Agama Ibadah Opini Peristiwa

Fenomenologi Qurban: Dari Ritual ke Realitas Spiritual

  • June 6, 2025
  • 7 min read
  • 323 Views
Fenomenologi Qurban: Dari Ritual ke Realitas Spiritual

“Ibadah Qurban bukan hanya sekedar seremonial menyembelih hewan, tetapi panggilan diri untuk menyembelih ego, melepaskan keterikatan dan kemelekatan, serta menjadi hamba yang benar-benar bebas dalam kehendak Ilahi.”

Qurban sebagai Peristiwa Spiritual, Bukan Sekedar Ritual

Ibadah Qurban dilaksanakan oleh umat Islam setiap tahun di bulan Dzulhijjah. Ritual ini menjadi bagian dari sikap ketaatan kepada Allah SWT. Seiring berjalannya waktu, nampaknya kita perlu merefleksi dan bertanya ulang, “apakah praktik qurban yang kita jalani saat ini masih menggugah kesadaran spiritual kita, ataukah telah berubah menjadi rutinitas tahunan yang kehilangan ruh-nya? Di tengah gegap gempita kemeriahan Idul Adha, ritual penyembelihan dan pembagian daging qurban, kerap kali makna terdalam dari qurban terbenam di balik formalitas dan simbolisme belaka.

Ibadah qurban sejatinya bukan hanya sekedar penyembelihan hewan, tetapi panggilan yang paling mendalam untuk menyentuh inti dari diri kita, yakni tentang kesanggupan kita dalam melepaskan keterikatan material demi mendekatkan diri kepada Tuhan. Allah menegaskan di dalam Q.S. Al-Hajj:37, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” Ayat ini menjadi pintu masuk untuk menelusuri lapisan makna yang lebih dalam dari ibadah qurban.

Melalui pendekatan fenomenologi dalam mengkaji qurban, kita diajak untuk tidak hanya memandang ibadah qurban dari kulit luarnya (ritual) saja, tetapi juga menyelami pengalaman batin (intentionalitas) yang menyertainya. Dari sini, dapat dipahami bahwa ibadah qurban sejatinya adalah latihan kesadaran spiritual. Oleh karena itu, ibadah qurban tidak cukup hanya dilihat sebagai aktivitas penyembelihan saja, tetapi bagaimana hal itu dapat menjadi simbol transformasi dalam diri kita.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ali Shariati bahwa Islam tidak menekankan simbol-simbol kosong, tetapi Islam ingin menjadikan setiap simbol tersebut sebagai pemicu bagi kesadaran dan perubahan (Ali Shariati: 2005). Maknanya, qurban merupakan simbol yang harus dihidupkan dengan makna dan refleksi.

Qurban sebagai Fenomena Kesadaran: Pendekatan Fenomenologi

Sebagai sebuah pendekatan filsafat, fenomenologi berupaya menempatkan pengalaman subjektif sebagai titik tolak dari pemahaman makna. Dalam kerangka pemikiran Husserl, setiap tindakan manusia selalu mengandung intentionalitas, yakni kesadaran yang selalu diarahkan pada sesuatu. Ibadah qurban, jika dilihat dari perspektif ini, bukan hanya sekedar aktivitas menyembelih hewan saja, tetapi sebuah intensi spiritual yang mengarah pada puncak pengabdian diri dari seorang hamba.

Dalam tradisi filsafat Islam, Mulla Shadra memperkenalkan konsep al-wujud al-muntaza‘, yakni eksistensi adalah realitas yang lebih tinggi dari esensi. Maka, tindakan berqurban menjadi momen ketika manusia tidak hanya sekedar “berbuat”, tetapi mengada secara spiritua. Maknanya, manusia menghadirkan eksistensinya dalam relasi langsung dengan Yang Mutlak. Pengalaman Nabi Ibrahim saat diperintahkan menyembelih putranya, Ismail, adalah puncak dari intentionalitas ini. Peristiwa tersebut tidak hanya menunjukkan sikap taat saja, tetapi menyerahkan totalitas wujud kepada kehendak Ilahi.

Dalam perspektif ini, Ismail bukan hanya dipandang sebagai seorang anak biologis saja, melainkan simbol dari segala yang dicintai. Sejatinya, qurban adalah simbol keberanian untuk melepaskan “Ismail-Ismail” dalam hidup kita, yang berupa ambisi, harta, kedudukan, bahkan identitas diri yang palsu. Oleh karena itu, qurban bukan hanya sekedar pengorbanan, tetapi pemurnian.

Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Seyyed Hossein Nasr bahwa Islam tidak hanya menuntut kepercayaan intelektual saja, tetapi juga transformasi batin yang merasuk sampai ke pusat jiwa (Seyyed Hossein Nasr, 2002). Dalam ibadah qurban, manusia diuji, apakah ia hanya akan menjalankan simbol semata, atau benar-benar hadir secara spiritual dalam pengorbanannya?

Transendensi dan Kekosongan: Qurban sebagai Penangguhan Ego

Dalam perspektif tasawuf, qurban memiliki hubungan yang erat dengan proses fana (peleburan ego dalam kehadiran Tuhan). Saat Ibrahim hendak menyembelih Ismail, sesungguhnya ia sedang menyembelih egonya, yakni sifat keakuan, rasa memiliki, mencintai, dan juga mengontrol. Dalam perspektif ini, qurban dimaknai sebagai latihan spiritual untuk menangguhkan ego demi tunduk pada kehendak dari Dzat Yang Maha Mutlak.

Konsep ini sejalan dengan ajaran Ibn Arabi tentang takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli berarti berupaya melepaskan diri dari sifat-sifat tercela. Tahalli bermakna menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji. Sedangkan tajalli berarti telah sampai pada manifestasi ilahiah dalam diri. Dalam konteks ibadah qurban, menyembelih hewan merupakan simbol dari takhalli, yakni berupaya mengosongkan diri dari segala kemelekatan duniawi. Inilah yang disebut dengan jalan transendensi, yakni bukan berupaya naik ke langit secara fisik, tetapi membebaskan jiwa dari beban-beban duniawi.

Keterkaitan antara ibadah qurban dan kesadaran eksistensial ini ditegaskan Heidegger dalam konsep being-towards-death. Dalam hal ini, manusia yang sadar akan kefanaannya, akan bertindak secara otentik. Ibadah Qurban menjadi momen untuk menghadirkan kefanaan secara simbolik, di mana hamba yang berqurban menyaksikan darah yang tumpah, daging yang dipotong, dan mengingat bahwa sejatinya semua itu bukanlah miliknya.

Oleh karena itu, qurban bukanlah sekedar bermakna mempersembahkan sesuatu yang bersifat fisik kepada Tuhan, tetapi mempersembahkan diri agar terbebas dari diri. Sebagaimana yang  dikatakan oleh Rumi, “Sungguh, pengorbanan yang sejati adalah ketika kau persembahkan egomu di altar cinta Ilahi” (Rumi, 2004).

Kritik terhadap Reduksi Ritual: Saat Daging Mengalahkan Makna

Sayangnya, saat ini, ibadah qurban kerap kali direduksi menjadi sekedar ritual yang bersifat seremonial saja. Fokus utamanya hanya terletak pada aktivitas pembagian daging, status sosial yang dilihat dari seberapa banyak jumlah hewan yang diqurbankan, hingga foto-foto publikasi untuk menunjukkan “siapa menyembelih berapa”. Heidegger menyebut fenomena ini sebagai das Man, yakni manusia yang larut dalam keterbiasaan, dan kehilangan autentisitas eksistensialnya.

Pada akhirnya, qurban bukan lagi menjadi momen tafakur, tetapi menjadi ajang kompetisi terselubung. Dalam hal ini, esensi spiritual dari qurban menjadi terpinggirkan oleh perayaan yang bersifat lahiriah saja. Fenomena yang seperti inilah yang dikritik oleh al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, bahwa ibadah tanpa adanya kehadiran hati hanyalah seperti kulit tanpa isi. Lebih lanjut al-Ghazali menyatakan bahwa hakikat qurban adalah ketulusan, bukan jumlah hewan yang disembelih (al-Ghazali: 2005).

Di sisi yang lain, budaya konsumerisme yang melanda dunia modern saat ini juga telah menjadikan qurban sebagai komoditas. Misalnya, layanan qurban instan, pembayaran dengan sistem digital, dan outsourcing penyembelihan yang berkontribusi pada keterputusan makna. Dalam hal ini, masyarakat tidak lagi mengalami secara langsung proses dari ibadah qurban sebagai pengalaman spiritual. Seharusnya, dalam momen qurban, terjadi transformasi batin. Namun, hal ini tergantikan oleh efisiensi dan kenyamanan.

Dalam hal ini, fenomenologi memandang bahwa pengalaman langsung (lived experience) merupakan kunci dari pemahaman makna. Bila seseorang tidak lagi terlibat secara langsung dalam tindakan qurban, maka kemungkinan besar makna eksistensial dan spiritualnya akan melemah. Intensi spiritual dari ibadah qurban seseorang dapat terkikis ketika prosesnya terlalu diserahkan secara penuh pada sistem teknologi atau layanan praktis tanpa keterlibatan batiniah dari orang yang berqurban.

Fenomena pereduksian dari “melakukan qurban”secara langsung menjadi “klik dan transfer” ini sejalan dengan pemikiran Jean Baudrillard tentang simulacra, di mana realitas digantikan oleh representasi-perwakilan sehingga kehilangan maknanya. Substitusi makna spiritual qurban dengan efisiensi, yang meskipun tidak salah secara fiqh, tetap perlu dikritisi secara filosofis dan tasawuf.

Oleh karena itu, kita perlu untuk merefleksi dan mengkritisi cara kita menjalankan qurban hari ini. Bukan bermaksud menolak kemajuan teknologi, tetapi menekankan bahwa substansi spiritual tidak boleh lenyap hanya karena kemudahan teknis. Ritual qurban harus kembali dipenuhi dengan intensi spiritual dan pemahaman akan makna dibalik ritual tersebut.

Menuju Qurban yang Membebaskan Jiwa

Jika dipahami secara fenomenologis, ibadah qurban dapat membuka jalan bagi transformasi jiwa yang hakiki. Ibadah ini mengajarkan kepada kita tentang keberanian melepaskan, keikhlasan dalam memberi, dan ketulusan untuk tunduk secara total kepada kehendak Tuhan. Qurban bukanlah sekedar ritual menyembelih hewan, tetapi menyembelih ego; juga bukan sekedar aktivitas pembagian daging, tetapi mempersembahkan jiwa kepada Tuhan.

Dalam hal ini, fenomenologi qurban mengajak kita untuk berpindah dari dunia simbol ke dunia makna. Fenomenologi qurban mengantarkan manusia untuk hadir secara utuh dalam momen spiritual, bukan hanya menjadi pelaku ritual saja. Sebagaimana Ibrahim, melalui qurban kita ditantang untuk menggugat cinta-cinta semu yang menempati singgasana hati kita saat ini, dan menundukkannya hanya kepada Allah semata.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Idul Adha sejatinya bukan hanya tentang perayaan saja, tetapi tentang pembebasan. Pembebasan dari semua keterikatan semu, dari rasa memiliki yang palsu, dan dari ilusi akan kekuasaan atas hidup. Ibadah Qurban merupakan undangan bagi kita untuk menjadi manusia yang merdeka secara spiritual.

Sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. Al-An’am: 162). Oleh karena itu, dalam ibadah qurban pun, biarlah yang kita persembahkan tidak hanya sekedar daging saja, tetapi kesadaran. Kesadaran bahwa seluruh hidup kita, termasuk keinginan, cinta, harta, bahkan ego, sejatinya bukan milik mutlak manusia, melainkan milik Allah yang harus siap dipersembahkan kembali kepada-Nya.

Penulis: Lailatuzz Zuhriyah (Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)

About Author

Lailatuzz Zuhriyah

Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung