
“Beragama di era digital saat ini, tidak hanya sekedar mengganti kitab dengan e-book, atau ceramah dengan podcast. Saat ini, kita butuh kesalehan digital, yakni kesalehan yang tidak hanya sekedar ritualistik saja, tetapi juga etis dan sosial. Dalam hal ini, menjaga jari-jemari kita dalam bermedia sosial berarti menjaga lisan dalam bentuk baru. Sebab, saat ini keyboard adalah lisan dalam bentuk baru di zaman ini.”
Fitnah Digital dan Lenyapnya Kesadaran
Setiap tanggal 10 Juni diperingati sebagai Hari Media Sosial (Hari Medsos) Indonesia. Alih-alih sekedar menjadi ajang nostalgia digital, semestinya Hari Medsos menjadi refleksi kritis bagi kita bersama, yakni “ke mana arah kita bermedia sosial?”.
Media sosial saat ini bukan lagi berfungsi sebagai ruang berbagi cerita saja, melainkan telah berubah fungsi menjadi medan perang wacana, ajang pembunuhan karakter, penyebaran konten yang berisi narasi adu domba, bahkan penyebaran fitnah yang terselubung. Saat ini, fitnah digital merupakan bagian dari ujian akhir zaman yang tak bisa dihindari.
Sayangnya, di tengah riuhnya swipe up, scroll down, dan clickbait tersebut, banyak orang yang terlena dibuatnya. Jari-jemari mereka tetiba menari dengan lentik di atas layar ponsel. Mereka begitu cepat membagikan konten tanpa sempat bertanya atau merefleksi dalam diri, “Apakah ini benar?”, “Apa dampaknya nanti?”, atau “Apakah ini akan membawa kebaikan?”.
Zaman ini disinyalir oleh para ulama sebagai bagian dari fitnah akhir zaman, yakni sebuah fase sejarah yang ditandai dengan merebaknya kebohongan, kekacauan informasi, dan juga kaburnya batas antara kebenaran dan juga kepalsuan.
Kesibukan dalam mengonsumsi dan memproduksi informasi ini, sering kali membuat kita lupa bahwa semestinya agama dapat menjadi pelita dalam gelapnya arus digital. Siapa pun, bahkan orang-orang yang dikenal saleh sekalipun, juga tak luput dari jeratan algoritma media sosial yang kerap kali menyuguhkan informasi yang berbasis emosi, bukan logika dan etika.
Di tengah derasnya arus digital yang semacam ini, ajaran Islam tentang tabayyun (klarifikasi) rupanya tampak memudar. Padahal, dalam konteks dunia digital, tabayyun bukan hanya sekedar sikap, tetapi benteng akhir bagi kesalehan seseorang.
Era Post-Truth: Tsunami Informasi dan Krisis Kebenaran
Dalam tinjauan filosofis, saat ini kita tengah memasuki era post-truth, era di mana emosi dan opini personal lebih dipercaya ketimbang fakta objektif, dan kebenaran dikaburkan oleh narasi yang sedang viral. Konsep ini dikembangkan oleh Ralph Keyes dalam bukunya yang berjudul The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (2004), yang kemudian menjadi topik perbincangan utama dalam diskursus pasca 2016, terutama pasca Brexit dan Pilpres Amerika.
Di era ini, media sosial menjadi wadah yang bebas bagi setiap orang untuk berbagi opini, spekulasi, bahkan rekayasa kebenaran. Tidak heran jika isu-isu panas yang berkembang saat ini, seperti ijazah palsu, skandal pejabat, atau polemik haji, kerap kali tidak dicari kejelasannya, melainkan ditelan mentah-mentah secara emosional.
Dalam konteks ini, media sosial menjadi lahan subur bagi lahirnya disinformasi. Kondisi ini kemudian diperburuk dengan adanya algoritma media sosial yang menciptakan echo chambers (apa yang ingin kita dengar) yang hanya menyajikan konten yang mengukuhkan pandangan pengguna, bukan malah menantangnya untuk tabayyun dengan melihat konten dari perspektif yang lain. Dari sinilah akhirnya lahir kepastian semu, yakni meskipun satu pihak benar secara data, tetapi ia tetap terdorong untuk percaya karena konten yang serupa berkali-kali dihadirkan.
Filsuf Plato dalam bukunya yang berjudul “Republik” mengingatkan kepada kita bahwa masyarakat sering tertipu oleh bayang-bayang kebenaran (simulacra) (Mikhail Bakunin, 2020). Dalam dunia digital, apa yang dikatakan Plato ini sangat relevan, yakni apa yang viral seolah-olah menjadi yang benar, meskipun sebenarnya tidak benar.
Sementara itu, filsuf Prancis Jean Baudrillard, sebagaimana yang dilansir dalam https://lsfdiscourse.org/ menyebut dunia ini sebagai “hyperreality”, yakni realitas semu yang dibentuk oleh simbol dan simulasi. Saat ini, kita sedang hidup di era ini, yakni mengonsumsi citra, bukan kebenaran.
Pada titik inilah keberagamaan kita saat ini sedang diuji. Apakah kita masih mampu menjaga akal dan hati kita agar tidak mudah tertipu oleh narasi yang dibungkus dengan bumbu ideologi, politik, maupun fanatisme? Oleh karena itu, sebagai orang yang beriman kita perlu untuk mengembalikan kebenaran sebagai orientasi dalam hidup, bukan hanya sekedar konsumsi informasi saja.
Tabayyun sebagai Etika Siber: Perspektif Fikih
Dalam pandangan fiqih, penyebaran informasi tanpa verifikasi merupakan dosa besar. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT:
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِنۡ جَآءَكُمۡ فَاسِقٌ ۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوۡۤا اَنۡ تُصِيۡبُوۡا قَوۡمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصۡبِحُوۡا عَلٰى مَا فَعَلۡتُمۡ نٰدِمِيۡنَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al-Hujurat: 6)
Agama Islam juga mengajarkan bahwa setiap anggota tubuh kita suatu saat nanti akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Surah An-Nur ayat 24, sebagai berikut:
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Artinya: “ Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Q.S. An-Nur: 24)
Dari ayat tersebut, kita bisa merefleksi bersama, bagaimana dengan jari-jari yang begitu lincah mengetik dan membagikan informasi tanpa pikir panjang?
Tantangan di era digital ini telah mulai direspon oleh Fiqih kontemporer. Ulama seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi (sebagaimana dilansir dalam https://arrahim.id/) dan lembaga-lembaga fatwa di Timur Tengah maupun Indonesia telah mengingatkan bahwa menyebarkan konten hoaks adalah termasuk dalam kategori ghibah, namimah, dan bahkan buhtan (fitnah yang fatal). Maknanya bahwa menyebar konten bohong melalui WhatsApp, Twitter, TikTok atau media sosial lainnya bukanlah hal yang remeh, hal ini bisa berdampak pada kezaliman sosial yang dapat meruntuhkan martabat individu maupun masyarakat.
Dua tujuan utama syari’at dalam maqashid al-syari’ah adalah menjaga akal (hifzh al-‘aql) dan menjaga kehormatan (hifzh al-‘ird). Oleh karena itu, maka penyebaran informasi yang dapat merusak rasionalitas masyarakat serta menodai reputasi seseorang dianggap bertentangan dengan misi dasar agama. Sayangnya, hanya sedikit orang yang menyadari bahwa membagikan tautan (link) informasi yang belum diverifikasi kebenarannya bisa menjadi dosa berjamaah di zaman ini.
Tabayyun sebagai Praktik Spiritual dan Etika Sosial
Para ulama menegaskan bahwa tabayyun merupakan sikap dasar dalam menerima informasi, terutama dari sumber yang tidak kredibel. Dalam hal ini, Tabayyun bukan hanya sebuah tindakan klarifikasi saja, tetapi hakikatnya juga sebuah laku spiritual.
Tindakan tabayyun menuntut kesabaran, kebijaksanaan, dan akhlak yang mulia dari seseorang yang melakukan tabayyun. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 6, Allah memerintahkan: “Jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti…”. Ayat ini sesungguhnya bukan hanya sekedar ayat fiqhiyah, tapi juga sebuah instruksi untuk membangun masyarakat yang adil dan rasional.
Surat Al-Hujurat ayat 6 tersebut sebenarnya bukan hanya berlaku dalam konteks zaman Nabi saja, tetapi juga sangat relevan untuk perkembangan media sosial hari ini. Saat ini, berita bisa saja tersebar dalam hitungan detik dan bahkan fitnah bisa saja menjalar lebih cepat dari pada cahaya.
Dalam konteks perkembangan media sosial, tabayyun dapat berfungsi sebagai social filter yang mampu menyaring informasi agar dampaknya tidak merugikan orang lain. Hal ini harus menjadi sebuah kesadaran kolektif, bukan hanya kesadaran individual saja. Selain itu, tabayyun juga bisa dimaknai sebagai bentuk muraqabah digital, yakni sebuah kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap klik, unggahan, dan juga komentar kita di media sosial.
Bermedia sosial seharusnya menjadi ruang riyadhah (latihan spiritual), sebagaimana puasa mendidik manusia menahan diri dari hawa nafsu. Tujuannya adalah agar kita terbiasa memilih diam ketika menerima informasi yang belum jelas, memilih menahan ketika sedang emosi, dan juga memilih menyebar kebaikan di tengah konflik di media sosial.
Membangun Kesalehan Digital: Dari Literasi ke Nurani
Beragama di era digital saat ini, tidak hanya sekedar mengganti kitab dengan e-book, atau ceramah dengan podcast. Saat ini, kita butuh kesalehan digital, yakni kesalehan yang tidak hanya sekedar ritualistik saja, tetapi juga etis dan sosial. Dalam hal ini, menjaga jari-jemari kita dalam bermedia sosial berarti menjaga lisan dalam bentuk baru. Sebab, saat ini keyboard adalah lisan dalam bentuk baru di zaman ini.
Kesalehan digital, sebagaimana yang dilansir dalam https://is.uad.ac.id/ adalah kemampuan menghadirkan nilai-nilai Islam, yakni shidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), dan iffah (menjaga diri) dalam aktivitas bermedia sosial. Kesalehan ini merupakan bentuk kontemporer dari muraqabah (kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi).
Kesalehan digital bukan hanya sebatas kemampuan kita dalam memilah informasi atau menjaga privasi daring saja, tetapi juga menghadirkan nilai-nilai moral dan spiritual dalam setiap interaksi digital di dunia maya. Jika literasi digital menekankan pada kemampuan teknis dalam memahami dan menggunakan teknologi secara bijak, maka kesalehan digital menuntut lebih dalam, yakni bagaimana membumikan nurani dalam setiap klik, unggahan, dan komentar kita.
Saat ini, fenomena penyebaran hoaks, ujaran kebencian, perundungan siber, bahkan polarisasi sosial-politik makin tajam di media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa literasi saja tidak cukup. Ketika Orang-orang pintar yang fasih dalam bermedia sosial kehilangan panduan etika dan spiritualnya, maka mereka bisa menjadi pelaku kejahatan digital. Oleh karena itu, di sinilah letak pentingnya bermedia sosial melampaui literasi menuju nurani, yakni menumbuhkan kesadaran dalam diri bahwa setiap tindakan digital kita membawa tanggung jawab moral.
Membangun kesalehan digital berarti menolak segala viralitas yang semu dan mengedepankan etika dalam setiap aktivitas daring. Hal ini sangat relevan dengan konsep tazkiyatun nafs (pensucian jiwa) di dalam tasawuf, yang mengajarkan bahwa lisan (termasuk jari-jemari kita hari ini) merupakan cerminan dari hati kita. Jika hati kita bersih, maka media sosial akan digunakan untuk menyebarkan ilmu, kasih sayang, dan juga dakwah yang sejuk.
Kesalehan digital sejatinya merupakan jalan tengah antara iman dan teknologi. Dalam hal ini, kesalehan digital bukan berarti sikap anti-gadget, tetapi sebuah usaha untuk menyalakan cahaya batin di dalam ruang-ruang digital yang gelap.
Dalam konsep Islam, sikap ihsan mengajarkan kepada kita bahwa Allah senantiasa melihat manusia, bahkan saat manusia bersembunyi di balik layar sekalipun. Oleh karena itu, kesalehan digital menuntut hadirnya kesadaran akan pengawasan Ilahi dalam setiap aktivitas daring.
Membangun kesalehan digital artinya membentuk budaya daring yang penuh dengan adab, bersikap santun dalam perbedaan, serta rendah hati dalam berinteraksi. Hal ini merupakan tugas kita bersama, mulai dari keluarga, sekolah, lembaga keagamaan, dan juga pemerintah. Semua harus bersinergi dengan baik dalam menanamkan nilai-nilai adab digital sejak dini. Sebab, di era ini, dakwah dan dosa bisa sama-sama menyebar dalam satu klik saja. Oleh karena itu, mari kita upayakan agar tidak hanya cerdas digital, tapi juga saleh digital, karena sejatinya di balik layar, nurani kita sedang diuji.
Selamat Hari Media Sosial… !!!!
Penulis: Lailatuzz Zuhriyah (Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)