Banyaknya umat muslim memahami Al Qur’an tanpa teori dan metode yang digagas ulama merupakan kesalahan fatal yang sering kali dilakukan. Cara menafsirkannya cenderung bersifat subyektif sesuai keadaan dan proyeksi kebutuhan yang diinginkan. Lain dari pada itu terdapat pula sekelompok orang yang cenderung memahami secara tekstual, fundamental, dan tanpa merujuk penafsiran karena hanya mengikuti terjemahan. Kaum ini biasanya menamakan diri sebagai kaum gerakan modernisme yang secara masif berkeinginan untuk memurnikan tradisi Islam dari budaya dan karakter lokal. Jika dipahami secara kasat mata memang agaknya gerakan ini bagus untuk memurnikan ajaran Islam dari budaya, pun puritan terhadap pemahaman Al Qur’an juga dibatasi dengan dalih menjaga akidah. Namun persoalan lain muncul yakni paradigma pemahaman terhadap Al Qur’an bukan berdasar pada penafsiran Al Qur’an melainkan dari terjemahan.
Melalui persoalan ini penulis berkeinginan untuk memberikan pemahaman terhadap skema memahami Al Qur’an. Hal ini penting dijelaskan agar dalam memahami Al Qur’an umat Islam tidak terpacu pada teks dan terjemahan saja. Pertama, perlu dipahami bahwa Al Qur’an merupakan wahyu yang bersifat Qath’iy. Kepastian Al Qur’an bukan hanya dalam hal wurud-nya saja namun juga dalam hal dilalah-nya. Artinya kepastian Al Qur’an akan kebenaran benar adanya namun untuk memahami Al Qur’an tidak mudah dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai keilmuan kuat tentang Ushul, Sabab Nuzul, Kaidah, dan piranti keilmuan lain yang digunakan saat mengkaji dan memahami Al Qur’an. Perlu keahlian khusus dan keilmuan matang, serta pengetahuan luas untuk dapat memahaminya, maka saran penulis bagi umat muslim yang tidak dapat menjangkau kriteria itu hal terbaik yang dapat dilakukan adalah mengikuti pendapat ulama melalui kitab tafsir.
Kedua, bahwa ayat Al Qur’an sangat luas dan relevan hingga kemudian dipredikati sebagai Shalih Li Kulli Zaman Wa Al Makan. Al Qur’an adalah firman yang relevan di semua keadaan kapan saja dan di mana saja. Keluasan makna dan tafsir Al Qur’an dalam menyikapi kompleksitas problem dan zaman menjadi satu hal yang perlu dipahami terlebih dahulu sebelum memahami ayatnya. Hal ini yang kemudian mendasari adanya tafsir Al Qur’an yang berjilid jilid. Ulama berusaha memberikan fatwa, mencurahkan pikirannya untuk memahami Al Qur’an, dan mendokumentasikannya dalam bentuk kitab tafsir. Namun agaknya umat muslim modern lebih cenderung pada terjemahan yang sebetulnya tanpa disadari bahwa terjemah merupakan bagian kecil dari proses menafsirkan Al Qur’an.
Ketiga, tidak ada penafsiran yang tunggal. Tidak ada penafsiran yang tunggal karena kitab tafsir yang ditulis ulama dulu berkaitan dengan zaman, situasi, dan metode yang digunakan. Hal ini menjadi latar belakang atas penafsiran yang tidak sama. Penafsiran berbeda, apalagi dengan terjemahan yang hanya menjadi bagian kecil dari penafsiran. Maka penulis memberi saran kepada pembaca sekalian kiranya jargon “Kembali Kepada Al Qur’an dan Hadis” itu dipahami sebagai kembali kepada penafsiran dan kitab tafsir Al Qur’an bukan terjemahan Al Qur’an. Karena apabila memahami Al Qur’an hanya dengan bertumpu dan merujuk pada terjemahan hal yang ditemukan justru bukan keluwesan Al Qur’an terhadap zaman namun kesempitan makna Al Qur’an dalam memahami sesuatu. Tentu apabila hal ini dilanjutkan akan berimplikasi pada khazanah keilmuan dan paradigma keislaman.