Blog Opini

Memaklumatkan Agama Melalui Media

  • April 14, 2023
  • 3 min read
  • 104 Views
Memaklumatkan Agama Melalui Media

Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih dikenal dengan Gus Baha menjadi sangat populer beberapa tahun belakangan ini. Gus baha merupakan sosok yang sangat ‘alim, terutama dalam pengetahuan agama. Banyak kalangan mengakui kealiman beliau. Selain sangat mumpuni dalam ilmu fikih, beliau juga sangat menguasai ilmu tafsir dan ilmu-ilmu lainnya. Wajar saja, selain hafal quran, beliau juga seorang yang sangat gemar membaca.

Gus Baha juga sosok ulama yang sangat tawadhu, meski terkadang, Gus Baha menunjukkan “kesombongannya”. Gus Baha sering membandingkan ilmunya, bahkan terkesan suka menantang untuk adu ilmu agama. Namun harus dipahami, apa yang dilakukan Gus Baha tentu saja bukan dalam arti “sombong” yang sesungguhnya, bukan juga bahwa beliau sosok yang takabur.

Menurut Gus Baha, “sombong” itu kadang diperlukan. Dalam arti, kita harus mau menunjukkan atau memaklumatkan kelebihan kita (dalam hal ilmu). Beliau mencontohkan Nabi Yusuf, yang juga memaklumatkan kelebihannya dengan mengatakan “innī ḥafīẓun ‘alīm”. Demikian juga dengan Nabi Sulaiman yang mengatakan “wa utina min kulli syai’in”

Mengapa orang ‘alim harus memaklumatkan keilmuannya? Sebab kalau tidak, kata Gus Baha, justru orang yang tidak pernah ngaji yang akan memaklumatkan dirinya sebagai ahli agama, merasa paling tahu Islam bahkan menjadi marhalul al-rizal.

Ini yang beliau khawatirkan. Apa jadinya seandainya umat ini mendapat ilmu dari orang yang tidak kredibel, tidak berilmu? Itu sebabnya, beliau sering mengajak santrinya atau siapapun untuk memaklumatkan keilmuannya jika memang benar-benar berilmu. Sehingga umat benar-benar bisa belajar agama dari ahlinya.

Ini tentu sangat relate dengan kehidupan beragama kita saat ini. Apa yang menjadi kekhawatiran Gus Baha dan mungkin sebagian dari kita sudah terjadi di depan mata. Saat ini, kita bisa melihat dan menyaksikan, ada banyak orang yang tiba-tiba menjadi ustaz. Fenomena ini banyak ditemukan, terutama di sosial media, seperti youtub, instagram, facebook dan sebagainya.

Tidak sedikit orang yang dianggap ustaz, tapi sebenarnya tidak memiliki dasar ilmu agama yang mumpuni. Hanya berbekal kepiawaiannya dalam mengolah kata, mengutip satu dua ayat atau hadits, orang bisa mendaku dan didaku sebagai seorang ustaz. Menariknya, sebagian masyarakat kita tidak pernah mempersoalkan latar belakang sosok ustaz seperti itu. Ini tentu sangat berbeda dengan tradisi pesantren, di mana sanad ilmu itu perlu. Sehingga memilih sosok guru, ustaz atau kyai menjadi hal yang sangat penting.

Pada dasarnya, berdakwah merupakan hak siapa saja dan tidak ada yang bisa melarang. Namun ketika pendakwahnya saja tidak memahami pokok-pokok ajaran agamanya, bagaimana nanti umatnya? Di sisi lain, terdapat ustaz yang hafal banyak ayat dan hadits, tapi pendekatan dakwahnya terlalu keras, mudah membidahkan, mengkafirkan, menyesatkan kelompok lain yang tidak sepaham, maka itu juga tidak dapat dibenarkan.

Terlepas dari itu semua, media sosial kita bukan hanya dijejali oleh konten hiburan, tapi juga penuh dengan narasi dan wacana keagamaan. Di media sosial juga, terjadi ‘perang’ untuk saling berebut otoritas keagamaan. Maka, untuk mengimbangi para ‘ustaz dadakan’ dan ustaz yang mudah membidahkan dan mengkafirkan, diperlukan lebih banyak orang ‘alim yang juga aktif menyuarakan ajaran Islam melalui media. Kita butuh lebih banyak sosok pendakwah yang benar-benar berilmu dan menunjukkan wajah Islam yang ramah, santun, penuh cinta kasih dan terbuka pada perbedaan.

Kehadiran sosok Gus Baha, terutama di berbagai media sosial menjadi salah satu angin segar, sekaligus menjawab kekhawatiran tentang ‘matinya kepakaran’. Gus Baha menjadi salah satu bukti bahwa pakar belum ‘mati’ dan masih banyak masyarakat yang lebih percaya pada pakar.

Kita butuh lebih banyak pakar-pakar agama seperti Gus Baha yang muncul di media. Semoga lebih banyak ahli agama yang terbuka dan mau memaklumatkan ilmunya, sehingga persoalan agama kembali kepada orang yang memiliki otoritas sesungguhnya.

About Author

Didin Wahyudin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *