Agama Keislaman Muamalat Opini

Laut Adalah Amanah: Seruan Ekoteologi Islam untuk Menjaga Ekosistem Bahari

  • June 8, 2025
  • 8 min read
  • 325 Views
Laut Adalah Amanah: Seruan Ekoteologi Islam untuk Menjaga Ekosistem Bahari

Hari Laut Sedunia mengingatkan kita bahwa ekoteologi tidak boleh hanya berhenti di ruang seminar dan penanaman pohon secara simbolik saja. Dalam perspektif Islam, menjaga laut adalah bagian dari ibadah, karena laut adalah ciptaan Allah yang menjadi sumber kehidupan. Perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) memiliki amanah moral dan spiritual untuk menjadikan ekosistem bahari sebagai bagian dari agenda akademik, baik melalui penelitian, pengabdian kepada masyarakat di wilayah pesisir, hingga pengembangan kurikulum berbasis ekoteologi. Menjaga laut berarti menjaga kehidupan, bukan hanya bagi ikan dan karang, tapi juga bagi masa depan umat manusia.”

Hari Laut Sedunia: Urgensi Peran Muslim sebagai Khalifah

Hari Laut Sedunia diperingati setiap tanggal 8 Juni. Hari ini diperingati sebagai momentum global untuk menyoroti kondisi ekosistem laut yang sedang tidak baik-baik saja, mulai dari polusi plastik, overfishing, hingga degradasi terumbu karang.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang dikelilingi oleh laut, memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap laut, baik dari segi pangan, iklim, maupun budaya. Namun, di tengah kompleksitas ancaman terhadap kelestarian laut tersebut, kita ditutntut agar bersikap proaktif dan saling bahu membahu menjaga kelestariannya, tidak hanya aksi sporadis dan tidak berkelanjutan.

Dalam Islam, manusia diberi mandat oleh Allah sebagai khalifah fi al‑ardh (pengelola amanah bumi), sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Al‑Baqarah: 30:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ

Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”

Berkaitan dengan Hari Laut Sedunia, konsep ini menjadi landasan teologis yang kuat, yakni bahwa menjaga laut bukan hanya sekedar tugas ekologis saja, tetapi juga wujud ibadah dan ketaatan kepada Tuhan. Melalui konsep ini, maka setiap aktivitas kita dalam melindungi kelestarian laut bukan hanya bersifat simbolik, tetapi juga spiritual.

Pemahaman akan aksi pelestarian laut sebagai bagian dari ibadah, akan menjadikan umat Islam menyadari bahwa ibadah memiliki cakupan yang luas. Dalam hal ini, diharapkan umat Islam dapat melihat hubungan manusia dengan alam dalam kerangka spiritualitas Islam, dan menanamkan tanggung jawab atas kelestarian lingkungan dalam setiap aspek kehidupan.

Ekoteologi dalam Kurikulum Agama dan Tantangan Simbolisme

Ekoteologi merupakan kajian yang menggabungkan nilai teologis dan praktik ekologis. Menteri Agama Nasaruddin Umar, sebagaimana dilansir dalam https://dki.kemenag.go.id/ menegaskan perlunya memasukkan ekoteologi dalam kurikulum pendidikan agama dan keagamaan. Dalam hal ini, pelajaran agama tidak hanya membahas tentang ritual dan moral saja, tetapi juga tanggung jawab umat terhadap bumi sebagai manifestasi keimanan.

Praktik ekoteologi di lapangan kerap kali hanya berakhir pada simbolisme. Sebagai contoh, yakni kegiatan menanam pohon sekali waktu tanpa kelanjutan atau evaluasi jangka panjang.

Gerakan ekoteologi, supaya benar‑benar bersifat transformasional, maka harus menyentuh berbagai macam ekosistem, termasuk laut dan wilayah pesisir. Dalam hal ini, laut tidak boleh dilihat sebagai ruang yang netral (yang tidak perlu dijaga), tetapi laut adalah bagian integral dari lingkungan yang wajib dikasihi dan dijaga.

Gerakan ekoteologi harus diperluas jangkauannya hingga ke laut juga. Pesan moral dan spiritual dari gerakan ini dapat diimplementasikan melalui tindakan nyata, seperti: riset ilmiah, pemberdayaan komunitas pesisir, dan kampanye edukasi tentang lingkungan yang berkelanjutan. Melalui implementasi nyata ini, maka setiap riset yang dilakukan dan aksi nyata dalam konservasi laut akan bernilai ibadah dan menjadi manifestasi taqwa serta komitmen terhadap mandat khalifah.

Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), baik negeri maupun swasta, memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi lokomotif ekoteologi yang aplikatif. Kementerian Agama melalui Ditjen Diktis, sebagaimana dilansir dalam https://kemenag.go.id/ telah mendorong integrasi ilmu agama dan sains dalam riset dan pengabdian masyarakat. Program seperti “integrasi keilmuan” dan “KKN Lingkar Kampus” membuka peluang bagi sivitas akademika untuk terlibat langsung dalam pengelolaan lingkungan sekitar kampus.

Selain itu, Agenda Riset Nasional (ARN) PTKI 2025–2029 telah memasukkan tema kemaritiman, dengan 5 sub tema, yakni: penguatan kebijakan maritim dan tata kelola laut, pemberdayaan masyarakat pesisir dan kepulauan, teknologi pemanfaatan sumber daya maritim, konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam maritim berkelanjutan, dan pengembangan industri pariwisata bahari. ARN ini memberikan fondasi akademik bagi PTKI untuk menjalankan riset aplikatif tentang laut.

Sebagaimana dilansir dalam https://kemenag.go.id/, PTKI juga dituntut untuk mentransformasi diri dari universitas berbasis pengajaran (teaching university) menjadi universitas berbasis riset (research university) yang berorientasi pada riset yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Dalam hal ini, laut harus menjadi salah satu fokus riset dan pengabdian, sebagai bentuk nyata dari jihad lingkungan yang berkelanjutan.

Peran PTKI: Dari Kurikulum hingga Arah Riset Konservasi Maritim

PTKI Sebagai institusi yang mengemban misi keilmuan sekaligus keagamaan, memiliki posisi yang strategis dalam membumikan nilai-nilai ekoteologi Islam dalam kehidupan nyata. Tidak cukup hanya dengan mengajarkan Islam sebagai ajaran normatif saja, PTKI juga dituntut untuk menerjemahkan prinsip-prinsip keimanan dan ketauhidan ke dalam tindakan yang bersifat transformatif terhadap problematika kontemporer, termasuk dalam krisis ekologis laut.

Hal ini dapat ditempuh melalui tiga jalan utama, yakni: penelitian yang responsif terhadap isu kelautan, pengabdian kepada masyarakat (PkM) yang menyasar wilayah pesisir, serta integrasi kurikulum berbasis ekopedagogi Islam yang membangun habitus keilmuan dan spiritualitas ekologis di kalangan civitas akademika.

  1. Penelitian Terapan dan Multidisiplin

Dalam bidang riset, PTKI dapat melakukan kajian tentang ekologi laut secara terpadu, misalnya: evaluasi kualitas air, inventarisasi keanekaragaman laut, dan pengembangan teknologi bersih berbasis komunitas. Dalam hal ini, kolaborasi lintas disiplin (biologi laut, teknik, agama) sebagaimana disarankan dalam integrasi keilmuan, akan dapat memperkuat relevansi akademik dan operasional hasil riset.

  1. Pengabdian Berbasis Komunitas Pesisir

Dalam bidang pengabdian kepada masyarakat, ekoteologi laut dapat diwujudkan melalui KKN Lingkar Kampus, mahasiswa dan dosen PTKI bisa berkolaborasi dalam memberdayakan desa pesisir, seperti: edukasi pengelolaan sampah laut, pendirian bank sampah pesisir, dan konservasi mangrove. Untuk memastikan program pengabdian tepat sasaran dan berkelanjutan, maka metodologi seperti PAR dan Community‑Based Research (CBR) dapat diimplementasikan.

  1. Integrasi Kurikulum dan Kegiatan Kampus

Bentuk nyata dari pengimplementasian ekoteologi, kaitannya dengan pelestarian laut dapat berupa menghadirkan mata kuliah atau modul ekoteologi laut di Fakultas Syariah (Seperti: Fiqih Kelautan), Fakultas Ushuluddin (Seperti: Ekoteologi islam, dan Tafsir Ekologis atas Ayat-Ayat Kelautan), Fakultas Tarbiyah (Seperti: Pendidikan Ekoteologi), maupun Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (Seperti: Ekonomi Biru Syariah, Kewirausahaan Hijau dan Produk Halal Laut, dan lain-lain). Kegiatan kampus seperti “Pekan Ekoteologi” atau forum diskusi ilmiah dengan tema konservasi bahari juga bisa menjadi pilihan. Aksi nyata di lapangan seperti bersih pantai atau menanam mangrove harus dikontekstualkan sebagai ibadah, bukan hanya sekedar aksi sosial saja.

Menjaga Laut, Merawat Iman

Menjaga kelestarian laut bukan semata tugas ekologis, tetapi bagian dari manifestasi keimanan. Al-Qur’an menjelaskan bahwa alam semesta, termasuk laut, dijelaskan sebagai tanda-tanda (āyāt) kebesaran Tuhan sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. An-Nahl [16]:14 dan Q.S. Ar-Rahman [55]:19-20.

Ketika manusia mampu melindungi laut dari pencemaran, perusakan ekosistem, dan eksploitasi berlebihan, maka sesungguhnya ia sedang mengamalkan ajaran tauhid yang menyatukan makhluk dan Khaliknya. Kesadaran spiritual yang semacam ini perlu untuk dikembangkan. Terutama di lingkungan PTKI yang berperan sebagai lokomotif integrasi ilmu dan nilai-nilai ilahiah.

Konsep ekoteologi Islam menempatkan relasi manusia dan lingkungan dalam bingkai amanah (amānah) dan ibadah. Semua bentuk pengetahuan dan perbuatan dalam Islam, semestinya mengarah pada pengenalan dan kepatuhan kepada Tuhan (Muhammad Naquib al-Attas Al-Attas: 1993). Oleh karena itu, maka ketika seorang peneliti meneliti dan mengkaji tentang kerusakan terumbu karang atau mahasiswa melakukan aksi pengabdian dengan melakukan bersih pantai, maka tindakan tersebut memiliki makna ibadah—selama diniatkan untuk menjaga ciptaan Allah.

Hal yang tak kalah penting adalah menanamkan paradigma bahwa menjaga laut bukanlah agenda sekuler atau teknokratis semata, tetapi juga bentuk mu’āmalah yang bernilai spiritual. Praktik ritual seperti sedekah laut pada beberapa tradisi lokal juga bisa diisi kembali dengan makna yang selaras dengan tauhid ekologis, yakni bukan hanya sekedar ritus simbolik, tetapi ajakan konkret untuk menjaga keberlanjutan.

PTKI di bawah naungan Kementerian Agama, memiliki tanggung jawab moral dan akademik dalam mengarusutamakan visi ini ke dalam kurikulum, riset, serta pengabdian kepada masyarakat. Mata kuliah seperti “Fikih Lingkungan”, “Tafsir Tematik Ekologi”, atau “Teologi Lingkungan” perlu diperkaya dengan studi kasus kelautan. Dengan demikian, maka ekoteologi tidak hanya mengakar di darat (seperti penanaman pohon), tapi juga menyebar ke laut—menjadi praksis iman yang menyeluruh.

Jihad Biru

Krisis iklim dan kerusakan laut global yang tengah melanda membutuhkan sebuah “jihad biru”—yakni perjuangan ekologis yang dilandasi atas iman, ilmu, dan aksi nyata. Jihad dalam pengertian ini bersifat transformatif, tidak militan. Artinya, jihad yang berupaya untuk mengubah cara pandang umat terhadap laut, dari yang awalnya laut merupakan sumber eksploitasi menjadi ladang konservasi. Laut tidak hanya dijadikan sebagai ruang ekonomi saja, melainkan ruang spiritual, sosial, dan juga etis.

Jihad biru dapat menjadi gerakan kolektif di lingkungan PTKI. Implementasinya dapat melalui kajian keagamaan tentang ekoteologi laut, dan penelitian-penelitian terapan di bidang bioteknologi kelautan, konservasi maritim, serta edukasi ekoteologi berbasis masyarakat pesisir. Pengabdian masyarakat seperti edukasi halal-haram produk laut, advokasi terhadap nelayan kecil, maupun pelatihan ekonomi biru berbasis syariah juga merupakan wujud nyata aktualisasi jihad ekologis yang visioner.

Dalam hal ini, sinergi antara pemerintah (Kementerian Agama), perguruan tinggi, komunitas lokal, dan organisasi masyarakat sipil sangat dibutuhkan. Kementerian Agama sendiri telah mencantumkan “ekoteologi” sebagai salah satu fokus program prioritas (Asta Protas Kemenag). Oleh karena itu, program prioritas ini akan kehilangan kekuatannya jika hanya disimbolkan dengan gerakan menanam pohon setiap tahun saja, tanpa adanya upaya berkelanjutan dan menjangkau ekosistem yang lebih luas. Laut juga membutuhkan pembela, penjaga, dan pecinta.

Dengan mengarusutamakan jihad biru dalam tridharma pada PTKI, maka peran PTKI  tidak hanya sekedar bergerak pada konsep dan narasi teologis saja, tetapi juga gerakan praksis. Mengutip dari Q.S. Al-A’raf [7]:56, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” Menjaga laut bukan hanya tugas para aktivis lingkungan saja, tapi panggilan iman untuk seluruh umat. Oleh sebab itu, jihad kita belum sempurna, selama luka laut belum dijahit oleh kesadaran dan kasih sayang kita.

Selamat Hari Laut Sedunia… !!!

Penulis: Lailatuzz Zuhriyah (Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)

About Author

Lailatuzz Zuhriyah

Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung