Memahami Makna Hadis Matahari Bersujud
Menipisnya batas antara konsumen informasi dengan sumber informasi membuat dunia ini kian terbuka. Termasuk di dalamnya informasi tentang pengetahuan. Tak jarang, pengetahuan yang begitu deras berdampak pada keraguan, bahkan terhadap teks-teks keagamaan. Dari Alquran hingga hadis Nabi Muhammad Saw.
Salah satu hadis yang jadi bahan kritikan keras dari pengetahuan masa kini ialah hadis tentang matahari bersujud. Jika dilihat dari sisi sanad, hadis ini bisa dikatakan cukup valid karena diriwayatkan oleh para muḥaddithin yang kredibel semisal al-Bukhari, al-Nasā’i, Ibn Ḥibbān, dan sejumlah muḥaddith yang lain.
Berikut adalah teks hadis dari Al-Bukhari:
Diriwayatkan dari Abū Dzar r.a., “Saya bersama Rasulullah Saw. di dalam masjid saat matahari terbenam. Beliau berkata, ‘Ya Abu Dzar, apakah kamu tahu ke mana matahari terbenam?’ Saya menjawab, ‘Allah dan Rasulnya yang lebih tahu.’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya matahari pergi hingga bersujud di bawah ‘Arsyi. Maka itulah (yang dimaksud dengan) firman Allah Swt. ‘Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
Jika hadits tersebut dipahami dengan apa adanya, maka akan bertentangan dengan teori pengetahuan astronomi pada zaman sekarang. Di mana, matahari bukan mengelilingi Bumi, tapi bumi yang mengelilingi matahari. Pengetahuan informasi demikian dapat dipahami bahwa matahari tidak mempunya tenggelam dan terbit. Matahari hanya berjalan mengorbit pada pusat Galaksi Bima Sakti (Milky Way).
Lalu ke mana Matahari pergi? Jawabannya adalah tidak ke mana-mana. Tidak tampak juga matahari bersujud sebagaimana yang Rasulullah sabdakan. Hal ini dikarenakan, ketika matahari dari satu sisi terbenam, dia akan terbit di belahan bumi yang lain.
Lalu bagaimana kita bersikap atas hadis tersebut?
Sebenarnya memahami hadis ini bergantung kepada keputusan yang ada dalam diri kita masing-masing. Mengingat umat Islam cenderung terbelah dalam memahami hadis-hadis yang mushkil (sulit dipahami) semacam ini.
Sebagian umat Islam memilih untuk mempercayai hadis ini apa adanya. Akibatnya yang bersangkutan tetap kekeh dengan pemahaman Bumi itu adalah datar dan Matahari beredar mengelilingi Bumi. Dengan memegang pemahaman Bumi Datar (Flat Earth), hadis ini dapat dipahami apa adanya tanpa repot dengan interpretasi apa pun. Tapi sampai kapan umat Islam yang demikian akan bertahan dan terus mengisolasi diri dari pengetahuan?
Sebagian besar umat Islam yang lain menganggap perlunya takwil baru atas hadis ini. Takwil baru yang dimaksud di sini ialah dengan memberikan takwil terhadap kata sujud yang terdapat dalam hadis tersebut. Sesuai dengan arti katanya, sujud mempunyai arti al-khuḍū’ dan al-inqiyād. Kedua kata tersebut mempunyai arti yang berbeda meskipun mempunyai tujuan akhir yang sama, taat.
Al-Khuḍū’ memiliki makna memasrahkan diri, dan menghilangkan rasa besar hati yang mendekam dalam hati, serta mengabaikan rasa keengganan untuk taat kepada makhḍū’ (yang dipatuhi). Kata kedua, al-inqiyād mempunyai arti ketaatan dengan mengerjakan segala perintah dan menghindarkan diri dari segala perkara yang dilarang.
Maka, makna matahari bersujud tidak dimaknai dengan keadaan Matahari yang dengan digambarkan apa adanya sedang bersujud kepada Allah Swt., melainkan keadaan Matahari yang selalu taat kepada Penciptanya.
Hal ini selaras dengan ilustrasi yang digambarkan oleh Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Ibn Ḥibbān dalam Ṣaḥīḥ–nya, “… sehingga sampai ke bawah Arsy di samping Tuhannya, kemudian Matahari meminta izin, dan izin diberikan kepadanya. Dan dia kemudian meminta izin, tetapi dia tidak diberi izin, dan dia meminta syafaat dan bertanya, dan jika itu jika demikian, dia diberitahu, “Terbitlah dari tempatmu.” (Sahih Ibn Hibban: 6154)
Setidaknya pandangan itulah yang banyak mewarnai, umat Islam saai ini. Di samping ada sikap lain terhadap hadis ini. Sikap pasrah dengan hanya mengatakan, “Wallah a’lam.” (Hanya Allah yang tahu). Sikap yang bisa dikatakan bijak yang bisa berarti memisahkan diri dari perdebatan, bahkan bisa juga dimaknai dengan sikap yang sekuler.
Ketiga sikap itu masih ada, dan berada di sekitar kita. Sebagai seorang hamba, kita hanya mampu berikhtiar, memilih, memutuskan, kemudian bertawakal. Mau apa lagi?