Ketika Puasa Ramadan (Pernah) Menjadi Pilihan

Suatu hari saya membeli sebuah buku secara tidak sengaja via marketplace, tentu karena murah dan berjudul cukup menarik. Kritik Ortodoksi Islam begitu judul buku kecil itu yang belakangan ini saya menganggapnya sebagai cemilan namun berat. Buku itu rupanya sebuah terjemahan dari judul asli Min Haqaiq al-Qur’an (Sebagian dari Kebenaran Al-Quran) karya Muhammad Salman Ghanim, seorang kritikus keras Islam konservatif dari Kuwait.
Saya membaca sampai bab puasa. Saya dibuat benar-benar merenung atas apa yang dia ungkapkan. Ghanim mengungkap perspektif baru (yang sebenarnya lama) akan pemahaman surat Al-Baqarah ayat 183-4. Ayat yang dikenal banyak orang sebagai ayat atas perintah diwajibkannya puasa. Saya kutipkan saja terjemahannya sebagai reminder tulisan saya kali ini.
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. [183] (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan satu orang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.[184]
Ada kalimat khusus yang sengaja saya cetak tebal agar menjadi perhatian pembaca. Kalimat itu sebenarnya adalah terjemah dari potongan ayat wa ‘ala alladzina yutiqunahu. Dalam Kamus Lisan al-’Arab karya Ibn Manzur, kata yutiq mempunyai arti kekuatan, atau kuat. Orang Arab mengatakan taq rayhan (kekuatan angin), dan taq al-khayt (kekuatan kain).
Arti yang dikatakan Ibn Manzur ini diamini juga oleh Ibn Faris dalam Maqayis al-Lughah dia menjelaskan makna kata barq (kilat) dengan penjelasan berikut, “Kamu melihat kilau yang terangat sangat, eksistensinya la yutiq (tidak mampu) untuk kamu lihat.” Ibnu Faris untuk mengungkapkan ketidak mampuan harus menulis kata la (tidak) terlebih dahulu sebelum kata yutiq. Singkatnya yutiq mempunyai makna mampu.
Kalau kita membaca lagi ayat di atas dengan maknadasar yutiq maka artinya menjadi, Bagi orang yang mampu menjalankannya, (namun enggan) maka dia wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan satu orang miskin. Begitulah kira-kira pendapat Ghanim yang membuat saya tercenung membenarkan. Iya, penjelasan yang dia paparkan memang sangat logis. Mau bagaimana lagi?
Namun, saya tidak ingin berhentidi wawasan baru ini. Kira-kira adakah para sarjana Islam yang senada dengan Ghanim? ِAl-Tabari dalam tafsirnya mendedar 4 pendapat para ulama klasik mengenai lafaz alladzina yutiqunahu ini. Ketiga pendapat di antaranya mengatakan ayat tersebut di-nasakh atau dihapus keberlakuan hukumnya dengan ayat selanjutnya “shahr ramadan al-alladzi unzila …” Pendapat sisanya memilih mentakwil, dengan mangartikan lafaz tersebut dengan orang-orang yang tidak kuat berpuasa seperti orang tua atau wanita dalam keadaan lemah.
Ringkasnya, umat Islam pernah mengalami perintah puasa hanya sebatas pilihan. Hal ini diperkuat dengan catatan yang ditorehkan Ibn Kathir dalam tafsirnya, “Dulu (pada awal perintah puasa turun) siapa yang ingin berpuasa silakan, dan sesiapa yang ingin tidak berpuasa maka cukup memberi makan orang miskin. Keduanya tetap mendapatkan pahala. Kemudian turun ayat sesudahnya, barulah ketetapan puasa benar-benar menjadi perintah yang wajib bagi orang yang menetap lagi sehat.”
Pendapat di atas juga diamini oleh Abu Mas’ud (982 H) dalam tafsirnya Irshad al-’Aql al-Salim, yang memilih tetap memaknai alladzina yutiqunahu dengan orang-orang yang kuat dalam berpuasa. Karena itu merupakan perintah di awal masa Islam (Madinah awal). Begitu juga yang disadur oleh al-Tha’labi (427 H) dalam tafsirnya al-Kashf wa al-Bayan.
Rupanya, apa yang dikatakan oleh Salman Ghanim dalam bukunya, bukanlah sesuatu yang baru. Perdebatan tentang ayat tersebut sudah ada sejak lama, dan terekam dalam buku-buku tafsir klasik dalam khazanah Islam jika kita membacanya. Ghanim telah membuat saya pribadi merenung dan membaca kembali tafsir-tafsir klasik yang ternyata tidak pernah sederhana.
Bagi saya, memahami ayat tersebut dalam konteks awal Islam dan menjadikan puasa Ramadan sebagai pilihan adalah suatu yang logis berdasarkan konteks sejarah. Di mana kaum Muhajirin di awal mendapatkan tantangan berupa kekurangan ekonomi, dan tantangan menyatukan antara Muhajirin dan Ansar. (Amal, 2018; Hisyam, 1992) Mereka para muhajirin adalah para “pengungsi” dari Makkah, harta dan relasi mereka diblokade kaum Quraish dan tidak ada jalan lain selain hijrah.
Sebagai penduduk Makkah yang mempunyai kebiasaan berdagang mereka juga mengalami kesulitan di Madinah ketika mayoritas penduduknya adalah petani kurma. Jelas bahwa umat Muhammad menghadapi tantangan yang luar biasa di awal mereka hidup di Madinah.
Sehingga Ramadan, pada awal Islam, juga menyimpan pesan kemanusiaan, ta’awun (saling membantu) kepada sesama. Orang yang mukim sehat, dan punya harta boleh memilih tidak berpuasa dengan membantu sekitarnya.
Ringkasnya, ayat di atas memberikan pesan mendalam bagi Umat Islam, bahwa dalam ibadah pun manusia harus ingat kepada orang lain yang membutuhkan. Jadi, sejak kapan kita beribadah tanpa memperdulikan kaum lemah?