Kami sering merenung ketika melihat bagaimana sistem pendidikan kita semakin sibuk mengejar nilai akademik, ranking, dan sertifikat. Sekolah berlomba mencetak siswa berprestasi di atas kertas, tapi lupa menumbuhkan karakter yang kuat di dalam diri mereka.
Padahal, di luar sekolah, kita sering mendengar kabar siswa yang tidak sopan pada guru, perundungan di antara teman sebaya, hingga anak-anak yang kehilangan empati. Fenomena ini membuat kami yakin bahwa krisis moral jauh lebih berbahaya daripada krisis intelektual.
Di era globalisasi dan kemajuan teknologi, pendidikan tidak lagi hanya diukur dari kecerdasan akademik. Tantangan besar dunia pendidikan saat ini adalah bagaimana membentuk karakter dan akhlak siswa agar tetap berpegang pada nilai-nilai moral yang luhur. Pendidikan sejati tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk manusia berakhlak mulia, sebagaimana tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang bertujuan melahirkan manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Makna Akhlak dalam Pendidikan
Menurut Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa sehingga seseorang berbuat baik secara spontan tanpa perlu berpikir panjang. Artinya, akhlak bukan hanya sekadar mengetahui benar dan salah, tetapi menjadikan kebaikan sebagai kebiasaan.
Pendidikan akhlak tidak cukup disampaikan lewat teori. Nilai-nilai moral harus ditanamkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan lingkungan yang mendukung. Sekolah, keluarga, dan masyarakat berperan sebagai tiga pilar utama dalam membentuk pribadi siswa yang berkarakter kuat.
Pentingnya Pembentukan Akhlak Sejak Usia Dini
Usia dini merupakan masa emas (golden age) bagi perkembangan karakter anak. Pada masa ini, anak memiliki kemampuan luar biasa untuk meniru perilaku orang dewasa di sekitarnya. Menurut teori Jean Piaget, anak belajar nilai moral melalui proses imitasi, pembiasaan, dan pengalaman sosial.
Anak yang sejak kecil dibiasakan bersikap jujur, disiplin, dan peduli akan tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Sebaliknya, jika pendidikan akhlak diabaikan, anak dapat tumbuh cerdas secara intelektual tetapi miskin secara moral. Fenomena seperti perundungan, kurangnya sopan santun, dan rendahnya rasa hormat terhadap guru menjadi bukti nyata krisis akhlak di dunia pendidikan.
Pendidikan akhlak juga membentuk kedisiplinan dan tanggung jawab. Anak yang terbiasa tepat waktu dan menepati janji akan tumbuh menjadi pribadi yang dapat dipercaya. Nilai-nilai ini tidak muncul secara instan, melainkan melalui proses pembiasaan yang panjang dan konsisten di rumah maupun di sekolah.
Akhlak sebagai Jiwa Pendidikan
Banyak yang beranggapan bahwa pelajaran akhlak hanya diajarkan di kelas agama. Padahal, akhlak seharusnya hadir dalam setiap aspek pendidikan — mulai dari cara guru mengajar, teman berinteraksi, hingga cara menghadapi ujian.
Anak-anak belajar bukan hanya untuk menjadi pintar, tetapi juga untuk menjadi pribadi yang jujur, tangguh, dan peduli.
Menolak mencontek bukan hanya soal menaati aturan, tetapi juga melatih diri untuk berani berbuat benar.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Dengan demikian, pendidikan tidak hanya berorientasi pada nilai akademik, tetapi juga pada pembentukan manusia berkarakter.
Peran Guru dan Sekolah
Guru memiliki peran besar dalam pembentukan akhlak siswa. Dalam budaya kita, guru disebut “digugu lan ditiru” — artinya dipercaya dan diteladani. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing dan teladan moral bagi siswanya. Sikap dan perilaku guru sehari-hari sering kali lebih berpengaruh daripada nasihat lisan.
Sekolah sebagai lembaga formal juga perlu mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap kegiatan belajar. Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merupakan salah satu upaya mengembalikan fungsi moral dalam pendidikan. Melalui kegiatan keagamaan, pramuka, kerja bakti, dan kegiatan sosial, siswa diajak untuk belajar empati, tanggung jawab, dan gotong royong.
Lingkungan sekolah yang kondusif dan penuh keteladanan juga sangat penting. Sekolah yang menegakkan disiplin dengan bijak, menghargai kejujuran, serta menumbuhkan rasa saling menghormati akan menciptakan budaya positif di kalangan siswa.
Peran Keluarga dan Lingkungan Sosial
Keluarga adalah tempat pertama dan utama dalam pendidikan akhlak. Anak belajar dari contoh orang tuanya. Ketika orang tua menanamkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kesopanan, anak akan menirunya. Sebaliknya, jika anak sering melihat pertengkaran atau kebohongan di rumah, ia akan menganggapnya sebagai hal yang wajar.
Menurut Abuddin Nata dalam Akhlak Tasawuf dan Karakter Bangsa, pembentukan akhlak hanya akan berhasil jika ada sinergi antara pendidikan di rumah dan di sekolah. Nilai-nilai yang diajarkan di sekolah harus diperkuat di lingkungan keluarga.
Selain itu, pengaruh lingkungan sosial dan media digital juga sangat besar. Tanpa bimbingan yang tepat, anak dapat terpapar nilai-nilai negatif seperti kekerasan atau gaya hidup hedonis. Oleh karena itu, pendampingan orang tua dan guru sangat penting agar anak mampu memilah pengaruh yang baik dari yang buruk.
Akhlak sebagai Pondasi Bangsa
Akhlak tidak hanya penting bagi individu, tetapi juga bagi kehidupan bangsa. Bangsa yang besar bukan hanya diukur dari kemajuan ekonomi dan teknologi, tetapi juga dari moralitas rakyatnya. Masalah seperti korupsi, intoleransi, dan perpecahan sosial sering kali berakar pada lemahnya akhlak.
Karena itu, pendidikan akhlak harus menjadi prioritas utama dalam membangun generasi penerus bangsa. Siswa yang berakhlak mulia akan tumbuh menjadi warga negara yang jujur, bertanggung jawab, dan peduli terhadap sesama. Sejarah Islam menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan selalu sejalan dengan kekuatan moral dan spiritual.
Jadi, membentuk akhlak siswa sejak dini merupakan tanggung jawab bersama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Akhlak menjadi fondasi utama dalam membentuk manusia yang beradab dan berintegritas. Tanpa akhlak, ilmu hanya menjadi alat untuk mengejar kepentingan pribadi.
Oleh karena itu, di tengah derasnya arus teknologi dan perubahan zaman, pendidikan akhlak harus terus dihidupkan melalui keteladanan guru, pembiasaan di sekolah, dan pendampingan keluarga. Dengan akhlak yang baik, siswa tidak hanya tumbuh menjadi insan cerdas, tetapi juga menjadi manusia yang beriman, beradab, dan siap membangun masa depan bangsa yang bermartabat.
Penulis :
Lutfa Annabila, Afiza Laela Putri, Najma Zahrotu Himma, Alwi Markhaban (Mahasiswa PAI Semester 3 UIN SATU Tulungagung)




