
“Lahirnya Pancasila adalah juga lahirnya kesadaran bahwa perempuan berhak berpikir, meneliti, dan memimpin. Tauhid bukan menundukkan, tapi membebaskan.”
Pancasila dan Jalan Pembebasan
Bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni. Momen ini menjadi titik penting bagi kita semua untuk kembali menafsirkan arah perjalanan bangsa ini. Terutama bagaimana kita mampu menjawab berbagai tantangan kemanusiaan.
Sejatinya, Pancasila tidak lahir dari ruang hampa sejarah. Pancasila lahir dari pergulatan sejarah, spiritualitas, dan keinginan seluruh rakyat Indonesia untuk merumuskan dasar hidup bersama yang inklusif, adil dan setara.
Bagi saya, salah satu hal yang paling menarik dari Pancasila adalah sila pertamanya, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila pertama inilah yang menjadi letak pondasi spiritual bagi bangsa Indonesia.
Dalam hal ini, tauhid merupakan prinsip yang paling fundamental dalam membentuk masyarakat Indonesia yang adil dan beradab. Tetapi, sayangnya sila pertama ini kerap kali hanya didekati secara normatif saja. Bahkan, tak jarang, juga digunakan untuk melanggengkan dominasi dan kekuasaan atas nama agama.
Padahal, bila dikaji secara mendalam, dan dibaca dengan landasan tauhid yang murni, sejatinya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu justru mengandung semangat pembebasan, bukan penindasan. Secara ontologis, Tauhid bukan hanya sekedar urusan vertikal dengan Tuhan saja, tetapi juga soal bagaimana kita mampu meruntuhkan berhala-berhala sosial, seperti: patriarki, diskriminasi, dan ketidakadilan struktural.
Oleh karena itu, dalam konteks ini, hari lahirnya Pancasila tidak hanya menjadi sebuah momen perayaan kenegaraan saja. Tetapi, bisa juga dibaca sebagai momentum pembebasan bagi para perempuan untuk merdeka dari sekat-sekat budaya yang mengekang.
Tauhid: Bukan Sekedar Keyakinan, Tapi Revolusi Sosial
Dalam perspektif Islam, tauhid merupakan prinsip yang paling fundamental. Tauhid tidak hanya didefiniskan sebagai hubungan antara manusia dengan Allah (habl min Allah), tetapi juga relasi antar-manusia (habl min al-nas).
Dalam Al-Qur’an, tauhid selalu disandingkan dengan keadilan (al-‘adl) dan sikap tidak menyekutukan Allah dengan kekuasaan manusia atas manusia yang lain. Maka, oleh sebab itu, segala bentuk penindasan, termasuk di dalamnya adalah penindasan terhadap perempuan, sejatinya adalah bentuk syirik sosial.
Beberapa tokoh pembaru dalam dunia Islam seperti Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman melihat tauhid sebagai prinsip yang dinamis yang mampu membangkitkan semangat kebebasan dan tanggung jawab. Maknanya bahwa tauhid tidak ingin memenjarakan manusia dalam struktur yang feodal, tetapi sebaliknya, yakni membebaskan mereka untuk menjadi agen etis di tengah masyarakat.
Dalam perspektif ini, dapat dipahami bahwa perempuan bukanlah objek yang harus ditundukkan. Sebaliknya, perempuan merupakan subjek spiritual yang setara, baik dalam peran maupun tanggung jawab sosial.
Dengan menjadikan sila pertama pada Pancasila sebagai fondasi utama, maka perjuangan perempuan untuk hadir dalam ruang publik, mulai dari berperan dan berpartisipasi dalam dunia pendidikan, melakukan riset, serta berpartisipasi dalam pembangunan peradaban bangsa bukanlah menjadi sekedar “isu perempuan” saja. Tetapi, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari amanah tauhid itu sendiri.
Mengapa demikian? Karena dalam Islam, pembebasan perempuan merupakan bagian dari misi kenabian. Sebagaimana yang difirmankan Allah:
وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَٱلْأَغْلَٰلَ ٱلَّتِى كَانَتْ عَلَيْهِمْ
Artinya: “…..dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka” (Q.S. Al-A’raf: 157)
Menurut Prof. M. Quraish Shihab, di dalam Tafsir al-Misbah Jilid 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), dijelaskan bahwa ayat ini menggambarkan kedatangan Nabi Muhammad yang membawa misi emansipatoris, yakni membebaskan umat manusia dari beban tradisi, tekanan budaya, serta sistem sosial yang tidak adil.
Dalam hal ini, kata “beban dan belenggu” dimaknai sebagai larangan-larangan dan ketentuan yang mengekang potensi manusia, termasuk kepada perempuan. Dengan demikian, perjuangan perempuan dalam pendidikan dan ruang publik adalah bagian dari cita-cita Islam yang menolak ketimpangan dan memperjuangkan kemaslahatan universal.
Dalam konteks ini, tauhid bukan hanya bersifat ritualistik belaka, tetapi meniscayakan komitmen etis untuk membebaskan manusia dari struktur yang membelenggu harkat dan martabatnya juga. Oleh sebab itu, memperjuangkan peran perempuan bukanlah sebuah gerakan yang bersifat sekuler ataupun liberal, tetapi sebuah refleksi atas nilai-nilai luhur ketuhanan yang menjunjung tinggi keadilan.
Pancasila dan Ruang Publik untuk Perempuan
Sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa bukan hanya sekedar pengakuan formal terhadap Tuhan. Tetapi, sila ini merupakan prinsip hidup yang meniscayakan terwujudnya keadilan, kebebasan, dan pengakuan terhadap martabat seluruh manusia.
Dalam hal ini, posisi perempuan bukanlah hanya sekedar pelengkap, tetapi pelaku utama dalam menunaikan nilai-nilai ini. Tanpa peran perempuan, maka penghayatan atas Ketuhanan Yang Maha Esa pun akan menjadi bersifat eksklusif, serta tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan ilahiah.
Oleh sebab itu, partisipasi perempuan dalam ruang publik bukan hanya sekedar hak yang harus diperjuangkan, tetapi juga merupakan bagian dari realisasi nilai-nilai teologis dalam Pancasila. Maknanya, pembebasan perempuan bukan hanya soal emansipasi saja, tetapi merupakan syarat mutlak bagi tegaknya Pancasila dalam kehidupan nyata.
Pada praktiknya, di beberapa tempat, masyarakat sering kali masih membatasi peran perempuan dalam ruang publik dengan mengatas namakan “kodrat” atau “fitrah”. Padahal, jika menelisik sejarah perempuan dalam Islam, perempuan tidak hanya sekedar berada di balik tirai.
Kita bisa menyebut nama-nama perempuan yang memiliki peran yang sangat besar saat itu, seperti Khadijah yang merupakan pebisnis ulung, Aisyah sebagai rujukan intelektual Islam, hingga Nana Asma’u sebagai pendidik dan penulis feminis dalam tradisi Islam Afrika.
Selain itu, dalam sejarah Indonesia pun kita mengenal nama Rahmah El-Yunusiyyah. Ia adalah tokoh perempuan Minangkabau yang mendirikan sekolah khusus perempuan pada masa kolonial. Rahmah berupaya memadukan antara pendidikan Islam dengan semangat kebangsaan. Apa yang ia lakukan ini merupakan wujud nyata dari tauhid yang membebaskan, yakni keyakinan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk mengambil peran dalam ruang publik
Sayangnya, hingga saat ini, belenggu patriarki kerap kali mengatasnamakan agama untuk membatasi ruang gerak perempuan. Padahal, Islam datang membawa risalah pembebasan, yang memuliakan perempuan sebagai mitra dalam peradaban.
Hal yang menjadi titik krusial terjadinya ketimpangan gender adalah saat tafsir keagamaan dipengaruhi oleh kepentingan patriarki. Akibatnya, tauhid kehilangan daya pembebasannya. Dalam hal ini, diperlukan pembacaan ulang terhadap ajaran-ajaran agama agar lebih selaras dengan nilai keadilan yang menjadi inti dari Pancasila dan Islam itu sendiri.
Jika kita serius ingin menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, maka pembebasan perempuan untuk bisa mengakses pendidikan, ilmu pengetahuan, dan posisi kepemimpinan merupakan sebuah keniscayaan. Dalam hal ini, jika sila pertama Pancasila dimaknai secara mendalam, maka sila ini tidak hanya sekedar membimbing bagaimana cara kita menyembah, tetapi juga bagaimana cara kita memanusiakan manusia. Termasuk di dalamnya bagaimana cara kita memandang perempuan, bukan sebagai makhluk kelas dua, tetapi sebagai subjek utuh di dalam masyarakat.
Riset, Inovasi, dan Kiprah Perempuan sebagai Manifestasi Pancasila
Dahulu, kiprah perempuan dalam dunia riset dan inovasi, kerap kali dihadapkan pada kendala struktural dan kultural. Namun, saat ini, semakin banyak perempuan muslim Indonesia yang menunjukkan perannya yang gemilang, baik sebagai peneliti, ilmuwan, maupun pengambil kebijakan. Hal ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai Pancasila telah mulai menemukan wujudnya dalam kehidupan nyata.
Lembaga-lembaga riset dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), termasuk UIN, memiliki peran penting untuk membuka ruang ini. Tidak hanya sekedar mengizinkan perempuan untuk hadir, tetapi secara aktif memberdayakan dan mendorong perempuan menjadi subjek riset dan agen perubahan. Hal ini selaras dengan semangat profetik dalam Islam, yang menyerukan kepada kita untuk menuntut ilmu tanpa membatasi gender:
وَقَالَ صَلَّى اللهُ وَ سَلَّمَ : طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
Artinya: Dan bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam; “Mencari ilmu itu sangat fardhu bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan”. (Kitab Ta’limul-Muta’allim Bab Fi Mahiyatil-imi wal-fiqhi wa fadhlih)
Masyarakat akan mengalami percepatan kemajuan ketika perempuan diberi ruang untuk berkarya. Dalam hal ini, peran perempuan bukan hanya sebagai pelengkap bagi pembangunan saja, tetapi turut andil dalam menentukan arah masa depan bangsa. Dalam kerangka Pancasila, hal ini bukan hanya sekedar pemenuhan hak saja, tetapi juga menjadi bagian dari jalan spiritual menuju ketuhanan yang membebaskan.
Lahirnya Pancasila, Lahirnya Kesadaran Kritis, dan Kesalehan yang Membebaskan
Pancasila tidak boleh hanya dijadikan sebagai simbol yang dipasang pada dinding-dinding institusi saja. Pancasila harus bisa menjelma menjadi ruh dalam setiap kebijakan, ruang sosial, dan relasi antar-gender.
Spirit tauhid dalam sila pertama Pancasila merupakan panggilan bagi kita untuk membebaskan diri dari segala bentuk penghambaan kepada selain Tuhan. Termasuk dari belenggu patriarki, diskriminasi, dan juga kekerasan berbasis gender.
Pada dasarnya, perempuan Indonesia hari ini tidak meminta ruang hanya karena mereka perempuan saja. Tetapi, mereka ingin mengambil ruang karena Pancasila telah mengamanatkan keadilan.
Perempuan hadir bukan untuk menggantikan peran laki-laki, tetapi untuk menggenapi kemanusiaan bangsa. Maka, sejatinya hari lahir Pancasila juga bisa dimaknai sebagai hari lahir perempuan merdeka, yakni mereka yang bergerak, berpikir, dan membangun peradaban bersama.
Hari lahir Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Juni merupakan momen reflektif bagi kita untuk meninjau kembali praktik keberagamaan kita. Apakah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang kita pahami dan terapkan telah memerdekakan? Atau, justru masih menjadi sebuah slogan yang dibajak oleh struktur patriarki?
Dalam hal ini, kita perlu untuk menghadirkan kesalehan yang membebaskan, yakni sikap keberagamaan yang mampu meneguhkan martabat perempuan. Perempuan bukan lagi menjadi objek pasif, tetapi subyek aktif dalam ruang publik dan diskursus keilmuan.
Pancasila sejatinya lahir dari rahim sejarah yang plural dan dialogis. Oleh sebab itu, membebaskan perempuan dari belenggu patriarki merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan keadilan ilahiah di bumi pertiwi ini. Dalam hal ini, tauhid tidak boleh hanya menjadi sebuah kepercayaan saja, tetapi juga harus menjadi komitmen etis bagi kita untuk membela mereka yang tertindas, termasuk perempuan, dalam setiap dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis: Lailatuzz Zuhriyah (Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)