Implikasi Primordialisme Chauvinisme Kesukuan Terhadap Perkembangan Hadis
Primordialisme oleh Robuskha didefinisikan sebagai sebuah sikap loyalitas berlebihan dalam dimensi subnasional seperti keluarga, suku, agama dan budaya. Sikap loyalitas dan cinta terhadap asal historis merupakan hal yang wajar dimiliki seseorang asalkan tidak memandang rendah golongan yang berbeda dengannya. Namun sikap primordialisme di kemudian hari diikuti dengan sikap chauvinisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah chauvinisme didefinisikan sebagai sikap fanatik yang berlebihan sehingga sifat yang awalnya dipandang sebagai hal positif berbeda dengan selanjutnya. Dewasa ini sifat chauvinisme lebih dipandang sebagai sifat fanatik yang kemudian berimplikasi pada pandangan rendah terhadap golongan yang berbeda dengannya.
Sikap Primordialisme dan Chauvinisme mayoritas hampir dimiliki setiap kelompok tak terkecuali para Tabi’in di masanya. Idri dalam bukunya berjudul Problematika Autentisitas Hadis Nabi dari Klasik hingga Kontemporer menyatakan bahwa sikap seperti ini sudah mempengaruhi Tabi’in dan Tabi’ At Tabi’in di masanya. Akibatnya hal ini berimplikasi pada beberapa aspek termasuk di dalamnya adalah aspek keilmuan, sosial, dan stabilitas keamanan. Sikap Primordialisme yang seharusnya berimplikasi positif terhadap semangat menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan dalam menjaga stabilitas keamanan justru berbalik arah. Implikasi negatif mulai terlihat mulai dari perpecahan antar personal, tidak obyektifnya studi keilmuan termasuk juga pemalsuan hadis Nabi.
Dijelaskan dalam buku itu pula bahwa fanatik kesukuan menjadi salah satu pemicu terjadinya pemalsuan hadis. Bagaimana tidak, di masa Bani Umayyah terjadi klasifikasi strata yang secara tidak langsung mengunggulkan golongan atas dan mengerdilkan golongan bawah. Arab pada saat itu dianggap dan dijadikan sebagai kaum teratas maka penghormatan dan segala fasilitas memadai diperuntukkan untuk orang Arab. Berbeda dengan orang selain arab (Ajam) yang tidak mendapatkan fasilitas dan perhatian khusus dari Khalifah, pun dalam strata sosial kelompok ini dipandang sebagai golongan nomor dua yang tidak berhak menerima fasilitas dan pelayanan memadai seperti kelompok pertama.
Hal ini akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial yang berdampak pada budaya saling menjatuhkan dan menindas. Beberapa ulama masyhur di kedua kelompok ini imannya tidak kuat, hingga akhirnya terjadilah sebuah gerakan pemalsuan hadis yang diinisiasi adanya kecemburuan sosial. Kelompok Persia misalnya menciptakan hadis yang isinya menyatakan bahwa “Bahasa yang digunakan penduduk Arsy adalah bahasa Persia”. Hadis ini kemudian dijawab dengan pemalsuan hadis pula yang isinya menyerang hadis tadi. “Sesungguhnya bahasa yang paling dibenci Allah adalah bahasa Persia”. Beginilah implikasi fanatisme kesukuan terhadap peradaban hadis. Hadis yang seharusnya murni sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw dinodai dengan kepentingan pribadi dan kesukuan hingga akhirnya menerjang hukum yakni dengan memalsukan hadis.
Tradisi seperti ini terus berjalan di era kepemimpinan Bani Umayyah. Namun pada saat khalifah Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah dengan tegas beliau memerangi dan melibas habis pelaku serta tradisi pemalsuan hadis. Kondisi baik tersebut tidak berlangsung lama karena pasca kewafatan beliau tradisi menindas satu dengan lainnya dengan model pembuatan hadis palsu terjadi kembali dan bahkan makin marak. Semoga peristiwa seperti ini tidak terulang lagi di kemudian hari.