Halal Bi Halal 2025: Berbagi Cahaya Tanpa Meredupkan Lentera Tetangga

Perayaan Idul Fitri tahun 1446 H telah dilakukan beberapa hari lalu. Berbagai agenda silaturahmi, Halal Bi Halal, dan agenda reuni menjadi salah satu kegiatan wajib yang harus ada. Ajang silaturahmi menjadi ajang tahunan, dengannya antara sanak satu dengan saudara lainnya dapat saling nostalgia dan mengakrabkan diri kembali. Berbagai jajanan ringan dan makanan berat dihidangkan di atas meja dan sesekali saudara menyisipkan sedikit uang THR (tunjangan hari raya). Sekilas semua orang di acara seperti itu tampak bahagia dan reuni dilihat sebagai kegiatan positif, tapi siapa sangka di tengah kecamuk kegiatan suka ria itu berpotensi menyimpan satu dua kesan pahit di antara satu pihak.
Bila pembaca berkenan coba baca kisah ini. Sebutlah Rahman adalah orang berada yang memiliki banyak harta dan kemewahan di antara saudara dan sanak familinya. Ia mempunyai istri bernama kirana dan anak cantik bernama Safa. Kesehariannya dipenuhi dengan agenda transaksi jual beli karena ia memiliki toko swalayan terbesar di desa tempatnya tinggal. Toko yang dimilikinya sudah dirintis sejak awal jauh sebelum Safa lahir di tahun 2002. Oleh karena kegigihan dan ketekunannya toko kelontong yang telah dirintis lama dapat bertransformasi menjadi swalayan terbesar dan terlaris. Swalayan miliknya itulah yang kemudian menjadi sumber dana terbesar dalam kehidupannya bersama keluarga mulai biaya kesehatan, pendidikan safa dan lain sebagainya. Sejak saat itu rahman dikenal menjadi orang kaya dan berada.
Di lain sisi sebut saja Hadi, adik Rahman bermata pencaharian sebagai buruh serabutan dan petani di ladang. Kesehariannya disibukkan dengan mengurus tanah dua petak kecil di desanya dan sesekali membantu tetangga untuk mengurus urusan pertanian demi sebuah upah harian. Dilihat sekilas gaya hidup Rahman dan Hadi sangat berbeda. Rahman terlihat bergaya dan bergelimang harta, oleh sebabnya harta yang digunakan dapat digunakan biaya pendidikan Safa dan perawatan kesehatan keluarganya. Safa kemudian tubuh menjadi gadis cantik dan berpendidikan karena menjadi salah satu sarjana kedokteran di kampus kesehatan ternama di Jawa Timur. Hal ini justru berbalik dengan apa yang dialami Hadi.
Hadi pekerja serabutan dan petani desa tampak tampil seadanya dan bahkan terkesan terbelakang. Hasil upah dan panen tahunan yang dimilikinya hanya cukup digunakan untuk kebutuhan pokok sehari hari dan pendidikan anaknya Yudi di bangku SMA. Sesekali Hadi tampak berhutang ke beberapa saudaranya untuk menutup celah kebutuhan bila memang sangat dibutuhkan. Terkadang untuk bayar biaya SPP sekolah Yudi ataupun kebutuhan darurat seperti kebutuhan kesehatan dan lain sebagainya. Hal itu dialaminya demi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada keluarga tercinta. Yudi juga tampak tidak melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan. Ia lebih memilih bekerja menjadi salah satu karyawan di pabrik rokok lokal kota kecil itu. keputusan ini dipilihnya dengan alasan kuat, untuk membantu perekonomian keluarga.
Singkat cerita 3 Syawal hari di mana bani Rasipan kumpul dan mengadakan reuni keluarga. Rasipan adalah kakek Rahman dan Hadi sekaligus kakek buyut Safa dan Yudi. Seluruh sanak keluarga yang terdiri dari anak, cucu, dan cicit buyut hadir memenuhi undangan reuni yang pada saat itu ditempatkan di rumah Sidik. Sidik sendiri adalah cucu Mbah Rasipan yang berarti menjadi sepupu Hadi dan Rahman. Berbagai makanan dan jajanan dihidangkan dan tak jarang dipenuhi sorak tawa, ekspresi kebahagiaan. Salah satu pembahasan penting di pertemuan itu adalah jadwal keberangkatan ziarah bersama ke makam Mbah Rasipan dan dilanjut wisata rohani di Makam Sunan Bonang.
Banyak usulan waktu dan konsep ziarah Mbah Rasipan. Usulan yang diterima saat itu adalah usulan Rahman. Ia usul ziarah ke makam Mbah Rasipan dan leluhur dilakukan malam Jumat dan dilanjutkan ziarah di Makam Sunan Bonang. Ia secara independen juga menyatakan kesiapan dirinya untuk memberangkatkan keluarga besarnya itu dengan menyewa tiga bus. Tiga bus didanainya untuk memberikan fasilitas penunjang kepada keluarganya. Menurut pernyataan yang disampaikannya ia memahami kondisi rerata keluarga Bani Rasipan yang relatif masuk di tingkat ekonomi ke bawah. Niatnya ia ingin membantu supaya semuanya saja bisa berangkat bersama tanpa memikirkan biaya ongkos.
Wal hasil keputusan sepakat dan bulat. Pemberangkatan ziarah Bani Rasipan dilakukan malam Jumat setelah Isya’. Terlihat Rahman, istri, dan anaknya mendapatkan banyak simpati dari anggota keluarga besarnya, semacam ada rasa terima kasih. Sesekali ada yang menawarkan jajanan ringan untuk dibawa perjalanan atau hanya sekedar menyapa, bersalam, dan memberikan sedikit pujian. berbeda dengan Hadi, ia turut hadir namun tampak menghindar untuk komunikasi dengan beberapa anggotanya mungkin sebab mau, minder, atau memang membatasi. Satu hal yang dilihat penulis kala itu, Hadi tidak memiliki pengaruh sama sekali di kegiatan itu baik dalam pembiayaan maupun pelaksanaan konsep agenda.
Memang selama pelaksanaan reuni yang kemudian dilanjutkan agenda ziarah bersama ke makam leluhur dan sunan bonang keduanya tampak berbeda. Gaya komunikasi, model berbicara, dan lingkar lawan bicara keduanya juga berbeda. Rahman tampak bisa berbicara dengan percaya diri, lantang, bernada tinggi, dan bahkan sesekali tampak memerintah, tidak dengan Hadi. Hadi tampak biasa dan tidak memberikan komentar sama sekali bila sesekali muncul usulan-usulan kecil. Sebenarnya yang memilih sikap seperti Hadi bukan hanya ia seorang melainkan beberapa sanak saudara lain yang rerata memiliki agensi ekonomi sebelas dua belas sepertinya. Semacam tampak adanya gap dan jarak antara keluarga berekonomi sedang dan berekonomi relatif tinggi. Singkatnya ziarah berjalan dengan lancar tanpa adanya halangan.
Cerita di atas sebetulnya ingin dijadikan refleksi oleh penulis. Semata mata refleksi ini bersifat subyektif bukan obyektivitas penulis. Melihat singkat cerita ini penulis berpendapat bahwa sebetulnya suatu kebaikan itu hendaknya dilakukan kepada orang dan dalam keadaan yang tepat. Menurut penulis boleh saja seseorang melakukan kebaikan kepada orang lain tanpa mematikan aspek psikologis dan mental lainnya. Cerita di atas secara umum tidak melemahkan mental ataupun psikologi seseorang tapi dampak yang dihasilkan dapat menuju ke arah itu. Sosok Rahman yang dikenal sebagai seorang yang memiliki potensi ekonomi baik rerata di masyarakat dan orang sekelilingnya tampak dihormati, disegani, dan ucapannya selalu didengarkan. Berbalik dengan Rahman, sosok Yudi terlihat tidak mendapatkan perlakuan khusus bahkan di kalangan keluarganya sendiri. Faktor pertama dan utama yang dilihat adalah ekonomi.
Pembaca mungkin memiliki pengalaman yang sama dengan cerita singkat ini. Secara kultur memang rerata seseorang terkesan memandang ekonomi sebagai ukuran pertama. Bahkan di beberapa momen seperti momen di atas ajang untuk melihatkan penghasilan dan pencapaian nilai ekonomi gencar terjadi. pesan yang pas untuk sosok Rahman menurut penulis adalah mulailah berpikir dua kali untuk berbuat baik kepada orang lain. Pastikan kebaikan itu tidak meredupkan semangat dan sumbu kebaikan orang lain, walaupun barang kali Rahman tidak ada niat sekalipun untuk melemahkan lainnya. Perilaku baik belum tentu mendatangkan kemaslahatan kepada semua pihak. Begitu pula dengan sosok Hadi, bahwa harta dan capaian bukan menjadi penghalang untuk menyuarakan hak apalagi sebagai pembatas dalam bersosial. Namun walaupun begitu sekedar intermeso “Terkadang tinggi rendahnya suara tergantung tebal tipisnya dompet”. Wasalam