Agama Keislaman Tokoh Tokoh Islam

Kesadaran Ekologis dalam Ajaran Sunan Giri

  • July 1, 2025
  • 9 min read
  • 327 Views
Kesadaran Ekologis dalam Ajaran Sunan Giri

“Ajaran Sunan Giri memberikan kita pelita bahwa keberagamaan yang sejati bukan hanya tentang mengupayakan surga eskatologis saja, tetapi juga mengupayakan surga ekologis di bumi yang harus kita rawat. Dalam krisis global hari ini, mungkin justru dari leluhur kita—para wali yang mencintai tanah, air, dan langit—kita bisa menemukan jalan pulang menuju spiritualitas yang utuh, yakni spiritualitas yang membumi sekaligus mengangkasa.”

Tulisan ini merupakan upaya untuk menjelajahi jejak pemikiran dan praksis Sunan Giri dalam membangun kesadaran ekologis yang terintegrasi dalam sufisme pada masyarakat Giri pada masa lampau.

Warisan yang ia tinggalkan ini, menyimpan sebuah pesan yang begitu penting, bahwa mencintai bumi adalah bagian dari mencintai Tuhan.

Tulisan ini juga hadir sebagai bentuk ikhtiar kecil untuk menghidupkan kembali ajaran luhurnya dalam wacana publik kontemporer.

Sebagai seseorang yang terhubung secara genealogis dengan Maulana Ainul Yaqin—yang lebih dikenal sebagai Sunan Giri—saya merasa perlu untuk menghadirkan tulisan ini sebagai bentuk tanggung jawab kultural dan spiritual, di samping juga sebagai upaya akademik atau intelektual.

Saat ini, kita sedang menghadapi krisis lingkungan. Salah satu hal yang bisa kita lakukan, adalah mengkaji kembali kearifan pemikiran tokoh masa lampau, seperti Sunan Giri yang saat itu telah berhasil memadukan nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal dalam kaitannya dengan ekologi.

Islam Nusantara dan Jejak Ekologisnya

Sejatinya, Islam yang tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara ini, bukanlah sekedar agama yang ditransplantasi dari Arab saja, tetapi juga hasil interaksi dengan budaya dan lingkungan lokal.

Wali Songo memainkan peran penting sebagai aktor utama dalam proses ini. Salah satunya, Sunan Giri sebagai salah satu dari tokoh Wali Songo yang menanamkan kesadaran ekologis dalam proses tersebut.

Nilai-nilai keislaman yang diajarkan Sunan Giri, tidak lepas dari konteks masyarakat Nusantara yang mayoritas penduduknya adalah masyarakat agraris dan maritim yang hidup bergantung pada keseimbangan alam.

Dalam hal ini, Islam datang bukan untuk menggusur dan mengeksploitasi alam, melainkan merawat dan memuliakannya.

Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menegaskan hubungan antara manusia dengan alam. Salah satunya, Q.S. Al-A’raf ayat 56, yang artinya “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya”.

Ayat tersebut menjadi fondasi etis bagi kita, bahwa keberagamaan kita dianggap tidak sah jika tidak disertai dengan tanggung jawab ekologis.

Dalam hal ini, Sunan Giri menangkap spirit yang terkandung dalam ayat tersebut dan menerapkannya dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Giri Kedaton yang ia dirikan.

Dalam tataran praktis, Islam Nusantara bercorak kultural. Hal ini yang membuat ajaran-ajaran ekologis memungkinkan untuk dapat hidup dalam tradisi masyarakatnya.

Untuk menanamkan nilai-nilai keberagaman yang selaras dengan alam, Sunan Giri menggunakan pendekatan pendidikan, budaya, dan keteladanan sosial.

Ia tidak mengajarkan Islam secara kaku, melainkan mengajarkan Islam sebagai sebuah etika hidup yang menyentuh semua aspek kehidupan manusia, termasuk relasinya dengan bumi.

Para peneliti, salah satunya Azyumardi Azra menunjukkan bahwa proses masuknya Islam ke Nusantara bersifat damai, adaptif, dan berbasis kearifan lokal (Azra, 2004).

Dalam konteks ini, Sunan Giri merupakan simbol dari bagaimana Islam dapat mengakar kuat tanpa mencabut akar budaya dan lingkungannya.

Oleh sebab itu, ajarannya tentang kesadaran ekologis tidak hadir sebagai doktrin yang kaku, tapi merupakan bagian integral dari spiritualitas yang membumi.

Ajaran Sunan Giri ini menjadi sangat relevan hari ini, saat kita semua sedang menghadapi krisis lingkungan yang bersifat global.

Kita tidak bisa jika hanya mengandalkan pendekatan teknologi (sains) saja. Kita juga perlu kembali lagi ke akar spiritualitas yang mampu menyatukan manusia dengan alam.

Sunan Giri mewakili model keberagamaan yang seperti itu, yakni beragama secara sederhana dan membumi, tetapi juga mengandung kedalaman spiritual dan ekologis secara simultan (Mahfudh, 1994).

Giri Kedaton: Pusat Spiritualitas dan Ekosistem Sosial

Sunan Giri mendirikan Giri Kedaton tidak hanya sebagai pusat keagamaan, tetapi juga pusat pemerintahan dan peradaban yang berwawasan ekologis.

Berdasarkan catatan sejarah, Giri Kedaton mempunyai sistem kehidupan yang mandiri dan mampu beradaptasi terhadap perubahan zaman. Tidak hanya dari aspek militer dan dakwahnya saja, tetapi juga dari segi tata kelola sumber daya alam dan lingkungan hidup masyarakatnya juga (Sunyoto. 2016).

Meski tidak ditemukan penjelasan Sunyoto secara eksplisit di dalam Atlas Wali Songo tentang sistem pengelolaan lingkungan di wilayah Giri Kedaton, tetapi  dapat dipahami melalui interpretasi kultural, bahwa masyarakat Giri hidup selaras dengan alam dan menjalankan praktik kolektif berbasis gotong royong.

Tradisi lokal dan tata ruang permukiman mereka kerap kali menyesuaikan dengan kondisi geografis, seperti aliran sungai dan juga arah angin, yang mencerminkan prinsip keharmonisan antara manusia dan lingkungan hidup mereka.

Model tata kelola lingkungan tersebut merupakan bentuk nyata dari implementasi ajaran Islam tentang khalifah fil-ardh, yaitu manusia sebagai pemimpin yang bertanggung jawab terhadap bumi.

Dalam praktiknya, masyarakat Giri menunjukkan tanggung jawab ekologis melalui pengelolaan lingkungan secara bijak, seperti pengelolan sumber daya air dan pelestarian hutan yang arif.

Tradisi lokal seperti sedekah bumi dan larung laut yang hidup di tengah masyarakat sekitar Giri, tidak kemudian dihilangkan dan dilabeli sebagai praktik syirik, tetapi dihormati dan dimaknai sebagai bentuk pengakuan terhadap karunia Allah yang diberikan kepada manusia melalui alam.

Melalui kerangka ini, ritus-ritus lokal menjadi bagian dari spiritualitas Islam yang mengakui pentingnya hubungan antara manusia dengan ekosistemnya.

Dalam hal ini, Sunan Giri menjembatani praktik kearifan lokal dan kearifan lingkungan dengan nilai-nilai Islam yang bersifat ekologis dan kontekstual.

Giri Kedaton menjadi model peradaban Islam Nusantara yang menyatu dengan alam, tidak hanya dalam aspek spiritual dan simbolik saja, tetapi juga dalam tata kelola sosial-ekonomi dan lingkungan hidup.

Jejak ekologis Sunan Giri ini penting untuk digali dan dihidupkan kembali.

Tembang, Tradisi, dan Pendidikan Ekologis

Sunan Giri memiliki cara unik dalam menanamkan nilai-nilai ekologis, salah satunya adalah melalui tembang dan dolanan anak-anak.

Tembang seperti “Ilir-ilir” mengandung makna tentang kesadaran terhadap alam dan musim tanam. Meskipun sebenarnya tembang ini lebih sering dikaitkan dengan Sunan Kalijaga.

Tembang ini sangat populer dalam jaringan pesantren Giri yang memiliki semangat yang sejalan dengan nilai-nilai ajaran Sunan Giri, yakni menghormati kehidupan dan mensyukuri karunia Tuhan dalam bentuk tanah yang subur serta air yang bersih dan melimpah.

Dalam tembang ilir-ilir, terdapat frasa “tandure wus sumilir”, yang menggambarkan kesuburan tanaman yang mulai tumbuh karena terkena angin sepoi yang berhembus.

Lagu ini bukan hanya sekedar syair yang bernilai estetis, tetapi juga bentuk pendidikan alam bagi masyarakat. Meski, tembang ini juga kerap kali dimaknai tentang pentingnya seorang muslim dalam menjaga shalatnya.

Selain ilir-ilir, juga ada tembang dolanan “cublak-cublak suweng”. Tembang ini menyimpan pesan simbolik yang relevan dengan kesadaran ekologis masa kini.

Kata “suweng” (anting) merupakan simbol dari harta yang tersembunyi, dan permainan mencari suweng mengajak anak-anak untuk belajar mengenali nilai yang tidak selalu tampak secara kasat mata.

Tafsir ekoteologis atas tembang ini sejatinya mengingatkan kepada kita bahwa kekayaan alam—sebagai “suweng” kehidupan—sering tersembunyi dalam keseimbangan dan kesunyian alam semesta.

Tatkala manusia terlalu tergesa-gesa mencari harta dengan mengabaikan etika dan keberlanjutan alam, maka “gudel” (anak kerbau) yang terusir, menjadi metafora bagi alam yang terusik dan rusak karena keserakahan manusia.

Tembang ini dapat menjadi bahan refleksi yang berharga, bahwa eksploitasi yang berlebihan terhadap alam demi kekayaan akan menimbulkan ketidakseimbangan ekologis dan ketimpangan sosial.

Oleh sebab itu, tembang ini sejatinya dapat dibaca sebagai sebuah ajakan untuk kembali pada kesadaran spiritual-ekologis, bahwa bumi bukan hanya sekader tempat mengeksploitasi, tetapi amanah yang harus dijaga dengan kearifan dan kelestarian.

Nilai-nilai penjagaan atas kelestarian alam ini ditanamkan sejak usia dini, melalui lagu, permainan, dan cerita rakyat, sehingga menjadi bagian dari kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga alam.

Dalam konteks ekologis, Sunan Giri mendidik masyarakat untuk menyayangi lingkungan melalui tembang dan cara beliau menata arsitektur Giri Kedaton.

Secara tidak langsung, Sunan Giri menyerukan agar masyarakat tidak merusak tanaman sembarangan, dan menjaga kelestarian air serta tanah. Ini merupakan bentuk dari adab ekologis yang berbasis spiritualitas Islam.

Dari sini dapat dipahami bahwa tembang dan tradisi lisan dapat menjadi media bagi pembentukan spiritualitas ekologis.

Dalam masyarakat modern, pendekatan seperti ini justru menjadi relevan kembali hari ini, bahwa pendidikan perlu menyentuh emosi, budaya, dan alam agar nilai-nilai keberagamaan tidak terlepas dari konteks kehidupan nyata.

Ekologi sebagai Spiritualitas

Sunan Giri tidak memisahkan antara urusan spiritual dengan urusan alam. Dalam banyak kisah yang berkembang di sekitar masyarakat Gresik, yang terekam dalam tradisi lisan, ia dikenal sebagai sosok yang peka terhadap tanda-tanda alam, salah satunya penentuan lokasi pendirian Giri Kedaton.

Pengetahuanyang seperti ini, bukan hanya praktik ekologis, tetapi juga spiritual—karena ia memahami bahwa alam merupakan manifestasi dari kehendak dan rahmat Tuhan.

Dalam pandangan Ibn ‘Arabī, setiap makhluk merupakan tajalli atau penampakan dari asma dan sifat Allah. Oleh sebab itu, merusak alam berarti juga melukai kehadiran Ilahi dalam wujud yang lain.

Sunan Giri juga tidak mengajarkan eksploitasi alam, ia mengajarkan penghormatan terhadapnya sebagai bagian dari relasi manusia dengan Tuhan.

Tradisi sufistik yang berkembang di Giri ini nampak seperti menekankan pada ittihad atau penyatuan kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.

Dalam konteks ekologis, hal ini menunjukkan bahwa perilaku manusia terhadap lingkungan, harus sejalan dengan kehendak Ilahi yang menciptakan alam dalam keseimbangan.

Artinya, sikap melampaui batas terhadap alam adalah bentuk kezaliman, bukan hanya terhadap manusia yang lain, tetapi juga terhadap alam dan Tuhan.

Menjadikan ekologi sebagai bagian dari spiritualitas ini menjadi tawaran penting dari ajaran Sunan Giri di tengah zaman modern yang kerap kali memisahkan antara agama dengan lingkungan.

Sunan Giri mengajarkan bahwa keberagamaan yang sejati adalah yang membumi, yang berakar dalam tanah, air, dan juga udara tempat kita berpijak.

Relevansi Ajaran Sunan Giri di Era Krisis Ekologi

Sejatinya, Krisis lingkungan global yang melanda saat ini, mencerminkan krisis spiritualitas manusia.

Kita telah menjauh dari nilai-nilai kosmologis yang diajarkan dalam agama dan menggantinya dengan cara pandang yang lebih bersifat mekanistik dan eksploitatif terhadap alam.

Dalam konteks ini, maka ajaran Sunan Giri hadir sebagai pengingat bahwa keberagamaan harus menyatu dengan ekologi.

Warisan intelektual dan kultural para wali perlu kita baca kembali. Bukan hanya sekedar sebagai cerita sejarah saja, tetapi sebagai sumber etika dan spiritualitas yang hidup.

Tradisi seperti sedekah bumi, larung laut, serta penghormatan terhadap air dan hutan merupakan bentuk nyata dari spiritualitas ekologis yang telah teruji oleh zaman.

Sunan Giri dan para pengikutnya telah lebih dahulu memahami pentingnya menjaga bumi sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan.

K.H. Sahal Mahfudh dalam Nuansa Fiqh Sosialnya menegaskan bahwa fiqh harus mampu menjawab realitas sosial dan ekologis umat. Maknanya adalah bahwa tanggung jawab terhadap lingkungan harus menjadi bagian dari keberagamaan kita.

Dalam konteks ini, Sunan Giri telah menunjukkan bahwa hal ini bukan hanya mungkin, tapi juga perlu dilakukan dengan cara-cara yang indah, lokal, dan menyentuh hati.

Di tengah krisis lingkungan, mulai dari perubahan iklim, banjir, kekeringan, dan kerusakan ekologis yang semakin parah, kita perlu untuk membumikan kembali ajaran para wali.

Wali Songo telah meletakkan dasar bahwa Islam merupakan agama yang mencintai ciptaan Tuhan dalam segala bentuknya, dan juga mencintai alam sebagai bagian dari jalan menuju Tuhan itu sendiri.

Ajaran Sunan Giri tentang ekospiritual atau ekoteologi ini memberi kita pelita bahwa keberagamaan yang sejati bukan hanya tentang mengupayakan surga eskatologis saja, tetapi juga tentang mengupayakan surga ekologis di bumi yang harus kita rawat.

Dalam krisis global saat ini, mungkin justru dari leluhur kita—para wali yang mencintai tanah, air, dan langit—kita menemukan jalan pulang menuju spiritualitas yang utuh, yakni spiritualitas  yang membumi sekaligus mengangkasa.

 

Penulis: Lailatuzz Zuhriyah (Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)

About Author

Lailatuzz Zuhriyah

Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung