Dinamika perjalanan hadis sejak zaman Rasulullah saw hingga kini mengalami pasang surut yang berimplikasi pada keberlangsungan substansi maknanya. Tercatat problem ini mulai dari titik pelacakan autentisitas dan otoritas hadis kemudian indikator pemaknaan hingga melihat fenomena perkembangan zaman sesuai kaca mata hadis. Pada titik awal misalnya yakni pada titik pelacakan autentisitas dan otoritas, terjadi banyak ikhtilaf dan perbedaan pendapat tentang keabsahan suatu hadis. Hal ini kemudian menimbulkan perbedaan dalam menilai hadis apakah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang sama dengan yang diriwayatkan perawi yang lain. Demikian pula implikasi ini akan mengarah pada Maqbul atau Mardud-nya suatu hadis sehingga akan berpengaruh pada penggalian hukum Islam.
Pada awal perkembangan ilmu hadis, ulama menyibukkan diri pada pelacakan autentisitas dan otoritas hadis. Pada fase ini ilmu hadis belum begitu tersistematis rapi hingga mengarah pada beberapa aspek seperti filologi dan fenomenologi. Ulama lebih menyibukkan diri mencari problematika sanad maupun hadis, salah satunya pada problematika keterputusan sanad di awal. Menukil Idri dalam bukunya menyatakan, hadis Muallaq secara terminologi adalah hadis yang periwayatannya di awal sanad terputus atau gugur seorang ataupun lebih secara berurut. Patokannya jelas yakni ketika terdapat hadis yang sanad awal gugur baik seorang maupun beberapa orang secara berurut maka dinamakan hadis Muaallaq. Lain lagi ketika terdapat suatu hadis yang bukan pada sanad awal ataupun tidak berurutan maka tidak dinamakan hadis Muallaq.
Lebih lanjut dalam bukunya beliau menjelaskan bahwa hadis Muallaq ini dikategorikan sebagai hadis Dhaif karena terdapat sanad yang hilang atau terputus. Hadis Dhaif yakni hadis yang lemah dalam hal akibatnya hadis Dhaif tidak bisa dijadikan sebagai tendensi dalam berhukum alias mardud. Sebagaimana dijelaskan Mahmuud At Talhan dalam Kitab Taisir Musthalah hadis bahwa salah satu syarat hadis bisa dikatakan sebagai hadis Shahih yakni ketika sanadnya tersambung dari Mukharrij Al Hadis hingga Rasulullah saw sedangkan hadis Muallaq tidak demikian. Maka hadis ini dikategorikan sebagai hadis Dhaif. Namun, setelah dilacak ternyata hadis seperti ini terdapat di Kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Lalu bagaimana hal ini bisa terjadi ? dan bagaimana status hadisnya apakah Maqbul atau Mardud ? bagaimana relevansi kitab ini dengan perkataan ulama yang mengatakan bahwa Kitab Shahihain merupakan kitab yang paling otentik sesudah Al Qur’an? Berikut jawabannya.
Dilacak dari beberapa sumber literatur, sebagaimana persyaratan hadis bisa dikategorikan sebagai hadis shahih harus memenuhi lima persyaratan merupakan syarat mutlak menurut jumhur ulama hadis. Beberapa pandangan ulama dan tokoh hadis terkemuka berpendapat hadis Muallaq yang terdapat dalam kitab ini tetap dikategorikan sebagai hadis Shahih yang konsekuensinya bisa digunakan sebagai landasan berhukum. Ketetapan dan pendapat ini didasarkan pada beberapa fakta. Pertama, istilah Shahih pada kitab seperti Shahih Bukhari sering disalah pahami sebagai hadis yang semua isinya Shahih. Padahal kitab ini memiliki nama asli Al Jami’ Al Musnad Al Shahih Al Mukhtashar Min Umur Rasulillah Sallahu Alaihi Wa Sallam Wa Sunanih Wa Ayyamih dan kemudian dikenal dengan istilah Shahih Bukhari karena kitab ini memuat hadis tentang hukum, keutamaan amal, etika dan beberapa pokok ajaran Islam yang Shahih berdasarkan metode yang digunakan Al Bukhari.
Kedua, sebagai ulama yang terkenal akan metode dan kehatihatian dalam meriwayatkan hadis sebuah potensi kecil dimiliki keduanya. Artinya beliau berdua tidak mungkin mencantumkan hadis yang dianggapnya Dhaif ke dalam kitab yang ditulisnya sebagaimana yang dinukil dari keduanya bahwasanya beliau tidak memasukkan hadis dalam kitabnya kecuali hadis yang berstatus Shahih. Ketiga, hadis yang dicurigai Muallaq dalam Kitab Shahih Bukhari ternyata bukan hadis pokok namun hadis pelengkap yang menjadi penjelas dan penegas dari hadis pokok yang sudah ditulis di awal. Maka yang menjadi pegangan adalah hadis yang pokok sedangkan hadis yang berstatus sebagai pelengkap berfungsi sebagai penguat dan penjelas maupun penafsir. Ketiga alasan ini dapat menjadi sebuah kesimpulan bahwasanya hadis Muallaq yang terdapat dalam kitab Shahihain tetap dapat dikategorikan sebagai hadis Shahih sehingga dapat dijadikan sebagai landasan berhukum.