Blog Keislaman Munakahat

Pandangan Islam terhadap Kesetaraan Gender dalam Bingkai Pernikahan dan Keluarga

Avatar
  • April 25, 2024
  • 5 min read
  • 55 Views
Pandangan Islam terhadap Kesetaraan Gender dalam Bingkai Pernikahan dan Keluarga

Selama dua dekade terakhir, kesetaraan gender menjadi topik perdebatan yang hangat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pandangan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk peran mereka dalam ruang publik yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki menjadi tren yang tidak bisa diabaikan. Isu ketidakadilan gender tercermin dalam berbagai bentuk marginalisasi dan subordinasi perempuan di berbagai sektor kehidupan, bahkan hingga tingkat kekerasan terhadap perempuan.

Ketidakadilan terhadap perempuan sering kali dimulai dari lingkungan keluarga, misalnya diskriminasi terhadap anggota keluarga perempuan dibandingkan dengan anggota keluarga laki-laki. Salah satu contohnya adalah prioritas pendidikan anak laki-laki di atas anak perempuan. Bias gender juga terlihat dalam pengambilan keputusan keluarga yang seringkali tidak melibatkan perempuan. Pun, misalnya kekerasan terhadap pasangan terkadang menjadi indikasi munculnya patriarki. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ketidaksetaraan gender salah satunya berasal dari lingkungan keluarga.

Namun, saat ini, seluruh dunia aktif mendesak untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Indonesia, sebagai salah satu negara yang terlibat, telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) melalui UU No. 7 Tahun 1984. Dalam upaya untuk menguatkan kesetaraan, perhatian khusus diberikan pada hukum pernikahan Islam.

Hukum pernikahan Islam menjadi sorotan karena beberapa ketentuannya masih dianggap tidak memperlakukan perempuan dengan setara seperti laki-laki. Tantangan ini mengundang pertanyaan apakah aturan-aturan perkawinan dalam Islam sesuai dengan prinsip-prinsip Al-Quran yang menghormati martabat manusia. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipahami posisi perempuan dan laki-laki dalam Islam sebelum kembali mempertimbangkan aturan-aturan perkawinan, terutama yang berkaitan dengan peran wali dan saksi dalam perkawinan.

Kedudukan perempuan sebagai subjek hukum adalah aspek penting dalam Islam. Subjek hukum adalah individu yang dianggap mampu untuk bertanggung jawab atas perbuatan mereka, baik yang berkaitan dengan perintah maupun larangan Allah. Dalam Islam, setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang harus dipertimbangkan, dan konsekuensi dari tindakan tersebut akan mengikuti perintah dan larangan Allah. Jika seseorang melaksanakan perintah Allah, mereka akan mendapatkan pahala, dan jika melanggar larangan-Nya, mereka akan mendapat sanksi.

Dari perspektif subjek hukum dalam Islam, kriteria penilaian atas perbuatan seseorang mencakup pemahaman terhadap kitab Syari’ (hukum Islam), status dewasa, serta kesadaran dan kebenaran. Yang perlu ditekankan adalah bahwa tidak ada perbedaan antara kemampuan hukum laki-laki dan perempuan. Selama semua persyaratan tersebut terpenuhi, setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin, dianggap memiliki kapasitas hukum yang sama. Mereka dapat memiliki dokumen hukum yang sah sebanyak yang diperlukan. Kesetaraan ini juga ditemukan dalam Al-Quran dan Sunnah. Berbagai ayat dan hadits yang berhubungan dengan asal usul penciptaan, hukum, keadilan, dan kesetaraan, semuanya menunjukkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam. Meskipun demikian, terdapat ketidakadilan terhadap perempuan yang muncul dari beberapa rumusan hukum dalam Al-Quran.

Pada khususnya, isu ketidakadilan seringkali terkait dengan hukum keluarga, terutama dalam hal wali perkawinan dan pembagian harta warisan. Mengapa hal ini terjadi? Menurut pandangan Abu Zayd, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah salah satu tujuan utama dalam ajaran Al-Quran. Namun, karena Al-Quran diwahyukan kepada masyarakat yang memiliki perbedaan gender sebagai bagian dari sistem budaya dan sosial mereka, maka wajar jika perbedaan tersebut tercermin dalam Al-Quran.

Dalam Islam, pernikahan adalah institusi penting yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Melalui pernikahan, keluarga dan keturunan yang sah dapat terbentuk. Penting untuk dipahami bahwa sebelum datangnya Islam, sistem sosial di masyarakat Arab umumnya bersifat patrilineal. Artinya, keturunan dan warisan lebih banyak terkait dengan garis keturunan laki-laki.
Namun, Islam membawa perubahan signifikan dalam pandangan dan praktik sosial masyarakat Arab. Dalam Islam, pernikahan dan perceraian memiliki batasan yang jelas, dan perempuan memiliki hak-hak warisan yang diakui. Tidak lagi ada praktik pembunuhan anak perempuan karena dianggap sebagai sumber malu bagi keluarga. Untuk memahami Islam dengan benar, penting untuk memahami posisi Nabi Muhammad sebagai penyalin Al-Quran. Al-Quran sendiri menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir yang diutus untuk seluruh manusia dan alam semesta. Konsekuensinya, ajaran yang dibawanya harus relevan sepanjang waktu dan dapat diterapkan di semua tempat.

Dalam hadis-hadis yang dibawa oleh Nabi Muhammad, kita dapat membedakan dua jenis nash, yaitu nash normatif-universal dan nash praktis-temporal. Nash normatif-universal memiliki ajaran yang bersifat universal, prinsipil, dan tidak terikat oleh konteks waktu, tempat, atau situasi tertentu. Sedangkan nash praktis-temporal bersifat detail, rinci, dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terkait dengan konteks tertentu.

Dalam konteks pernikahan, nash normatif-universal dalam Islam menganggap perempuan setara dengan laki-laki. Namun, dalam beberapa kitab hukum praktis dan sekuler yang menjadi pedoman dalam pernikahan, terkadang terlihat ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Contohnya, ada kitab-kitab yang berpendapat bahwa perkawinan bisa dilakukan tanpa izin wali, dan yang cukup menjadi wali hanyalah perempuan yang sudah dewasa dan berakal sehat.

Selain itu, dalam kasus perceraian, hukum Islam menetapkan bahwa jika pasangan yang bercerai memiliki anak yang masih kecil, anak tersebut akan tinggal bersama ibunya hingga mencapai usia tertentu (biasanya 12 tahun), dan ayahnya wajib memberikan dukungan finansial untuk anak tersebut.
Dengan demikian, Islam membawa perubahan positif dalam posisi perempuan dan hak-hak mereka, namun praktik sosial dalam beberapa kasus belum selalu mencerminkan kesetaraan gender yang diharapkan dalam ajaran Islam.

Pandangan Islam tentang kesetaraan gender dalam pernikahan dan keluarga adalah topik penting yang mencerminkan perubahan signifikan dalam praktik sosial masyarakat Arab sebelum Islam. Dalam perjalanan sejarah, Islam membawa perubahan positif dengan mengakui hak-hak perempuan dalam pernikahan, melarang praktik pembunuhan anak perempuan, dan menetapkan batasan dalam pernikahan dan perceraian. Namun, dalam praktiknya, terdapat ketidaksetaraan gender yang masih ada dalam beberapa aspek hukum pernikahan. Untuk memahami pandangan Islam dengan benar, perlu memahami posisi Nabi Muhammad sebagai penyalin Al-Quran, yang mengharuskan ajaran Islam untuk tetap relevan sepanjang waktu. Oleh karena itu, isu kesetaraan gender dalam Islam merupakan bagian penting dari perdebatan yang berlangsung di seluruh dunia saat ini.

Avatar
About Author

amelia mahmud

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *