Keislaman Opini Peristiwa

Saat Sekolah Tak Lagi Ramah: Refleksi Hari Anak Nasional

  • July 23, 2025
  • 6 min read
  • 172 Views
Saat Sekolah Tak Lagi Ramah: Refleksi Hari Anak Nasional

Hari Anak Nasional seharusnya menjadi momen refleksi bersama, sudahkah kita benar-benar menciptakan ruang yang aman bagi mereka?

Setiap tanggal 23 Juli, bangsa ini memperingati Hari Anak Nasional. Namun, apalah arti dari sebuah peringatan, jika anak-anak masih menjadi korban dari sistem yang gagal menjamin rasa aman bagi mereka?

Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar yang aman dan ramah, tak jarang malah menjadi ruang yang penuh luka. Lantas, di manakah posisi kita sebagai umat yang membawa rahmat bagi semesta?

Beberapa hari terakhir ini, tersebar video viral di media sosial tentang kasus bullying yang begitu brutal terhadap seorang siswa kelas 7 di salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri di Blitar oleh kawan-kawannya.

Kasus bullying ini bukan hanya mencoreng wajah pendidikan, tetapi juga menampar nurani kita sebagai bangsa yang (konon katanya) beradab. Lebih dari itu, kasus ini juga menjadi sebuah penanda, bahwa betapa rapuhnya sistem perlindungan anak di lingkungan sekolah saat ini.

Dilansir dari kpai.go.id, bahwa di dalam Laporan Tahunan KPAI 2024 disebutkan terdapat sejumlah 2.057 pengaduan kasus anak. Dari jumlah tersebut, 954 pengaduan telah sampai pada tahap penanganan akhir. Sementara itu, sejumlah 241 kasus terjadi di ranah pendidikan, dan 240 kasus anak yang mengalami kekerasan fisik dan psikis.

Selain itu, dilansir dalam siga.kemenppa.go.id yang merujuk pada data BPS tahun 2024, tercatat berbagai jenis kekerasan terhadap anak masih tinggi di beberapa daerah. Hal ini menjadi pertanda bahwa lingkungan anak—termasuk sekolah—masih rawan.

Angka-angka tersebut bukan hanya sekedar data statistik saja, tetapi merupakan gambaran anak-anak yang sedang luka. Hal yang perlu kita sadari adalah bahwa luka itu bisa membekas panjang pada jiwa dan masa depan mereka.

Anak adalah Amanah

Islam memposisikan anak dalam kedudukan yang begitu mulia. Anak bukan sekedar titipan, tetapi sebuah amanah yang suatu saat akan dimintai pertanggungjawaban.

Dalam hadis riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”

Oleh karena itu, baik orang tua, guru, kepala sekolah, bahkan negara sekalipun—semuanya memikul tanggung jawab moral dan spiritual atas keselamatan anak-anak.

Dalam hal ini, tindakan kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun psikis, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah itu. Al-Qur’an mengajarkan kepada kita untuk menjaga, merawat, menyayangi dan tidak menyakiti anak-anak, bahkan dalam hal mendisiplinkan anak sekalipun.

Nabi tidak pernah mencaci, apalagi memukul anak. Lalu, mengapa kita membiarkan kekerasan terjadi terhadap mereka? Mengapa ketika terjadi perundungan, mendadak menggunakan mode senyap demi menjaga citra?

Bullying dan Krisis Etika Sosial

Sejatinya, kasus bullying yang terjadi di Blitar hanyalah satu dari sekian ratus kasus serupa yang kerap terjadi di setiap tahunnya. KPAI mencatat adanya ratusan pengaduan kekerasan di sekolah setiap tahun, dan sebagian besar tidak pernah mencapai proses hukum.

Bagaimana jalan penyelesaiannya? Paling sering melalui jalur kekeluargaan. Model penyelesaian yang semacam ini, tentu saja membuat pelaku tidak bisa belajar tentang tanggung jawab, korban pun tidak mendapat pemulihan mentalnya, dan sistem pun tetap seperti semula, yakni dingin, birokratis, dan lupa pada kasih sayang.

Jika ditinjau dalam perspektif filsafat Islam, hal ini menunjukkan krisis ihsan dalam pendidikan kita. Kita perlu memahami bahwa sejatinya ihsan bukan hanya sekedar berbuat baik, tetapi hadirnya kesadaran dalam diri bahwa Allah Maha Melihat segala yang kita lakukan.

Seharusnya, di semua tempat, baik di ruang kelas, di lorong sekolah, di ruang guru— nilai ilahiah harus senantiasa hidup. Namun, jika kita diam saat ada anak yang dilukai, maka sejatinya kita sedang membunuh kesadaran ihsan itu secara perlahan-lahan.

Pendidikan Tanpa Rasa Aman, Adalah Kegagalan

Bagaimana setiap anak akan bisa belajar dengan gembira, jika setiap pagi mereka datang ke sekolah dengan perasaan takut? Bagaimana nilai-nilai agama bisa tumbuh di dalam diri mereka, jika yang mereka terima setiap hari adalah bentakan, ejekan, atau pukulan?

Rasa aman merupakan sebuah pondasi dasar dari proses belajar setiap anak. Hal yang semacam ini, bukan hanya diajarkan oleh teori modern saja, tetapi juga diajarkan dalam Islam sejak dini.

Imam Al-Ghazali, di dalam kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, menegaskan bahwa tujuan pendidikan sejatinya adalah menyucikan jiwa, bukan hanya untuk mencerdaskan akal saja.

Oleh karena itu, jika pendidikan yang kita berikan kepada anak-anak di sekolah justru malah melukai jiwa mereka, maka sejatinya pendidikan itu sedang menyimpang dari tujuan asasi pendidikan Islam itu sendiri.

Saatnya Negara dan Sekolah Berbenah

Pendidikan karakter yang selama ini digaungkan dalam berbagai kurikulum (mulai dari KTSP, K-13, hingga kurikulum merdeka) sejatinya belum menyentuh akar. Implementasinya lebih banyak berupa hafalan slogan, bukan pada pembentukan budaya.

Saat ini, kita membutuhkan reformasi sistem pendidikan yang berbasis rahmah (welas asih/ cinta). Bukan hanya fokus pada perubahan kurikulumnya saja, tetapi hal yang tak kalah penting adalah bagaimana membentuk ekosistem sekolah yang mendukung kesehatan mental, dialog yang aman, dan respon yang adil bagi kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh anak.

Melihat maraknya kasus bullying yang terjadi di setiap tahun di sekolah ini, sudah waktunya negara menghadirkan kebijakan Anti-Bullying yang inklusif dan progresif.

Kebijakan yang bukan hanya sekedar larangan saja, tetapi menghadirkan sistem yang memungkinkan adanya deteksi dini (early warning system), pemulihan korban, dan pendampingan yang mendalam.

Dalam hal ini, sekolah juga harus berani jujur dan terbuka. Jika ada kekerasan, jangan ditutup-tutupi demi reputasi. Keselamatan dan kesehatan mental anak, jauh lebih penting dari citra institusi.

Harapan untuk Anak-anak Indonesia

Hari Anak Nasional yang kita peringati setiap tahun, tidak boleh hanya berhenti pada seremonial perayaan, upacara dan baliho ucapan saja.

Hari Anak Nasional harus menjadi momen refleksi bersama. Apakah kita telah benar-benar melindungi anak-anak kita? Apakah sekolah kita telah benar-benar menjadi ruang yang aman, menyuburkan cinta, bukan kebencian? Dan apakah para pendidik kita telah menjadi pembimbing bagi jiwa, bukan malah menjadi penguasa di ruang-ruang kelas?

Kita semua tentunya berharap, anak-anak Indonesia, baik di kota maupun di desa, bisa datang ke sekolah dengan wajah yang cerah dan hati yang tenang.

Kita berharap bagaimana agar mereka bisa belajar tanpa takut disakiti.

Kita juga berharap bagaimana agar mereka bisa tumbuh dengan keyakinan, bahwa dunia ini, dan sekolah ini, merupakan tempat yang aman bagi mereka untuk menjadi manusia yang seutuhnya.

Menjaga anak, sejatinya adalah menjaga masa depan. Menjaga anak adalah bagian dari menjaga cahaya rahmat Allah di muka bumi ini. Dan, menjaga anak, juga merupakan jalan menuju kemuliaan umat.

Anak-anak adalah cermin masa depan bangsa, sekaligus  amanah dari Tuhan. Oleh karena itu, jika hari ini mereka tumbuh dalam rasa takut, maka kelak mereka akan dewasa dalam kebencian.

Tapi, jika hari ini kita menjamin mereka dengan menghadirkan ruang yang aman, penuh cinta, dan bimbingan, maka mereka akan tumbuh dalam cahaya rahmat.

Mari, kita bersama wujudkan sekolah yang tidak hanya mendidik, tetapi juga merawat. Tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga mengasihi.

Karena sejatinya, mendidik adalah jalan sunyi menuju takwa, dan takwa tidak mungkin tumbuh dalam lingkungan yang melukai.

 

Penulis: Lailatuzz Zuhriyah (Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)

About Author

Lailatuzz Zuhriyah

Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung