Agama Keislaman Opini Peristiwa

Menelisik Isu Perbudakan di Pesantren: Antara Tradisi Khidmah dan Eksploitasi

  • October 29, 2025
  • 6 min read
  • 140 Views
Menelisik Isu Perbudakan di Pesantren: Antara Tradisi Khidmah dan Eksploitasi

Pesantren selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang melahirkan banyak tokoh bangsa. Di balik citranya yang religius, pesantren bukan hanya tempat menuntut ilmu agama, tetapi juga tempat pembentukan karakter, disiplin, dan moralitas santri. Sistem pendidikan yang menekankan nilai-nilai spiritual ini telah mengakar selama berabad-abad di Nusantara. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul isu yang cukup mengejutkan publik: adanya dugaan praktik “perbudakan” di sejumlah pesantren. Isu ini memicu polemik luas di masyarakat—antara mereka yang menilai tuduhan tersebut sebagai kesalahpahaman terhadap tradisi pesantren, dan pihak lain yang menganggapnya sebagai bentuk eksploitasi yang perlu dikritisi secara serius.

Tradisi Khidmah dalam Dunia Pesantren

Dalam tradisi pesantren, terdapat konsep penting bernama khidmah yang berarti pengabdian atau pelayanan santri kepada kiai maupun pesantren. Dalam praktiknya, santri sering diberi tanggung jawab untuk membantu berbagai kegiatan pondok, seperti membersihkan asrama, memasak, mencuci, menjaga lingkungan, hingga membantu kebutuhan sehari-hari kiai. Semua kegiatan ini dimaknai sebagai bagian dari pendidikan karakter.

Menurut pandangan para kiai, khidmah bukanlah bentuk kerja paksa, melainkan latihan spiritual untuk menumbuhkan keikhlasan dan kedisiplinan. Zamakhsyari Dhofier (1982) menjelaskan bahwa pesantren merupakan sistem pendidikan khas Nusantara yang menanamkan nilai kesederhanaan, tanggung jawab, serta penghormatan terhadap guru sebagai bagian dari pembentukan akhlak mulia. Melalui khidmah, santri belajar untuk menundukkan ego, mengasah empati, dan memahami makna pelayanan sosial dalam kehidupan beragama.

Namun, dalam pelaksanaannya, tidak semua pesantren mampu menjaga keseimbangan antara pengabdian dan pembelajaran. Ketika khidmah dilakukan secara berlebihan, tanpa pengawasan atau penjelasan nilai edukatifnya, tradisi mulia ini dapat bergeser menjadi bentuk eksploitasi terselubung. Di sinilah titik perdebatan bermula: di satu sisi khidmah dianggap bagian dari pendidikan moral, namun di sisi lain, praktik yang tidak proporsional dapat menimbulkan kesan “perbudakan modern”.

Munculnya Isu Perbudakan

Isu “perbudakan di pesantren” mulai ramai diperbincangkan setelah muncul laporan media dan kesaksian mantan santri yang mengaku dipaksa bekerja keras tanpa imbalan serta dalam kondisi kurang layak. Beberapa mengaku mengalami tekanan fisik maupun verbal. Tayangan salah satu stasiun televisi nasional yang menampilkan kisah tersebut membuat publik gempar dan memunculkan berbagai tanggapan.

Banyak tokoh pesantren langsung membantah tuduhan itu. Ketua Himpunan Alumni Santri Lirboyo menegaskan bahwa narasi perbudakan merupakan kesalahpahaman terhadap budaya khidmah, karena santri melaksanakan pengabdian dengan kesadaran dan keikhlasan, bukan paksaan (Radar Tulungagung, 2024). Pernyataan senada juga disampaikan oleh Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Lampung Utara yang menilai tayangan tersebut menyesatkan dan mencoreng citra dunia pendidikan Islam (Publik Nusantara, 2024).

Meski begitu, beberapa pengamat pendidikan menilai bahwa pembelaan semacam itu tidak boleh membuat pesantren menutup diri dari kritik. Lembaga independen seperti Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat bahwa pada tahun 2024 terdapat lebih dari 500 kasus kekerasan di sekolah dan pesantren di Indonesia, sebagian di antaranya berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang pengasuh terhadap santri. Fakta ini menunjukkan bahwa risiko penyimpangan dalam sistem pendidikan berbasis asrama memang nyata adanya (JPPI, 2024).

Antara Pengabdian dan Eksploitasi

Batas antara pengabdian dan eksploitasi sering kali sangat tipis. Tradisi khidmah sejatinya ditujukan untuk membentuk kepribadian dan spiritualitas santri, tetapi jika dijalankan tanpa memperhatikan hak-hak dasar mereka, hal itu dapat berubah menjadi praktik yang menyalahi prinsip pendidikan. Misalnya, ketika santri diminta bekerja sepanjang hari tanpa waktu istirahat yang cukup, atau ketika tugas yang diberikan tidak memiliki nilai pembelajaran yang jelas, maka praktik semacam itu sudah keluar dari tujuan khidmah yang sesungguhnya.

Dalam perspektif Islam, eksploitasi terhadap manusia dilarang keras. Nabi Muhammad SAW menegaskan, “Saudaramu adalah tanggunganmu; berilah dia makan sebagaimana engkau makan dan pakaikanlah sebagaimana engkau berpakaian.” (HR. Bukhari-Muslim). Hadis ini menunjukkan pentingnya memperlakukan sesama manusia dengan adil dan bermartabat, termasuk dalam konteks pendidikan.

Oleh karena itu, pesantren harus memastikan bahwa kegiatan khidmah tidak melampaui batas dan tetap berorientasi pada pendidikan moral, bukan pada produktivitas tenaga santri.

Faktor Pemicu Isu

Beberapa faktor turut melatarbelakangi munculnya isu “perbudakan di pesantren”:

1. Keterbatasan ekonomi lembaga.
Banyak pesantren tradisional yang masih bergantung pada swadaya masyarakat dan sumbangan. Keterbatasan dana kadang membuat santri ikut membantu operasional pondok, dan jika tidak diatur dengan baik, hal ini bisa disalahartikan sebagai bentuk kerja paksa.

2. Relasi hierarkis antara kiai dan santri.
Hubungan kiai dan santri yang sangat hierarkis membuat sebagian santri merasa sungkan menolak perintah, meski merasa keberatan. Dalam konteks ini, adab bisa disalahartikan sebagai “ketundukan tanpa batas”.

3. Minimnya pengawasan eksternal.
Tidak semua pesantren terdaftar atau diawasi secara ketat oleh Kementerian Agama, sehingga rawan terjadi pelanggaran atau penyimpangan tanpa terdeteksi.

4. Pemberitaan media yang tidak proporsional.
Beberapa kasus yang sebenarnya bersifat individual sering digeneralisasi oleh media, hingga seolah menggambarkan semua pesantren sama. Padahal, mayoritas pesantren tetap menjunjung nilai kemanusiaan dan pendidikan yang luhur.

Menjaga Marwah Pesantren dan Hak Santri

Isu ini seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan ajang saling menyalahkan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam perlu memperkuat tata kelola internal agar tradisi khidmah dijalankan sesuai nilai aslinya. Pemerintah, melalui Kementerian Agama, perlu memastikan adanya regulasi yang melindungi hak santri, termasuk hak atas pendidikan, kesehatan, dan waktu istirahat yang layak.

Selain itu, pengasuh dan pengurus pesantren juga perlu mendapat pelatihan tentang pendidikan berbasis hak anak serta pencegahan kekerasan. Khidmah harus dilakukan dengan kesadaran spiritual, bukan karena tekanan atau rasa takut. Bila dijalankan dengan niat tulus dan pengawasan baik, khidmah justru dapat membentuk karakter santri yang tangguh, disiplin, dan berakhlak mulia.

Media massa pun perlu mengedepankan etika dalam pemberitaan. Alih-alih menstigma pesantren secara umum, sebaiknya media turut mendorong transparansi dan edukasi publik tentang nilai-nilai pendidikan Islam. Begitu pula masyarakat, perlu memahami bahwa pesantren memiliki tradisi dan sistem nilai sendiri yang tidak sepenuhnya bisa disamakan dengan sekolah formal.

Isu “perbudakan di pesantren” menjadi refleksi penting bagi dunia pendidikan Islam untuk terus berbenah. Tradisi khidmah sejatinya adalah warisan luhur yang mendidik santri agar rendah hati, disiplin, dan ikhlas dalam berbuat baik. Namun, nilai tersebut akan kehilangan maknanya jika dijalankan tanpa keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Santri bukanlah tenaga kerja, melainkan peserta didik yang berhak memperoleh pendidikan yang bermartabat. Pesantren sebagai lembaga yang mulia harus mampu menjaga tradisinya agar tidak bertentangan dengan nilai kemanusiaan universal. Dengan dialog terbuka antara pemerintah, pengasuh, santri, dan masyarakat, isu ini dapat menjadi pemicu perubahan menuju sistem pendidikan pesantren yang lebih transparan, adil, dan manusiawi.

Sebagaimana pesan Rasulullah SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Prinsip inilah yang seharusnya menjadi roh pendidikan pesantren: mendidik dengan hati, mengabdi dengan ilmu, dan menjaga martabat kemanusiaan dalam setiap langkahnya.

About Author

Lutfa Nabila