Opini

Keteladanan dalam Kepemimpinan: Belajar dari Sikap Bijak Prof. Nasaruddin Umar

Prof. Dr. Abd. Aziz, M.Pd.I
  • March 30, 2025
  • 3 min read
  • 77 Views
Keteladanan dalam Kepemimpinan: Belajar dari Sikap Bijak Prof. Nasaruddin Umar

Oleh: Prof. Abd Aziz (Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)

Dalam kepemimpinan, dua hal selalu diuji: kebijaksanaan dan keteladanan. Seorang pemimpin sejati bukan hanya diukur dari kemampuannya dalam mengambil keputusan, tetapi juga dari sikapnya saat menghadapi situasi sulit. Salah satu contoh nyata dari kepemimpinan yang tenang dan berwibawa bisa kita lihat dalam sosok Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Nasaruddin Umar. Baru-baru ini, menghadapi gelombang demonstrasi dengan sikap yang luar biasa santun dan elegan.

Demonstrasi yang terjadi beberapa waktu lalu terhadap Prof. Nasaruddin Umar dipicu oleh tuduhan rangkap jabatan. Namun, yang menarik bukan hanya bagaimana isu ini berkembang di ruang publik, tetapi juga bagaimana cara menghadapinya. Bukannya terpancing emosi atau langsung membela diri dengan keras, Prof Nasarudin memilih untuk tetap tenang dan meresponsnya dengan kepala dingin.

Sebagai seorang pemimpin, Prof. Nasaruddin menunjukkan kapasitas intelektual yang tinggi, tetapi yang lebih penting, ia memiliki jiwa besar. Dalam menghadapi tekanan, ia memilih jalan dialog, memberikan ruang bagi semua pihak untuk berbicara, dan mengedepankan klarifikasi daripada konfrontasi.

Pendekatan ini terbukti efektif. Dalam sebuah pertemuan di Kantor Kementerian Agama, para koordinator aksi yang awalnya menuduhnya akhirnya meminta maaf. Mereka menyadari bahwa aksi mereka didasarkan pada informasi yang tidak akurat. Salah satu koordinator aksi, Syahril, secara terbuka mengakuinya.

Bagaimana Prof. Nasaruddin merespons permintaan maaf ini? Dengan kelapangan hati. Beliau tidak menyimpan dendam atau menunjukkan kemarahan. Sebaliknya, ia menerima permintaan maaf tersebut dengan tulus dan mengingatkan pentingnya verifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Sikap seperti ini jarang ditemui di dunia politik dan pemerintahan, di mana banyak pemimpin justru lebih memilih membalas serangan dengan serangan. Inilah yang membedakan seorang pemimpin sejati dari yang lain.

Kasus ini juga mencerminkan tantangan besar di era digital. Informasi menyebar begitu cepat di media sosial, tetapi tidak semuanya benar. Hoaks dan misinformasi bisa dengan mudah membentuk opini publik yang keliru. Demonstrasi terhadap Prof. Nasaruddin adalah contoh bagaimana sebuah isu bisa berkembang liar karena kurangnya verifikasi dan adanya pihak-pihak yang mungkin memiliki kepentingan tertentu.

Prof. Nasaruddin sendiri sempat menyinggung kemungkinan adanya pihak-pihak yang memainkan opini publik demi tujuan tertentu. Tanpa menuduh siapa pun secara langsung, ia menegaskan pentingnya literasi digital agar masyarakat tidak mudah terprovokasi. Di sinilah peran kita semua: menjadi lebih kritis dalam menyaring informasi dan tidak mudah terbawa arus oleh narasi yang belum tentu benar.

Salah satu pelajaran besar yang bisa kita ambil dari kepemimpinan Prof. Nasaruddin adalah keteguhan pada prinsip dan tanggung jawab. Dalam menghadapi tekanan, ia tidak memilih jalan pintas seperti membalas serangan atau mencari kambing hitam. Sebaliknya, ia justru membuka ruang dialog, memberikan klarifikasi dengan bijak, dan menerima permintaan maaf dengan hati terbuka.

Keteladanan seperti ini sangat dibutuhkan di Indonesia. Pemimpin yang baik bukan hanya mereka yang pandai membuat kebijakan, tetapi juga mereka yang bisa mengayomi dan memahami. Bagi saya ini adalah contoh nyata kombinasi antara intelektualitas dan kepemimpinan yang santun.

Dengan berakhirnya polemik ini, harapan besar muncul bahwa kita semua bisa mengambil pelajaran berharga. Salah satunya adalah pentingnya menyaring informasi sebelum mempercayai dan menyebarkannya. Era digital memudahkan kita mengakses informasi, tetapi juga menuntut kita untuk lebih cerdas dalam menggunakannya.

Kejadian ini juga mengingatkan bahwa dalam kehidupan demokrasi, demonstrasi adalah hak yang sah. Namun, aksi protes harus didasarkan pada fakta yang benar dan tujuan yang jelas. Ketika aksi dilakukan tanpa pemahaman yang cukup, bukan hanya individu atau lembaga yang dirugikan, tetapi juga kredibilitas gerakan itu sendiri.

Apa yang dilakukan Prof. Nasaruddin Umar memberi banyak pelajaran berharga tentang kepemimpinan, informasi, dan cara menyikapi perbedaan pendapat. Sebagai pemimpin, ia telah menunjukkan keteladanan dengan memilih jalan dialog dan klarifikasi daripada konfrontasi. Sebuah sikap yang patut kita renungkan dan tiru dalam kehidupan sehari-hari. (*)

Prof. Dr. Abd. Aziz, M.Pd.I
About Author

Prof. Dr. Abd. Aziz, M.Pd.I