Agama Keislaman Opini Peristiwa

Kesalehan Ekologi: Refleksi Hari Ibu di Tengah Bencana

  • December 22, 2025
  • 7 min read
  • 154 Views
Kesalehan Ekologi: Refleksi Hari Ibu di Tengah Bencana

“Di tengah bencana yang sedang dialami bangsa ini, para ibu sejatinya telah mengajarkan bahwa kesalehan ekologis bukan hanya sekedar slogan saja, melainkan kerja-kerja mulia dalam merawat kehidupan”.

Setiap memperingati Hari Ibu, kerap kali kita merayakannya dengan mengirim bunga, doa-doa, serta untaian kata-kata bijak dan penuh harapan. Namun, ada yang berbeda tahun ini, peringatan Hari Ibu terasa begitu getir.

Bencana banjir yang melanda wilayah Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan wilayah sekitarnya beberapa waktu yang lalu telah membawa lumpur dan kayu-kayu gelondongan, merobohkan rumah-rumah warga, memisahkan keluarga, menelan korban yang jumlahnya ratusan, serta memaksa banyak orang untuk hidup di dalam tenda-tenda darurat tanpa kepastian.

Di tengah situasi yang semacam ini, sosok yang paling terdampak dan yang jarang disorot secara serius adalah, “ibu”.

Sejatinya, bencana banjir bukan semata peristiwa alam saja. Secara ontologis, banjir merupakan luka ekologis yang di dalamnya menyimpan jejak panjang ketidakadilan sosial.

Banjir merupakan simultan dari relasi manusia yang timpang dengan lingkungannya. Saat hutan mulai kehilangan fungsinya, sungai-sungai kehilangan ruang, serta pembangunan melampaui daya dukung alam, maka dari sinilah air (banjir) akan mencari jalannya sendiri.

Sayangnya, dampak dari bencana ini begitu terasa bagi para perempuan, terutama para ibu. Di tengah bencana, para ibu mengurus anak di tempat pengungsian, memastikan agar makanan tetap tersedia, menjaga reputasi keluarga di tengah keterbatasan pasca bencana, hingga tak jarang, menanggung risiko kekerasan yang meningkat saat krisis ekonomi akibat bencana.

Relasi Ibu, Banjir, dan Etika ‘Merawat’ Kehidupan

Relasi antara ibu dengan kehidupan sangatlah fundamental. Saat bumi dirusak (hutan-hutan ditebangi tanpa terkendali, sungai dikeruk pasirnya dan dipersempit, gunung dipangkas dan dilubangi), maka orang yang pertama kali merasakan dampaknya adalah ibu, karena ia yang paling dekat dengan urusan kehidupan sehari-hari, seperti: air, pangan, kesehatan, dan keselamatan keluarga. Meski, kerap kali para ibu tidak memiliki kuasa struktural, tetapi mereka berdiri di garda yang paling depan.

Ibu menjadi orang yang pertama memastikan agar anak-anaknya tetap bisa makan, tetap tenang, dan tetap mendapatkan rasa aman, meskipun berada di tenda pengungsian darurat.

Para ibu bekerja mengatur logistik keluarga seadanya di keterbatasan logistik akibat bencana, merawat anggota keluarga yang sedang sakit, sekaligus menahan kecemasan mereka sendiri.

Dari kerja-kerja yang dilakukan para ibu di tengah bencana inilah pada akhirnya kita bisa melihat bersama, bahwa praktik “merawat” merupakan kerja kemanusiaan yang begitu nyata, bukan hanya sekedar konsep moral belaka.

Apa yang telah dilakukan oleh para ibu, kerap kali dianggap hanya sebagai naluri atau kewajiban domestik saja. Padahal, sejatinya, praktik kesalehan yang paling nyata, justru kerja-kerja yang dilakukan oleh para ibu tersebut, yakni merawat kehidupan di tengah keterbatasan akibat bencana.

Kesalehan yang semacam ini memang sangat jarang sekali diapresiasi. Padahal, apa yang dilakukan oleh para ibu tersebut, justru menopang keberlangsungan hidup banyak orang.

Kesalehan Ekologi dalam Perspektif Islam

Islam tidak memisahkan antara kesalehan spiritual dengan tanggung jawab ekologis. Allah  secara tegas mengingatkan dalam Al-Qur’an Surah ar-Rum ayat 41:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ۝٤١

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
[sumber: https://quran.nu.or.id/ar-rum/41].

Ayat di atas, sejatinya bukan hanya sekedar peringatan moral saja, melainkan juga kritik terhadap bagainana cara manusia memperlakukan alam.

Sementara itu, dalam surat al-Baqarah ayat 30, Allah juga menyebut manusia sebagai khalifah fil ardh, yakni pemegang amanah di bumi.

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ۝٣٠

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
[sumber: https://quran.nu.or.id/al-baqarah/30].

Amanah yang diberikan kepada manusia ini bukanlah sebuah lisensi untuk mengeksploitasi alam. Sebaliknya, merupakan tanggung jawab manusia untuk menjaga keseimbangan (mīzān) alam. Tatkala keseimbangan alam itu rusak, maka yang muncul bukan hanya krisis lingkungan saja, tetapi juga krisis kemanusiaan.

Nabi Muhammad saw. sebagai teladan mulia kita, telah memberi teladan ekologis yang begitu konkret dalam kehidupannya. Dalam sebuah hadis, Nabi menegur sahabat yang berwudu dengan menggunakan air yang berlebihan, meski berada di sungai yang mengalir.

أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ مرَّ بسعدٍ وَهوَ يتوضَّأُ ، فقالَ : ما هذا السَّرَفُ ؟ قالَ : أفي الوضوءِ إسرافٌ ؟ قالَ : نعَم وإن كنت على نَهْرٍ جارٍ

Ibnu Abbas R.A. meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. melewati Sa’ad yang sedang berwudhu. Beliau berkata, “Siapa yang boros air ini, wahai Sa’ad?” Sa’ad yang bingung dengan pertanyaan nabi kemudian bertanya balik, “Apakah dalam wudhu juga ada perilaku boros, wahai Nabi?”. Rasul pun menjawab, “Benar, janganlah boros air dalam wudhu, meskipun kalian berada di pinggir sungai.”

Hadis ini dapat ditemukan dalam beberapa kitab hadis, seperti Ibnu Majjah, Musnad Ahmad, dan Musnad al-Baihaqi. Meskipun dianggap dhaif, namun hadis tersebut menjadi acuan para ulama agar tidak berlebihan dalam berwudhu, bahkan beberapa ulama menyebut hukumnya makruh jika wudhu berlebihan.

Pesan dalam hadis ini sederhana, namun memiliki makna yang mendalam, yakni bahwa kelimpahan bukan berarti membenarkan sikap pemborosan. Dalam hal ini, kesalehan adalah kemampuan menahan diri demi keberlanjutan hidup.

Rahim, Rahmah, dan Kewajiban Merawat Bumi

Ada hal yang menarik untuk kita cermati, bahwa kata rahim (rahim ibu) berasal dari akar kata rahmah (kasih sayang). Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman bahwa kata ‘rahim’ diambil dari nama Allah, yakni Ar-Rahman. Maknanya bahwa pengalaman keibuan memiliki kedekatan simbolik dengan sifat kasih Tuhan.

Sementara itu, dalam khazanah pemikiran Islam, bumi juga kerap kali dipahami sebagai ruang asuhan bagi kehidupan. Bumi senantiasa memberi, menumbuhkan, serta menopang tanpa banyak suara.

Namun, ketika bumi menjadi rusak akibat ulah tangan manusia, maka yang pertama kali terdampak adalah kebutuhan paling dasar dalam kehidupan manusia, seperti: air bersih, pangan, kesehatan, dan rumah. Semua kebutuhan ini adalah wilayah yang setiap hari dikelola dan dirawat oleh para ibu.

Oleh karena itu, ketika membicarakan relasi antara ibu dengan ekologi, bukanlah sebuah sikap yang hiperbola, apalagi dianggap sebagai romantisasi. Hal ini adalah cara yang tepat untuk melihat bahwa krisis lingkungan, akan selalu bersinggungan dengan pengalaman perempuan.

Dalam hal ini, kesalehan ekologi menuntut pengakuan atas pengalaman perempuan ini sebagai sebuah sumber pengetahuan moral.

Suara Ulama tentang Merawat Kehidupan

Dalam Islam, iman tidak pernah berdiri di ruang hampa, sebagaimana yang ditekankan oleh beberapa ulama. Misalnya, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan syariat adalah menjaga kehidupan (hifz an-nafs) dan keberlangsungan kemaslahatan. Maka, tindakan merusak lingkungan, apalagi  sampai mengancam kehidupan manusia, jelas bertentangan dengan tujuan ini.

Selain itu, Seyyed Hossein Nasr juga mengingatkan kepada kita, bahwa krisis ekologis modern sejatinya berakar pada krisis spiritual, di mana manusia memandang alam semata sebagai objek, bukan sebagai ayat-ayat dari Tuhan. Tatkala alam kehilangan kesakralannya, maka aktivitas eksploitasi alam oleh manusia menjadi tak terbendung.

Dalam konteks inilah, maka pengalaman para ibu dengan sifat rahimnya (yang merawat tanpa menguasai), menjadi kritik yang tajam terhadap cara pandang yang eksploitatif tersebut. Para ibu merawat bukan untuk menaklukkan, sebaliknya, untuk menjaga keberlanjutan.

Hari Ibu sebagai Titik Refleksi

Semestinya, hari Ibu tidak hanya berhenti pada ucapan selamat, pemberian bunga dan simbol penghormatan saja. Tetapi, perlu menjadi ruang refleksi etis bagi kita bersama, bahwa hari ibu seharusnya tidak hanya berhenti pada simbol dan seremoni saja, tetapi mengajak kita untuk bertanya lebih dalam, “apakah cara hidup dan beragama kita selama ini sudah turut serta dalam merawat kehidupan, atau justru malah merusaknya?”

Merayakan hari ibu tanpa adanya upaya dalam merawat bumi adalah sebuah kontradiksi. Mengapa? Karena kerusakan lingkungan selalu kembali pada ruang yang paling dasar dalam kehidupan, yakni: rumah, dapur, air bersih, dan tubuh. Sementara itu, di ruang-ruang itulah para ibu berada.

Di tengah bencana banjir yang saat ini sedang melanda negeri ini, kita bisa belajar kepada para ibu, bahwa kesalehan bukan hanya sekedar ritual saja, namun juga keberanian kita dalam merawat kehidupan dalam situasi paling sulit sekalipun.

Kesalehan ekologi sejatinya menuntut kita agar belajar bagaimana cara menjaga keseimbangan, menahan keserakahan, dan memuliakan kehidupan dalam seluruh bentuknya.

Hari Ibu bukanlah sekedar momen untuk mengenang peran perempuan yang menjadi ibu saja, tetapi bagaimana kita menata ulang relasi kita dengan bumi yang merupakan amanah dari Tuhan yang harus senantiasa kita rawat bersama.

Selamat Hari Ibu. Semoga Allah memulihkan alam yang terluka, menguatkan para ibu di tengah bencana, dan menuntun kita semua untuk hidup lebih adil dalam merawat kehidupan.

Penulis:
Lailatuzz Zuhriyah (Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)

About Author

Lailatuzz Zuhriyah

Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung