Kehidupan di dunia saat ini telah mencapai era digital society 5.0, pola kehidupan pada era ini berkaitan erat dengan kadar penggunaan media sosial yang meningkat pesat, salah satunya di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan survei dari Databooks 2023 yang menyebutkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia sebanyak 73,7% dari seluruh populasi di Indonesia. Satu di antara beberapa platform yang paling sering digunakan adalah Tiktok, grafiknya mencapai 34,7% populasi Indonesia. hal serupa ditunjukkan dengan data bahwa Indonesia sendiri Negara dengan pengguna platform Tiktok peringkat ke-2.
Fenomena penggunaan media sosial yang relatif tinggi ini menjadikan banyak informasi yang tersedia. Informasi tersebut bisa berupa berita, keilmuan, tips kehidupan sehari-hari, hiburan, dan sebagainya. Adakalanya (dari pengalaman penulis), banyak orang yang menghabiskan berjam-jam dalam memainkan media sosial dengan alasan untuk mencari berbagai informasi agar tidak tertinggal informasi. Namun, pertanyaan sekaligus kegelisahan adalah, apakah hal ini membantu kehidupan seseorang untuk lebih baik, karena banyaknya informasi yang tersedia. Ataukah justru mengantarkan kehidupan seseorang lebih buruk, karena adakalanya lebih banyak waktu terbuang yang tak sebanding dengan informasi yang didapatkan?
Untuk menjawab kegelisahan ini penulis akan merujuk pada penjelasan yang diuraikan oleh Fahruddin Faiz dalam kajian filsafat episode 374 di Youtube “MJS Channel”. Fahruddin Faiz dalam kajian tersebut menyebutkan bahwa pada era ini terdapat situasi yang dihadapi oleh masyarakat, dia menyebutnya dengan istilah Mass-Mediated Reality atau realitas media massa.
Mass-Mediated Reality sendiri tidak lepas dari dampak negatif, dampak ini menurut Fahruddin Faiz dalam kajian tersebut terbagi menjadi: kedangkalan, keriuhan, kegemukan, ketelanjangan, kengawuran, dan kengeyelan. Untuk menjawab kegelisahan yang diuraikan di atas, penulis akan memfokuskan pembahasan pada poin ketiga, yakni kegemukan.
Kegemukan yang dimaksud di sini adalah kegemukan informasi / banjir informasi. Jangan dikira bahwa kegemukan informasi, mengetahui banyak informasi dari berbagai arah merupakan sesuatu yang baik. Karena tentu saja, informasi yang tersedia di media sosial sangat variatif. Adakalanya memang informasi benar-benar dibutuhkan oleh seseorang, namun adakalanya juga informasi yang tersedia berupa hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan, bahkan tidak layak untuk dikonsumsi.
Hal ini biasa terjadi dalam aktivitas beberapa pengguna media sosial, di mana konten yang didapatkan lebih banyak dihasilkan dari scrolling media sosial. Berbeda dengan searching di mana konten yang tersedia berdasarkan apa yang pengguna cari, scrolling menyediakan konten acak yang berdasarkan algoritma. Artinya, mereka yang menggunakan tidak ada tujuan yang jelas untuk mencari konten tertentu, yang menyebabkan mereka banyak mendapatkan informasi yang tidak seharusnya. Dalam konteks semacam ini, Fahruddin Faiz menyatakan bahwa sebenarnya seseorang dalam memperoleh informasi hanya butuh “cukup”, karena kalau seseorang terlalu banyak informasi maka pikirannya akan dihadapkan dengan berbagai hal yang tidak relevan dengan apa yang sebenarnya seseorang butuhkan.
Akibatnya, pikiran seseorang akan mudah terdestruksi ke berbagai hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Hal tersebut kemudian menjadikan orang tersebut alih-alih menjadi lebih baik, justru akan semakin bingung karena banyak memikirkan atau membicarakan hal-hal yang tidak penting. Misalnya tentang gosip selebriti, orang yang tidak menyaring informasi maka akan mudah menerima hal-hal seperti, dia tahu banyak tentang aib dari para selebriti, seperti si A sedang selingkuh, si B sedang cerai karena KDRT. Hal-hal tersebut memang informasi, namun relatif tidak layak untuk dikonsumsi, meski ada maslahatnya, namun sisi negatif yang didapatkan lebih banyak.
Dari penjelasan Fahruddin Faiz di atas bisa disimpulkan bahwa untuk menghadapi fenomena bertebarnya informasi di media sosial ini, tidak selayaknya semua konten dikonsumsi. Karena memang sebenarnya fokus pikiran manusia itu terbatas, tidak semua jenis informasi yang bisa dikatakan hampir tak terbatas tertampung dalam kemampuan fokus yang terbatas. Maka dari itu, penggunaan media sosial harus disertai dengan penjaringan informasi yang lebih cermat.
Penulis: Fazal Haq (Mahasiswa Ilmu Hadis UIN Sunan Ampel Surabaya)