Ekoteologi Islam dan Refleksi Hari Bumi: Spiritualitas, Keberlanjutan, dan Peran PTKI

Bumi dalam Krisis: Sebuah Panggilan Nurani
Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April merupakan momen kontemplatif untuk menyadari bahwa rumah besar umat manusia sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Laporan Panel Antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) memperlihatkan bahwa pemanasan global telah mencapai titik yang mengkhawatirkan, dengan dampak yang melanda dari ekosistem laut hingga daratan (sumber: https://www.ipcc.ch/). Ironisnya, di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perilaku eksploitatif manusia justru semakin merusak keseimbangan alam. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi saja rupanya tidak cukup, perlu penghayatan yang mendalam akan nilai spiritual dan moral dalam menjaga bumi. Maka, peringatan Hari Bumi sejatinya tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga spiritual dan moral.
Relasi manusia dengan alam dalam konteks Islam sejatinya tidaklah netral. Bumi bukan hanya sebagai objek eksploitasi, tetapi juga amanah ilahiah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Hal ini karena dalam konteks Islam, manusia, selain berkedudukan sebagai hamba di hadapan Allah, juga diberikan amanah sebagai khalifah fil ardh, yang diberikan amanah dalam menjaga keberlangsungan alam ini. Kerusakan lingkungan sejatinya mencerminkan kerusakan spiritualitas manusia. Mengapa demikian? Karena ini merupakan sebuah kegagalan manusia dalam membaca tanda-tanda Tuhan yang tersebar dalam ciptaan-Nya. Alam bukan hanya menjadi ruang hidup, tetapi juga teks sakral yang menyuarakan ayat-ayat Tuhan (ayat kauniyah). Oleh karena itu, dengan menjaga bumi, berarti menyambung kembali simpul-simpul spiritualitas yang putus oleh kerakusan manusia.
Tauhid dan Relasi Ekologis dalam Islam
Tauhid memberikan fondasi yang kuat bagi pembangunan kesadaran ekologis. Konsep tauhid menekankan bahwa sejatinya seluruh makhluk tunduk kepada satu Tuhan, dan manusia adalah bagian dari jejaring ciptaan itu. Dalam Surah Al-A’raf ayat 56, Allah mengingatkan, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.”
Terkait dengan ini, M. Quraish Shihab menafsirkan bahwa memperbaiki bumi dan mencegah kerusakan adalah bagian dari amanah kekhalifahan manusia. Hal ini berarti bahwa menjaga kelestarian lingkungan bukan hanya sebuah tindakan etis, tapi juga kewajiban teologis yang harus dijalankan manusia. Dalam hal ini, ekoteologi Islam menawarkan sebuah jalan tengah yang berupaya memadukan antara dimensi spiritual dan keberlanjutan ekologis. Dalam konsep ini, manusia bukanlah penguasa absolut atas alam, tetapi mitra dalam harmoni kosmis.
Ekoteologi Islam: Membaca Ayat-ayat Kauniyah dan Qur’aniyah
Ekoteologi Islam merupakan upaya teologis untuk memahami relasi antara manusia dengan alam semesta melalui kerangka ajaran Islam yang integratif. Dalam pendekatan ini, alam bukan merupakan objek eksploitasi, tetapi tanda-tanda (āyāt) Tuhan yang harus dihormati dan dirawat. Ayat-ayat yang terserak di alam semesta (ayat kauniyah) dipahami sejajar maknanya dengan ayat-ayat yang tertulis di dalam Al-Qur’an (ayat Qur’aniyah/qauliyah). Hal ini karena keduanya merupakan wahyu Tuhan yang mengajarkan kebijaksanaan dan spiritualitas.
Al-Qur’an banyak mengajak manusia untuk tadabbur terhadap alam, yakni dengan jalan memperhatikan bagaimana langit yang ditinggikan, air hujan yang diturunkan, hingga bumi yang dihamparkan oleh-Nya. Semua itu adalah tanda-tanda kebesaran Tuhan yang membutuhkan sebuah refleksi dan kesadaran ekologis.
Ekoteologi memperkaya diskursus tentang keberlanjutan dengan nilai-nilai profetik. Nabi Muhammad SAW dikenal sangat memperhatikan kelestarian alam, dari larangan penebangan pohon secara sembarangan, hingga anjuran untuk berhemat air, bahkan ketika berwudhu di sungai yang mengalir sekalipun. Dalam hadits disebutkan: “Dari sahabat Muadz bin Anas r.a., Rasulullah SAW. bersabda, “Siapa saja yang mendirikan bangunan atau menanam pohon tanpa kezaliman dan melewati batas, niscaya itu akan bernilai pahala yang mengalir selama bermanfaat bagi makhluk Allah yang bersifat rahman” (HR. Ahmad).
Konsep khalifah fil ardh dalam Islam sejatinya menegaskan bahwa manusia tidak memiliki bumi, melainkan hanya dipercaya untuk menjaganya saja. Dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 205, disebutkan bahwa salah satu ciri manusia yang rusak adalah “merusak bumi setelah diperbaiki-Nya.” Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tanggung jawab ekologis bukanlah urusan sekuler, tetapi merupakan bagian dari iman itu sendiri. Begitu pula dalam Q.S. Ar-Rum (30): 41, bahwa kerusakan di darat dan di laut disebut sebagai akibat ulah tangan manusia. Hal ini menunjukkan sebuah peringatan yang tegas, bahwa keberlanjutan bumi adalah amanat yang harus diemban oleh setiap manusia.
Imam Fakhruddin al-Razi, di dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa tanda-tanda Tuhan di alam, mengandung pelajaran tentang keteraturan, keseimbangan, dan tanggung jawab. Sedangkan Said Nursi, seorang tokoh pembaharu Islam dari Turki, menyebut bahwa alam merupakan “kitab besar” yang membentangkan ayat-ayat Tuhan secara visual. Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya spiritualitas dalam Islam bukanlah bentuk pelarian dari dunia, melainkan cara menghadirkan Tuhan dalam keterlibatan etis manusia dalam dalam menjaga dunia.
Ekoteologi Islam sejatinya tidak hanya sekedar menuntut manusia agar lebih peduli terhadap lingkungan, tetapi merupakan sebuah laku spiritual yang nyata, yang menggabungkan dimensi ibadah (pengabdian), akidah (keimanan), dan muamalah (interaksi sosial dan ekologis). Dalam hal ini, manusia tidak cukup jika hanya mengkaji ayat-ayat tentang bumi, tetapi juga harus menjiwainya dalam tindakan nyata, seperti menanam pohon, menghemat air, mengurangi limbah, dan mengupayakan gaya hidup yang berkelanjutan.
Filsafat, Teologi dan Ilmu Pengetahuan: Titik Temu untuk Keberlanjutan
Filsafat lingkungan mengajarkan bahwa krisis ekologis bukan hanya sebagai bentuk kegagalan teknologi, tetapi merupakan krisis atas cara berpikir manusia. Antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segalanya menyebabkan alienasi terhadap alam. Dalam hal ini, filsuf seperti Arne Naess menawarkan konsep ekosentrisme, khususnya melalui teorinya yang dikenal sebagai “ekologi dalam” (deep ecology), yang menekankan pentingnya menghargai seluruh ekosistem, bukan hanya manusia, dan menempatkan kepentingan alam setara dengan kepentingan manusia. Dalam khazanah Islam, konsep ini dapat dijumpai pada pandangan sufistik dan kosmologis yang memandang bahwa seluruh makhluk sejatinya bertasbih kepada Tuhan (Q.S. Al-Isra [17]: 44).
Ilmu pengetahuan modern telah berjasa dalam memberikan data dan solusi teknis terhadap kerusakan lingkungan. Namun, jika semua itu tanpa diimbangi dengan etika spiritual dan teologis, maka solusi tersebut seringkali tidak akan bisa menyentuh akar persoalan. Oleh karena itu, teologi dan filsafat dapat saling bekerjasama menjadi mitra ilmu pengetahuan dalam membentuk cara pandang dan praktik ekologis yang berkelanjutan.
Ekoteologi merupakan jembatan penting yang digunakan untuk menghubungkan antara nilai-nilai agama, refleksi filosofis, dan temuan ilmiah sebagai upaya untuk menjaga bumi (yang merupakan amanah dari Tuhan). Hal inilah yang disebut oleh Seyyed Hossein Nasr sebagai upaya untuk mengembalikan “sakralitas alam” yang telah hilang dalam peradaban modern.
Kontribusi Nyata PTKI: Dari Retorika ke Aksi Hijau
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) memiliki peran yang sangat strategis dalam menyemai kesadaran ekoteologis di kalangan sivitas akademika dan masyarakat. Melalui pengembangan kurikulum, riset, dan pengabdian kepada masyarakat, PTKI dapat membumikan ajaran Islam yang ramah lingkungan. Beberapa PTKIN telah menjadi pelopor kampus hijau dan meraih penghargaan Green Metric UI dengan praktik nyata efisiensi energi, konservasi air, dan ruang hijau terbuka, seperti: UIN Raden Intan Lampung, UIN Jambi, UIN Raden Fatah Palembang, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Walisongo, IAIN Metro Lampung, UIN Bandung, dan beberapa PTKIN lainnya.
Tidak hanya itu, penelitian-penelitian yang membahas tentang ekoteologi Islam, fiqh lingkungan, dan pendidikan berbasis lingkungan hari ini semakin berkembang di beberapa PTKI, seperti di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, UIN Mataram, dan beberapa PTKI lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi antara sains, teologi, dan filsafat dalam membangun kesadaran ekologis sivitas akademika dan masyarakat telah mulai menemukan bentuknya. Dalam hal ini, PTKI menjadi lokus penting dalam proses pembentukan generasi muda yang tidak hanya religius, tetapi juga memiliki kesadaran ekologis.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat seperti Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKNT) berbasis lingkungan, pendampingan masjid-masjid ramah lingkungan, pendampingan pesantren berbasis pertanian organik telah dilakukan oleh beberapa PTKI. Kegiatan konkret kampus hijau dengan melakukan penanaman pohon dan gerakan zero waste di lingkungan kampus juga telah dilakukan di beberapa PTKI. Dalam hal ini nampak bahwa sebenarnya ekoteologi bukan lagi menjadi sebuah konsep yang tertuang dalam dokumen roadmap PTKI dan dibicarakan di ruang-ruang kelas belaka, tetapi sudah menjadi praksis keberagamaan yang menyentuh langsung kehidupan sosial dan ekologis.
Menjaga Bumi, Menjaga Iman
Hari Bumi sebenarnya bukan hanya sekedar sebuah perayaan tahunan, yang ditandai dengan pembuatan flyer ucapan hari bumi dan simbolik penanaman pohon dalam waktu satu hari saja. Tetapi hari bumi adalah sebuah seruan spiritual yang terus-menerus menggema di setiap hari, tidak sebatas pada tanggal 22 April saja. Menjaga bumi sejatinya adalah bentuk kesalehan baru yang tidak terpisah dari iman. Dalam Islam, mencintai bumi adalah bagian dari mencintai Sang Pencipta. Oleh karena itu, ekoteologi Islam mengajarkan bahwa setiap tindakan ramah lingkungan yang kita lakukan, sekecil apapun, adalah bagian dari ibadah.
Pada momen Hari Bumi ini, mari kita jadikan Hari Bumi sebagai momentum untuk memperkuat komitmen bersama dalam membangun kesadaran ekologis. Bukan hanya untuk generasi hari ini saja, tetapi demi anak cucu kita kelak. PTKI sebagai rumah besar ilmu dan iman, memiliki tanggung jawab untuk menjadi pelopor dalam membentuk peradaban yang lestari dan berkeadilan ekologis.
Selamat Hari Bumi!
Jaga bumi, jaga iman. Rawat alam, rawat masa depan…
Penulis: Lailatuzz Zuhriyah (Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)