Fitrah Islam memandang adanya pernikahan merupakan penyempurna ibadah yang secara naratif memiliki agenda meneruskan kehidupan dengan adanya keturunan. Hal ini diperkuat dengan adanya hadis nabi tentang anjuran untuk menikahi wanita yang subur dan idealis sehingga dapat memberikan keturunan yang salih. Namun sering berjalannya waktu agaknya hal ini berbeda pandangan dengan kaum feminis, dimana kelompok ini merasa tersisih dan terdeskriminasi. singkat dan sederhananya mereka menjustifikasi dan menuduh bahwa agama seolah olah menempatkan posisi perempuan pada posisi kedu yang tugasnya hanya mavak, masak, dan manak. Dengan alasan ini pengikut ini lebih memilih childfreee sebagai sebuah solusi kebebasan terlepas dari sebab infersilitas (kemandulan).
Fenomena childfree ini mulai blow up di Indonesia karena disinyalir seorang content creator bernama Gita Savitri bersama pasanganya Paul Partohap secara terbuka mengatakan bahwa mereka memilih jalan childfree. Childfree menurut pandangan mereka merupakan salah satu kunci alami dari menunda penuaan dini karena terlepas dari beban pikiran yang berat. Dalam beberapa penelitian juga mensurvei bahwa alasan childfree ini juga dipengaruhi aspek psikis, kesiapan mental dan finansial pasangan, sehingga beberapa alasan tersebut masuk ke dalam kategori logis. Dengan begitu, menyikapi fenomena tersebut peran agama menjadi sangat urgent dalam mereduksi dan merepresentasikan konsep childfree untuk kemaslahatan umat.
sejauh telaah yang dilakukan penulis beberapa ulama sepakat untuk mentolerir adanya fenomena childfree, akan tetapi sebagian pula juga menentang keras trend tersebut. Buya Yahya misalnya, dalam kajian akun Youtubenya mengatakan bahwa trend childfree bertentangan dengan fitrah manusia yakni menciptakan keturunan untuk memelihara nasab, warisan dan eksistensi keluarga. Beliau menegaskan bagaiamana pun alasan yang diusung mereka hanyalah sebatas pembenaran pada dirinya sendiri karena sejatinya anak adalah salah satu bentuk rezeki dari Allah yang wajib disyukuri.
Berbeda dengan pandangan Imam Al Ghozali Dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin, beliau menqiyaskan childfree ini seperti dengan ‘Azl yakni bersetubuh dengan menumpahkan sperma di luar vagina. ‘Azl ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi baik suami maupun istri untuk menghalangi terjadinya vertisasi (pembuahan). Apabila childfree diqiyaskan sama seperti ‘Azl maka secara substansial childfree merupakan cara yang sama dalam menolak pewujudan seorang anak atau keturunan. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa mengikuti childfree ini merupakan suatu kebolehan.
Lain dari hal itu menanggapi kewenangan childfree ini bukanlah suatu wejangan untuk mengikutinya tanpa memikirkan sebab dan akibatnya. Hal ini dikarenakan melihat dampak childfree apabila tertradisi maka tidak menutup kemungkinan akan timbul masalah baru yakni depopulasi suatu negara menjadi piramida yang terbalik. Depopulasi ini mengakibatkan punahnya suatu generasi sehingga akan hilang generasi produktif berikutnya dan mirisnya persepsi tentang generasi emas 2045 di Indonesia hanya menjadi omong kosong. Merujuk dari permasalahan ini perlunya kesadaran open minded dalam meutuskan suatu perkara, terlebih dalam fenomena childfree.
Menyikapi hal ini maka perlu adanya keterbukaan dalam berpikir. Berpikir open minded di sini adalah bagaimana seseorang menerima pemikiran luar baik itu bertentangan ataupun tidak, sehinngga ia bisa memberikan prospek dalam memberi keputusan. Dengan begitu dalam menanggapi tersebut terdapat satu konsep yang memilki relevansi dalam memberikan tendensi keputusan childfree yakni melalui konsep maslahah mursalah. Konsep Imam Al Ghozali ini terbagi menjadi tiga kualifikasi yakni al Daruriyat, al Qat’iyyat serta al Kulliyat dan fenomena Childfree ini berada pada aspek Al Daruriyat.
Kualifikasi Al Dzuriyat merujuk pada kepentingan manusia yakni kebutuhan dasar dalam kehidupan atau dikenal dengan Hak Asasi Manusia. Kebutuhan dasar terdiri dari lima aspek (al Kulliyat al Khams) meliputi keselamatan diri (jiwa, raga, dan kehormatan), keselamatan akal pikiran, nasab (keturunan), harta benda dan agama. Singkatnya konsep al Daruriyat ini bisa dikaitkan dengan fenomena childfree dengan meninjau terlebih dahulu alasan mengapa memilih untuk tidak memilki anak. Dengan begitu dapat diindikasikan bahwa apabila sepasang suami istri mampu menghasikan keturunan tanpa membahayakan nyawa, akal, nasab, harta dan agama (al Kulliyat al Khams) maka keputusan childfree diharamkan atau tidak diperbolehkan. Namun apabila sepasang suami istri memilih untuk tidak memilki keturunan karena adanya kekhawatiran akan potensi hilangnya kebutuhan dasar seseorang sebagaimana dalam aspek al Kulliyat al Khams maka hal itu diperbolehkan.