara’nya, yakni Al-Imam Abdul Wahab bin Taqiyuddin Ali bin Abdul Kafy As-Subki atau biasa di sebut dengan Imam As-Subki.

Wallahu A’lam

Avatar
About Author

Afrizal El Adzim Syahputra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *